Cara Melihat Desain Sebagai Branding

Lihatlah dunia sebagai deretan logo, dan semua hal bisa menjadi logo. Demikianlah yang diungkapkan Kashiwa Sato, desainer terkemuka dari Jepang, saat ia membuka konferensi Brainstorm Design di Singapura pada Rabu lalu.

“Tujuan branding adalah untuk menciptakan identitas yang kuat. Identitas yang kuat adalah sebuah ikon. Saya telah menciptakan banyak logo ikonik selama bertahun-tahun. Identitas yang kuat sangat penting untuk komunikasi. Mereka harus sederhana dan to the point, “kata Sato.

Sebagai alumnus jurusan Desain Grafis Universitas Tama, dia menghabiskan 11 tahun di agensi advertising Hakuhodo di Jepang sebelum mendirikan studio kreatifnya sendiri, Samurai, pada tahun 2000.

Ciri utama Kashiwa Sato dapat dikenal dari penggunaan dan desain font dan tipografi dalam membuat logo ikonik, dan alur kerjanya berhasil menciptakan brand menjadi sederhana, jelas dan mudah diingat.

Dalam pendekatan minimalisnya terhadap ide-ide kompleks, dia biasa menarik inspirasi dari budaya dan tradisi Jepang. Sebagai contoh dalam sebuah proyek bersama Uniqlo, ketika kepala Uniqlo memintanya merancang logo untuk bisnis tersebut, Sato memilih warna merah dan putih, yang menurutnya sangat menggambarkan Uniqlo sebagai orang Jepang karena ini akan mengingatkan publik pada bendera negara tersebut. Dia kemudian merancang typeface huruf latin namun diilhami dari katakana, sebuah sistem tulisan atau alfabetik Jepang yang digunakan untuk kata-kata serapan asing.

“Logo ini berhasil mengidentifikasi Uniqlo sebagai sesuatu yang unik di industri fashion global. Logo adalah sebuah aspek yang fundamental dari brand,” katanya.

“Saya melihat semuanya melalui ikon dan merek ikonik,” Sato menambahkan. Dan selagi ia terus menciptakan logo yang mudah dilihat dan diingat, tampaknya dunia masih akan terus melihat lebih banyak karya-karyanya.

Dalam upaya untuk menanamkan brand kita ke benak konsumen, sangat penting untuk menciptakan logo yang mudah diingat dan dikenali. Salah satu jalan yang dapat dilakukan adalah mengahttps://ukms.or.id/l inspirasi dari kearifan lokal yang sudah ada.

 

 

 

“Kini Tak Ada Batasan antara Fisik dan Digital” Bagaimana UX Mempengaruhi Persepsi Brand

Pengalaman pengguna atau UX telah dimanfaatkan oleh sejumlah bisnis untuk membedakan mereka dengan pesaing, sekaligus sebagai branding, dalam dunia desain digital. Dengan teknologi baru seperti blockchain, kecerdasan buatan, dan “Internet of Things”, ada angin segar bagi perusahaan untuk memenuhi harapan pelanggan yang terus meningkat.

Mark Curtis, kepala staf klien Fjord, memilih “menggabungkan digital dan fisik” sebagai sebuah tantangan penting yang dihadapi semua organisasi digital saat ini.

“Ini adalah waktu yang tepat bagi kita untuk berhenti memandang digital dan fisik sebagai dua dimensi terpisah saat kita memikirkan proses branding dan desain,” kata Curtis kepada wakil editor Fortune, Brian O’Keefe.

Tidak seperti jaman dahulu, ketika pengguna harus berinteraksi dengan radio atau menyentuh tombol televisi agar berfungsi, kini perangkat aktivasi suara bisa digunakan di manapun di rumah Anda, tak terbatas di manapun Anda berada.

“Echo Amazon adalal salah satu contoh dari hal ini, yaitu ketika dimensi fisik dan digital bergabung jadi satu,” kata Curtis.

Fujiyo Ishiguro, CEO Netyear, tahu bagaimana rasanya saat mencoba menjembatani kesenjangan antara produsen dan konsumen, saat para insinyurnya tidak tahu bagaimana menerapkan teknologi untuk menciptakan produk yang tepat, sementara komite kabinet Jepang mencoba menerapkan strategi ekonomi baru.

Saat ini, “digital marketing sudah berubah secara dramatis,” kata CEO Netyear tersebut, karena data pengguna baru telah memungkinkan perusahaan untuk mendesain ulang seluruh pengalaman online konsumen. Dengan semakin nyamannya konsumen dalam menggunakan web, atau berinteraksi di dalam perangkat lunak yang dikembangkan oleh sebuah bisnis, semakin baik pula citra (branding) bisnis tersebut di mata konsumen.

Selain Echo Amazon dan Netyear, kecerdasan buatan juga akan memberikan kontribusi yang luar biasa kepada digital marketer, karena ini merupakan kecerdasan buatan didesain dengan tolak ukurnya murni berbasis pada data. Kecerdasan buatan memang belum banyak dimanfaatkan. Namun, di masa depan saat kecerdasan buatan semakin terintegrasi dalam kehidupan kita, proses digital marketing dan branding pun dapat teroptimasi, karena kecerdasan buatan dapat membantu manusia untuk memanfaatkan data yang lebih baik dan pada akhirnya mampu menggunakannya untuk memahami pengguna.

 

Baca juga

1000.001 Ide Bisnis UKM Dengan Modal Mulai 100 Ribu

Panduan Bisnis Online Terlengkap

Panduan Lengkap Pecinta Kopi

Investor Bisnis Untuk Kelancaran Usaha Anda

350 Daftar Waralaba Dan Franchise Mulai Dari 1 Juta sd 1 Milyar

Panduan Sukses Bisnis Franchise

123 Cara Meningkatkan Omzet Penjualan

Perjalanan 185 Brand Nasional Dan Internasional

50 Daftar Lengkap Virtual Office Di Indonesia

50 Daftar Jasa Kontraktor Indonesia

50 Usaha Rumahan di Indonesia

500 Kisah Pengusaha Sukses

Kenali Daftar 99 Fintech Indonesia

 

“Teknologi baru memang menarik, namun tidak ada artinya jika tidak memperbaiki UX antara pengguna dengan perusahaan untuk “membangun kepercayaan dan hubungan,” kata Sanjay Gour, direktur eksekutif untuk transformasi digital UBS Wealth Management.

 

“Kami memiliki teknologi dan kami memiliki AI dan kami memiliki blockchain, tapi apakah Anda sebagai klien akan peduli terhadap semua hal tersebut?” Gour bertanya pada penonton. “Anda tentu hanya peduli dengan pengalaman yang akan Anda dapat, dan Anda hanya peduli pada bagaimana mendapatkan hasil yang bermanfaat bagi Anda”, katanya.

UBS sendiri merupakan sebuah konsultan pengelola kekayaan. Mereka memiliki klien yang sophisticated. Mereka lebih kaya, range usianya makin muda, dan mereka membandingkan pengalaman yang mereka dapat dengan organisasi atau bisnis lain. “Kecuali Anda membawa konten yang relevan untuk klien, konten yang intuitif dan memberi mereka masukan, maka apapun yang Anda lakukan bagi mereka adalah buang-buang waktu.”

Untuk memenuhi harapan tersebut, UBS telah membuka laboratorium inovasi di London, Singapura, Zurich, dan Hong Kong, dan menyelenggarakan workshop Desain Berbasis Manusia. Workshop ini telah menghasilkan produk baru, seperti AI yang dapat mandiri yang dapat “memindai portofolio dari klien dan memberi mereka saran keesokan harinya tentang bagian mana dari portofolio mereka tidak cukup baik. ”

Konsumen juga mulai memberikan tuntutan lebih besar terhadap sejauh mana suatu organisasi memberikan pengaruh  sosial, menandakan munculnya sesuatu yang disebut ekonomi berbasis etika. Diharapkan bahwa ke depannya, desain dan branding tak hanya memberikan kemudahan bagi pelanggan, namun juga memiliki etika dalam interaksinya. Diprediksi, dalam perkembangannya kelak akan muncul Chief Ethics Officer, atau Direktur di Bidang Etika.

Curtis menyatakan bahwa perusahaan harus mempertimbangkan pengalaman pengguna yang mengalir di dalam produk dan layanan mereka. Pengalaman pengguna yang mengalir ini hanya bisa diraih melalui desain yang baik, dan desain yang baik akan menciptakan pengalaman pengguna yang baik. Pada akhirnya, dengan pengalaman pengguna yang baik, kelak branding sebuah perusahaan otomatis akan meningkat.

Scroll to Top