Challenger Brands: How to Fight the Giants

Challenger Brands: How to Fight the Giants

Kisah para brand challengers merupakan kisah tentang merek-merek pemberani. Dengan modal kreativitas, inovasi, dan sentuhan teknologi, mereka melakukan terobosan-terobosan di industri dan mampu menggoyang posisi sang market leader.

Era digital memunculkan banyak pemain baru di hampir semua industri. Teknologi dengan segala turunannya telah menciptakan aneka peluang baru untuk digarap. Semakin banyak dan beragamnya pemain membuat industri tidak hanya digerakkan oleh merek-merek market leader, tetapi juga merek-merek penantang atau challenger brands.

Bagi pemimpin pasar, merek-merek penantang ini bisa dibilang sebagai kompetitor yang turut menggerus kue pasar yang dikuasainya. Merek-merek penantang ini tak boleh dianggap enteng karena banyak dari mereka yang membawa disrupsi bagi industri sekaligus ancaman di zona nyaman para market leader.

Apa itu challenger brandsChallenger brands dimengerti sebagai merek-merek besar maupun kecil yang berusaha menantang pemimpin pasar. Merek-merek penantang ini memang bukan market leader dan mereka menyadari posisinya. Namun, eksistensi mereka cukup mengganggu dan menggerus pasar. Mereka bisa berupa pemain baru yang membawa kebaruan, baik dalam bentuk produk, layanan, maupun pengalaman. Mereka biasanya juga banyak dibicarakan karena cukup membawa disrupsi di industri. Mereka bisa saja sebagai rising star di masa sekarang alias new kid on the block. Namun, asal tahu saja, challenger brands tidak mesti perusahaan rintisan atau startup seperti yang secara umum disalahpahami.

Mengutip Iwan Setiawan, CEO Marketeers, dalam program Analisis No. 55 di Marketeers TV, setidaknya ada enam prinsip yang masuk dalam tiga bagian besar yang harus dimiliki merek-merek penantang ini. Pertama, merek penantang menjadi mindsetter. Di sini, mereka mencoba mempengaruhi persepsi pasar agar meninggalkan market leader dan pelan-pelan menggerogoti pasar market leader.

Caranya? Terkait customer management, mereka fokus pada segmen yang memang mau mencoba merek baru. Menurut Iwan, tidak semua segmen senang mencoba merek baru. Sementara, segmen yang suka menjajal sesuatu yang baru adalah Gen Z. Segmen tersebut selama ini tidak memiliki beban, terikat dengan merek tertentu, dan bahkan kurang peduli siapa yang menjadi market leader. Mereka hanya peduli dan mencari merek yang relevan dengan kebutuhan mereka. Mereka sangat terbuka pada pemain-pemain baru – bahkan lebih terbuka dari generasi yang lebih tua dari mereka.

Oleh karena itu, merek perlu fokus pada segmen anak muda ini yang merupakan segmen potensial. Banyak merek penantang menjadi populer karena berhasil merebut hati kaum Gen Z. Karenanya, perlu membangun strategi dan narasi khusus untuk menarik perhatian mereka. Merek menjadi mindsetter bagi orang-orang muda tersebut. Dengan menguasai orang-orang muda, merek juga akan menguasai mindshare.

Kedua, merek penantang menjadi maverick. Biasanya, mereka selalu menantang norma atau kesepakatan yang ada di industri, menantang status quo, atau tak percaya lagi pada prinsip-prinsip marketing yang sudah dianggap best practice di industrinya. Caranya? Mereka biasanya dalam product management, menciptakan produk yang sangat inovatif. Mereka memperkenalkan pengalaman baru dan cara jualan yang baru yang tak dirambah oleh pemain-pemain besar. Inovasi dan diferensiasi kuat yang diusung menjadi daya tarik besar bagi konsumen yang sudah jenuh dengan produk dan layanan lama.

Ketiga, merek penantang melakukan crossover. Mereka cenderung pindah ke kategori lain untuk mempromosikan atau membangun merek mereka. Disebut pula dengan melakukan positioning di pasar lain yang lebih longgar atau bahkan belum ada kompetitornya. Caranya? Mereka biasanya dalam brand management, melakukan cross category marketing dan sangat terbuka pada kolaborasi dengan merek-merek besar. Pemain-pemain kecil ini nempel dengan pemain besar di kategori berbeda untuk memperkuat posisinya.

Tipe-tipe Challenger Brands

Di lapangan, banyak tipe challenger brands di berbagai industri. Mengacu gagasan Adam Morgan, penulis buku Eating the Big Fish: How Challenger Brands Can Compete Against Brand Leaders (Wiley, 2009), ada sepuluh tipe merek[1]merek penantang tersebut (Grafik 1).

Image or Photo Marketeers Max

Pertamathe Irreverent Maverick. Biasanya, merek model ini menggunakan taktik cerdas, humor, dan kejutan untuk menarik perhatian. Kedua, the Missionary. Merek jenis ini hadir dengan misi untuk panggilan memperbaiki sesuatu. Mereka tak hanya membangun engagement dengan konsumen, tetapi mengajak konsumen melakukan sesuatu yang lebih besar demi kehidupan lebih baik.

Ketiga, the Next Generation. Merek tipe ini mengangkat bahwa dunia sudah berubah dan bergerak maju. Oleh karena itu, merek harus selalu membangun relevansi dengan zaman. Konsumen membutuhkan merek, produk, layanan, hingga sentuhan baruKeempat, the Democratiser. Sesuai namanya, merek penantang model ini menghadirkan akses bagi semua orang (demokratisasi) untuk sesuatu yang selama ini hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Kehadiran mereka membuat masyarakat konsumen dari berbagai lapisan bisa mengakses aneka layanan.

    Kelima, the Real & Human. Merek ini menjadi penantang market leader yang mungkin produk dan layanannya terkesan impersonal dan kurang sentuhan manusiawi. Mereka menghadirkan layanan yang lebih humanis, punya wajah dan nama, dan bisa berkomunikasi layaknya manusia. Keenam, the Enlightened Zagger. Merek seperti ini dicirikan menentang arus utama atau kondisi status quo karena ada nilai, sikap, dan keyakinan yang diperjuangkan. Mereka membawa pencerahan di tengah kemapanan cara pandang.

    Ketujuh, the Feisty Underdog. Merek seperti ini menempatkan diri dalam pertarungan antara si kecil melawan si besar, David versus Goliath, baik melawan jahat. Di sini, keyakinan dan ketahanan menjadi modal utama. Kedelapan, the Dramatic Disruptor. Merek model ini menyuguhkan produk dan layanan yang lebih unggul dibanding merek petahana. Sifatnya mengganggu zona nyaman market leader. Mereka mendramatisasi penawaran mereka sebagai yang lebih baik melalui narasi merek.

    Kesembilan, the People’s Champion. Merek ini mengklaim memiliki mandat khusus untuk membela konsumen yang tidak dilayani atau dieksploitasi oleh penguasa pasar dalam jangka waktu lama. Merek ini memposisikan diri sebagai agen perubahan dengan menawarkan alternatif solusi untuk kepentingan lebih luas. Kesepuluh, the Local Hero. Mirip dengan tipe kesembilan, merek ini lebih memosisikan diri sebagai pahlawan bagi konsumen di tingkat lokal. Merek ini mengklaim diri berakar dari lokalitas, sekaligus menjadi pihak yang hadir dan paling paham secara mendalam akan kebutuhan masyarakat konsumen lokal.

    Kisah Para Penantang

    Di edisi ini, kami juga menyajikan kisah-kisah para brand challengers asal Indonesia yang mewarnai berbagai industri. Kisah-kisah ini kami angkat agar pembaca semakin mudah memahami cara merek-merek penantang ini menggarap pasar. Kami sajikan kisah-kisah dari berbagai industri, seperti otomotif, teknologi, fesyen, ponsel pintar, hingga makanan dan minuman.

    Mereka belakangan muncul dan viral. Mereka juga menceritakan strategi dalam manajemen pelanggan, manajemen produk, dan manajemen merek. Dari semua merek tersebut, bisa disimpulkan bahwa ada senjata-senjata utama yang tidak boleh dilewatkan untuk menggoyang industri sekaligus posisi market leader. Senjata-senjata tersebut, antara lain diferensiasi, inovasi baru, kreativitas menciptakan hal baru di luar yang sudah umum sekaligus jenuh, merebut hati anak muda, dan kejelian mereka membaca apa yang dibutuhkan oleh segmen konsumen yang dibidik.

    Keberanian, optimisme, dan keterbukaan untuk berkolaborasi menjadi mental yang dimiliki oleh merek-merek penantang ini. Bagaimana dengan merek Anda? Apakah merek Anda termasuk dari salah satu tipe challenger brands tersebut?

    Leave a Comment

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    Scroll to Top