Jadul Tapi Canggih

Jadul Tapi Canggih

Sentuhan retro atau jadul juga disematkan pada produk-produk teknologi seperti perangkat pintar. Konten dan fitur canggih dikemas dalam bentuk dan desain yang mengusung elemen masa lalu. 

Sektor elektronik telah menjadi saksi perubahan yang luar biasa sepanjang dekade terakhir. Hanya dalam dua dekade, perkembangan teknologi sudah beranjak ke generasi kelima atau 5G, dari generasi kedua. Kian hari, segalanya semakin terhubung yang dimungkinkan dengan kehadiran Internet of Things (IoT).

Namun, di tengah banjirnya inovasi berbasis teknologi, merek menyadari mereka tak hanya perlu menjadi yang paling canggih. Dua pendekatan pemasaran, yaitu retro branding dan timeless branding, telah muncul sebagai strategi yang kuat untuk membangun koneksi emosional dengan konsumen.

Retro branding mengusung gagasan bahwa masa lalu memiliki daya tarik yang kuat. Dalam sektor elektronik, merekmerek menggunakan elemen desain, fitur, atau bahkan memproduksi ulang produk lama untuk membangkitkan nostalgia di antara konsumen. Pendekatan ini membuka peluang untuk menarik perhatian konsumen yang merindukan produk atau era tertentu.

Salah satu aspek utama dari retro branding adalah penggunaan desain yang mengusung elemen nostalgia. Merek-merek elektronik sering kali memperkenalkan produk dengan estetika retro yang mengingatkan konsumen pada era tertentu. Contohnya, televisi dengan desain klasik atau radio dengan tampilan analog yang menciptakan nuansa masa lampau, atau ponsel pintar yang bisa dilipat, layaknya ponsel poliponik era 1990-2000an.

Retro branding pada perangkat pintar tidak hanya mengandalkan desain, tetapi juga memanfaatkan budaya populer dan media masa lalu. Merek-merek dapat menggandeng karakter atau merek populer dari masa lalu untuk menciptakan edisi terbatas atau kerja sama khusus. Ini menciptakan ikatan emosional dengan konsumen yang memiliki kenangan atau afinitas terhadap karakter atau merek tersebut.

Asal tahu saja, retro branding pada perangkat pintar bukanlah tentang mengorbankan kinerja atau teknologi canggih. Sebaliknya, ia menciptakan harmoni antara kemajuan teknologi dan estetika retro. Perangkat pintar ini sering kali menyatukan teknologi mutakhir seperti kecerdasan buatan, konektivitas yang tinggi, dan performa tinggi dengan balutan desain yang mengingatkan pada era tertentu.

Konsep ini menciptakan produk yang memiliki daya tarik universal, menjangkau audiens yang mencari inovasi teknologi sekaligus menghargai keindahan desain dari masa lalu.

Retro sebagai konsep yang diusung tak lepas dari tren yang berkembang. Misalnya, pengeras suara atau speaker. Munculnya smart speaker di era kini dengan konsep jadul, alias zaman dulu, tumbuh seiring bangkitnya industri vinyl atau piringan hitam.

Piringan hitam menjadi salah satu kejutan dari era lampau. Penyimpan musik pada era 1920an ini tak disangka kembali diminati. Rasa nostalgia yang dirasakan konsumen, bahkan konsumen yang tidak mengalami masa kejayaan piringan hitam, menjadi daya pacu meningkatnya jualan vinyl.

Dalam data publikasi Statista tahun 2023, penjualan album vynil di Amerika Serikat telah tumbuh selama 16 tahun berturut-turut. Menurut Recording Industry Association of America (RIAA), sebanyak 41,3 juta unit album EP/ LP terjual di AS pada tahun 2022, meningkat lebih dari 45 kali lipat dibandingkan dengan tahun 2006 ketika kembalinya vinil dimulai. (Grafik 1).

Image or Photo Marketeers Max

Memang, jika dibandingkan dengan era 1970-an, penjualan piringan hitam kini tak bisa disebut kembali berjaya. Meski semakin laris, bukan berarti orang-orang lalu meninggalkan pemutar musik yang sudah modern. Tren retro yang tumbuh inilah yang ditangkap oleh JBL. Merek asal Amerika Serikat yang didirikan sejak 1946 oleh James Bullough Lansing ini menangkap peluang tersebut dengan merilis salon pintar dan juga gramofon yang didesain dengan konsep retro. Rangkaian produk JBL Authentics sendiri terinspirasi dari speaker ikonik JBL, dengan elemen-elemen dari desain berupa pola Quadrex grille dari speaker JBL L100 yang dirilis pada tahun 1970 dan desain turntable yang timeless.

Dengan tagline Classics Reimagined, kedua produk baru ini merupakan perpaduan antara desain retro yang klasik dengan inovasi teknologi modern. Malisa Sofar, Senior Product Trainer Consumer Audio HARMAN Indonesia, induk JBL yang berkantor di Indonesia, menjelaskan desain retro yang dirancang pada rangkaian produk ini mengikuti tren yang ada.

“Belakangan ini, tren retro mulai back in town. Terlihat dari fashion style yang kini bergerak ke arah retro. Untuk itu, JBL berupaya untuk bergerak mengikuti perkembangan yang ada,” ujarnya.

Perkembangan tren retro ini pun sejalan dengan semakin tingginya permintaan pada produk audio klasik modern seperti vinyl, tambah Malisa. Oleh sebab itu, JBL terdorong untuk menghadirkan rangkaian produk klasiknya dengan sentuhan teknologi modern. Menariknya, konsumen yang menggemari produk retro dari pandangan JBL adalah para Gen Z dan Millenial.

Gaya retro menjadi hal yang tren saat ini di kalangan Gen Z dan Millenial. Kaum penutup dan pengawal abad ini rupanya menjadi pangsa terbesar yang bisa digarap merek. Bahkan, ketika Gen Z belum berpenghasilan, mereka turut menjadi penyumbang pendapatan.

“Gen Z, dan Milenial kalau sudah menyukai sesuatu, mereka akan bakar uang. Karena vinyl ini tidaklah murah,” katanya.

Salon pintar JBL yang dinamai seri Authentic ini dilengkapi dengan fitur modern seperti Google Assistant, koneksi WiFi, dan kodek yang mampu memutar lagu dengan beragam format. Sementara, JBL Spinner BT adalah gramofon yang mampu terhubung dengan salon pintar dengan koneksi bluetooth.

Meski belum dirilis di Indonesia, Marlisa mengatakan salon pintar ini sudah dipromosikan di Indonesia dengan menggandeng musisi yang juga mencitrakan gaya retro. Musisi bergenre disko, jazz, dan funk jazz, menjadi punggawa yang diusung oleh JBL. Di Indonesia, promosi salon ini menggandeng musisi Maliq & D’Essentials. Di Amerika, merek menggandeng Bruno Mars, dan di Korea Selatan, merek menggandeng Jay Park.

Dengan retro branding, JBL memberi ruang untuk mereka yang ingin modern dan suka analog.

Malisa SofarSenior Product Trainer Consumer Audio HARMAN Indonesia (JBL)

Alhasil, konsep retro ini berbuah manis bagi merek. Penjualannya di lanskap global telah melampaui ekspektasi perusahaan, meski ia tak berkenan menyebut berapa unit yang terjual. Meski tak efektif untuk semua pasar, elemen nostalgia dalam produk JBL mampu menghidupkan kembali nilai historis dari merek berusia 76 tahun ini.

“Gaya hidup orang-orang zaman itu sekarang pasti memiliki retro-vibe. Dengan retro branding, JBL mengisi dua wadah untuk mereka yang ingin modern, dan mereka yang suka dengan analog,” ujarnya.

    Membangun Tren

    Tren retro pada musik memang terbangun dengan perubahan preferensi konsumen. Namun pada ponsel pintar, tren ini rupanya perlu dibangun. Penggunaan retro branding dalam industri smartphone tak bisa sembarangan, karena tiap merek punya keunikan yang khas ketika berbicara elemen retro.

    Ponsel pintar awalnya mayoritas masih dikuasai oleh desain berbentuk persegi dengan layar sentuh di seluruh permukaannya. Hingga akhirnya, beberapa merek memutuskan untuk membawa kembali elemen nostalgia, seperti melipat ponsel pada tahun 2000-an. Salah satunya, Samsung. Samsung yang notabene pemain ponsel pintar lipat pertama di Indonesia menjadi punggawa tren ini.

    Melalui ponsel pintar seri Flip, merek mencoba membawa elemen retro ke dalam desain yang terbarukan. Tidak cuma membawa elemen nostalgia, Flip juga didesain dengan fungsionalitas tersendiri. Verry Octavianus, Product Marketing Manager Samsung Electronics Indonesia mengatakan bahwa desain Flip memberikan kemudahan bagi konsumen.

    “Kami ingin meski smartphone memiliki layar yang lebar, namun tetap bisa masuk ke kantong atau pocket size. Ponsel pintar harus bisa dilipat supaya lebih kompak, dan bisa masuk ke kantong,” ujarnya.

    Seri Flip sendiri dipasarkan bersama dengan seri Fold. Keduanya saat ini sudah mencapai generasi kelima. Meski pasar ponsel pintar lipat tak sebesar ponsel pintar konvensional, perlahan Samsung mampu membangkitkan animo melalui penjualan seri ini. (Grafik 2).

    Image or Photo Marketeers Max

    Seri ketiga Flip menjadi ponsel pintar lipat terlaris di dunia pada tahun 2021 menurut data dari Omdia. Galaxy Z Flip 3 5G terjual sebanyak 4,6 unit. Penjualan ini diikuti juga dengan seri lipat Fold ketiga yang laku sebanyak 2,5 juta unit.

    “Animonya semakin meningkat. Pasar Indonesia semakin besar juga. Penjualan seri ketiga meningkat delapan kali lipat dibanding seri kedua,” ujar Verry.

    Dalam dunia perangkat pintar yang terus berkembang, retro branding telah membuka jalan untuk menjembatani kesenjangan antara masa lalu dan masa kini. Ini bukan hanya tentang memasukkan elemenelemen retro dalam desain, tetapi juga tentang menciptakan pengalaman baru di saat teknologi bertemu dengan masa lalu.

    Leave a Comment

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    Scroll to Top