Kepuasan Pelanggan Demi Masa Depan Bisnis
Jika ada yang pasti dalam lanskap industri ritel dan teknologi, itu adalah perubahan. Pandemi yang melanda dunia beberapa tahun ke belakang telah mempercepat digitalisasi.
Hal ini tak ayal mempengaruhi perubahan dalam kebutuhan dan ekspektasi pelanggan, mereka tidak lagi puas dengan berbelanja melalui satu touchpoint, melainkan pengalaman online dan offline yang terintegrasi.
Agar pelaku usaha tetap kompetitif menghadapi ketidakpastian dan kompleksitas dalam dinamika bisnis, diperlukan kemampuan untuk beradaptasi serta menangkap ceruk pasar seiring dengan preferensi juga kebutuhan pelanggan yang terus berubah.
Konsekuensi dari tantangan ini jelas: dalam menentukan strategi dan pendekatan bisnis, budaya customer- centric berupa kegesitan mengantisipasi kebutuhan pelanggan lewat solusi yang relevan harus menjadi orientasi utama pelaku usaha.
Nyatanya, penerapan hal ini lebih sulit dari sekadar teori. Tak semua pelaku usaha benar-benar mengimplementasikan pendekatan yang berfokus pada pelanggan sebagai arahan bisnisnya. Penelitian konsultan Kearney pada awal 2023 berjudul “Getting the return out of customer centricity”, menemukan bahwa 30 persen pelaku usaha ritel adalah wishful thinkers, alias memiliki strategi yang diklaim berfokus pada pelanggan, tapi tidak mengeksekusinya melalui kebijakan, insentif, atau perubahan budaya.
Padahal, dalam situasi yang sarat akan volatilitas seperti saat ini, menuntut pelaku usaha, terutama pada sektor teknologi, untuk memastikan bahwa bisnis mereka berkelanjutan. Kilas balik ke fenomena tahun 2022 lalu, di mana terdapat ketegangan geopolitik dunia yang memicu gejolak ekonomi, termasuk kelangkaan berbagai barang dan bahan pangan akibat gangguan dalam rantai pasok. Situasi ini merombak lanskap bisnis sektor teknologi, terutama bagi start-up. Lonjakan inflasi global akibat gangguan dalam rantai pasokan dan ketegangan geopolitik memicu kelangkaan barang dan bahan pangan di seluruh dunia.
Kebijakan moneter yang diterapkan oleh Amerika Serikat menambah ketidakpastian pasar keuangan global dan memperlambat aliran pendanaan ke berbagai industri, termasuk start-up.
Akibatnya, muncul fenomena “tech winter” di mana investor menjadi lebih selektif mengalokasikan dana akibat biaya modal yang meningkat. Fenomena yang diperkirakan akan terus berlanjut ini, mendorong pelaku usaha di sektor teknologi untuk menemukan cara agar bisnisnya tetap berkelanjutan. Momentum inilah yang mendorong kesadaran pentingnya pendekatan customer-centric dalam strategi bisnis.
Terlebih, studi dari McKinsey menemukan hubungan kuat antara orientasi tinggi pada pelanggan dan kinerja bisnis yang unggul. Penelitian lain dari Kearney menunjukkan pelaku usaha ritel yang berfokus pada pelanggan dapat mencapai pertumbuhan EBITDA lebih dari tiga kali lipat dibandingkan pesaingnya dalam periode 10 tahun.
Lantas pertanyaannya, apa yang diinginkan pelanggan modern pasca pandemi dan bagaimana mengantisipasi kebutuhannya?
Pelanggan Sebagai Poros Inovasi
Saat ini, pelanggan modern bukan lagi sekadar pembelanja, mereka adalah pencari pengalaman yang menyenangkan. Gaya hidup mereka, yang dibentuk oleh era digital, menuntut lebih dari sekadar produk, tapi sebuah pengalaman holistik dalam berbelanja, dari awal transaksi hingga layanan purna jual.
Pelanggan mengharapkan kemudahan dalam mengakses layanan. Mereka menuntut fleksibilitas dan pilihan yang sesuai dengan gaya hidup mereka. Mereka ingin mengakses layanan tanpa kerumitan, kapan dan di mana pun mereka berada. Menjadi pelaku usaha yang merespons kebutuhan ini berarti menghilangkan hambatan-hambatan yang mereka hadapi dalam rutinitas harian. Karena itu, inovasi amat dibutuhkan.
Di Blibli kami menempatkan inovasi yang berorientasi pada pelanggan sebagai acuan dalam meningkatkan produk serta layanan. Hal itu pula yang pada akhirnya mendorong kami membentuk Blibli Tiket, suatu ekosistem perdagangan omnichannel dan gaya hidup yang terintegrasi bersama dengan tiket.com dan Ranch Market, yang dapat memenuhi hingga sembilan puluh persen potensi konsumsi pelanggan di Indonesia. Ekosistem ini menempatkan pelanggan pada poros pengembangannya, mulai dari kemudahan akses yang diimplementasikan lewat program single sign on, hingga unified loyalty program sebagai nilai tambah di mana pelanggan bisa menikmati berbagai keuntungan di semua platform dalam ekosistem.
Tidak ada yang dapat memprediksi peristiwa di masa depan. Namun, dari sudut pandang pelaku usaha, ada kesempatan untuk aktif terlibat dalam perkembangan dan perubahan yang akan datang. Membangun budaya customer centric menjadi aset berharga dalam menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian. Meskipun tantangannya mungkin kompleks, optimisme untuk terus mendorong pengembangan solusi inovatif berbasis pengembangan teknologi pada produk dan layanan yang relevan, harus tetap terjaga. Kami percaya, menjadikan pelanggan sebagai poros utama, merupakan upaya terbaik dalam merintis jalan menuju bisnis yang berkelanjutan.
Agar pelaku usaha tetap kompetitif menghadapi ketidakpastian dan kompleksitas dalam dinamika bisnis, diperlukan kemampuan untuk beradaptasi serta menangkap ceruk pasar.