Retro Branding, Behavioral Science Perspective

Retro Branding, Behavioral Science Perspective

Konsistensi penting bagi merek. Oleh karena itu, merek harus pandai-pandai menjaga konsistensi tersebut ketika melakukan strategi retro branding dan aneka inovasi lainnya.

Satu prinsip membangun merek yang paling universal adalah konsistensi. Lihatlah bagaimana merekmerek besar konsisten mempertahankan penampilannya. Telkomsel dengan warna merahnya, BCA dengan warna birunya, Gojek, Tokopedia, dan Grab dengan warna hijaunya.

Konsistensi penampilan ini bahkan bukan sekadar warna, seperti bagaimana Bank Mandiri mempertahankan pita biru kuning yang menjadi ciri khasnya, atau bagaimana McDonald’s mempertahankan shape menyerupai huruf M berwarna kuning. Konsistensi brand appearance ini pun terus berkembang ke hal-hal yang lebih implisit dan subliminal seperti penggunaan tone and manner tertentu dalam foto atau gaya berkomunikasinya.

Lihatlah bagaimana semua materi komunikasi Coca-Cola selalu menampilkan rasa yang sama; positive emotion, serta fun & enjoyment moment. Bahkan, tanpa logo dan warna merahnya pun kita masih bisa merasakan kehadiran roh Coca-Cola dalam materi-materinya. Begitu juga dengan bagaimana Gojek dengan karakter “cerdikiawan” yang cerdas namun juga jenaka, memberikan nafas yang berbeda kepada brand Gojek. Bahkan, walaupun layanan yang ditawarkan hampir bisa dikatakan sebagai layanan komoditas basic yang juga ditawarkan oleh pesaing-pesaingnya. Konsistensi dari penampilan sebuah merek memang menjadi kunci untuk membangun brand memory. Layaknya otak mengingat sesuatu seperti mengingat pelajaran, ingatan terhadap merek pun membutuhkan mekanisme serupa, yaitu repetisi atas satu hal yang sama. Otak kita pandai mengingat apa yang berulang untuk kemudian diingat sebagai sesuatu yang kemudian bisa diproses sedemikian cepat tanpa keterlibatan otak sadar.

Dengan mekanisme itu pulalah kita bisa mengenali merek dalam hitungan milidetik, atau bahkan tanpa kehadiran sinyal-sinyal yang eksplisit seperti logo dan warna. Ini terjadi karena otak kita terus bekerja untuk mempelajari apa pun informasi yang bisa ditangkap oleh panca indera untuk kemudian diberi arti.

Ini dilakukan oleh otak dalam rangka survival. Ketika otak menangkap sesuatu yang berbahaya maka kita bisa mengantisipasinya untuk menghindar. Sebaliknya ketika ada sesuatu yang menguntungkan maka kita akan bereaksi cepat untuk mengamankannya. Tahap paling awal untuk mengenali informasi-informasi ini adalah dengan mengenalnya. Jadi jelas bagaimana brand instant recognition membantu konsumen untuk dengan cepat bisa memberi makna terhadapnya.

Menariknya, bahkan ketika berbagai macam literasi menunjukkan bagaimana konsistensi sebegitu pentingnya dalam membantu membangun brand memory ini, kita pun masih menjumpai brand seperti Garuda Indonesia yang mem-branding beberapa pesawatnya dengan brand identity yang berbeda dari yang ia gunakan sekarang. Alihalih dicat dengan warna biru dan logo Garuda yang modern, mereka malah menggunakan kombinasi warna merah dan orange dengan logotype klasik yang pernah digunakan Garuda Indonesia puluhan tahun yang lalu. Praktik ini jelas-jelas bertentangan dengan prinsip konsistensi dalam branding seperti sudah kita diskusikan sebelumnya.

Namun apakah praktik ini kontraproduktif terhadap merek Garuda Indonesia? Apa yang bisa didapatkan oleh Garuda Indonesia dengan melakukan sesuatu yang biasa disebut sebagai retro branding ini?

Berbicara mengenai penampilan, apapun itu bentuknya baik logo, warna, maupun desain adalah bagian dari tren. Waktu pun sudah membuktikan bahwa tren selalu bergerak. Namun waktu juga membuktikan bahwa tren juga bisa muncul melalui proses daur ulang. Lihatlah gaya berpakaian kita saat ini, ada saja elemen-elemen yang sebenarnya pernah trending di masa lalu dan kemudian didaur ulang.

Begitu juga dengan gaya potongan rambut, make up dan lain sebagainya. Tidak mengherankan merek seperti Kawasaki pun ikut memanfaatkan retro trend ini dengan mengeluarkan varian sepeda motor sport Z900 RS yang desainnya mirip seperti motor balap klasik, atau VW yang melahirkan kembali VW Combi yang sebegitu ikoniknya dengan rasa kekinian tentunya.

Dari sisi evolusi, retro brand ini bekerja seperti bagaimana konsep generasi konsumen bekerja. Kita perlu memahami perbedaan perilaku antar generasi juga terjadi dengan dipengaruhi oleh momen hidup mereka. Bagaimana Gen X yang lebih menghargai goods possession ketimbang Gen Y yang lebih mengutamakan experience possession. Ini tidak bisa lepas dari momen hidup Gen X yang cenderung butuh pengakuan berupa barang-barang fisik dengan konteks situasi ekonomi mereka ketika kecil dulu. Maklum, orang tua Gen X adalah Boomers yang waktu itu baru saja berjuang memenuhi kebutuhan setelah Indonesia terlepas dari penjajahan. Sementara Gen Y hidup di era ketika orang tuanya (yang kemungkinan Late Boomers dan Gen X) sudah memiliki kepemilikan barang sehingga tidak memiliki urgensi untuk mencari pengakuan dari kepemilikan barang.

Di sisi lain, tumbuhnya media sosial memberikan mereka kesempatan untuk “memamerkan” pengalaman hidup, baik makan di restoran, liburan ke tempat idaman dan berbagai pengalaman lain. Retro brand bekerja juga dengan cara yang sama. Elemen desain retro yang digunakan saat ini, kebanyakan tren pada setidaknya dua generasi sebelumnya.

Retro branding memang mendapat dorongan organik dari karakter Gen Y dan Gen Z yang cenderung menghargai story dan meaning di belakang sebuah merek ataupun produk ketimbang sekadar penawaran ekstrinsiknya saja. Bagi mereka cerita perjalanan yang menarik dan sudah terbentuk dari produk-produk retro menjadi temuan “antik” yang bermakna. Ketika kemudian didaur ulang dan ditambahkan sentuhan-sentuhan kekinian akan menjadi semakin bernilai.

Tapi, bagaimana dengan konsumen secara keseluruhan, apa mereka juga mendapatkan nilai dari retro branding ini? Bagaimana pula dengan merek yang melakukannya, apa benefit yang didapatkan?

Retro branding itu tentang memadukan elemen inti dari sesuatu yang sudah lampau dengan menambahkan elemen-elemen kebaruan. Kombinasi ini adalah rumusan yang manjur untuk memantik perhatian konsumen. Dalam menjalankan program dasar sehari-hari untuk survive, otak sering terjebak dalam paradoks.

    Di satu sisi, sesuatu yang berpola dan terprediksi akan diartikan sebagai sesuatu yang aman untuk otak, namun di sisi lain hal-hal terprediksi begitu membosankan untuk otak sehingga cenderung diacuhkan. Di sisi lain, sesuatu yang tak terprediksi selalu menarik untuk otak kita dalam memicu dopamin. Namun, ia juga bisa memantik rasa cemas akibat ketidakpastian yang dimunculkan.

    Sebab itu, kombinasi dari retro design yang sudah terbangun di benak konsumen akan diartikan sebagai sesuatu yang aman, namun elemen-elemen kekinian yang ditambahkan memuaskan hasrat otak kita untuk ingin tahu karena unsur tidak terprediksinya itu dengan memantik dopamin dan menciptakan ekspektasiekspektasi yang menarik perhatian dan fokus kita.

    Lebih jauh lagi, manusia juga memiliki nostalgia bias, yaitu kecenderungan untuk melihat masa lalu sebagai sesuatu yang lebih baik ketimbang masa kini dan masa depan. Ini terjadi karena semua memori yang tersisa dari masa lalu tidak mengancam. Ceritanya sudah selesai, momennya sudah berlalu, sehingga yang tersisa hanya happy ending. Sementara masa kini dan masa depan masih menyimpan banyak ketidakpastian.

    Hal itu pulalah yang membuat kita misuh-misuh menjalani masa-masa ospek, namun bisa tertawa lepas mengingatnya ketika peristiwa tersebut sudah lewat. Sesederhana karena ancamannya sudah berlalu, dan hanya kenangan konflik naik turun yang berakhir dengan happy ending yang tersisa. Nostalgia effect ini pula lah yang juga ikut memberikan dampak organik terhadap bagaimana kita menyukai sesuatu yang datang dari masa lalu, termasuk elemen desain retro ini.

    Sebagai contoh, seberapa indahnya sekalipun desain motor balap klasik, kenyamanan mengendarainya tidak bisa dibandingkan dengan motor masa kini yang sudah diperkaya berbagai teknologi suspensi yang lebih maju. Namun, ketidaknyamanan suspensi dari struktur bangun jadul itu pun luput dari ingatan. Terlebih ketika teknologi sudah bisa membantu mengatasinya dalam motor klasik yang lahir kembali dalam tampilan retro yang punya unsur kekinian.

    Proses bagaimana merek masa lalu sudah berbagi cerita dengan kita juga ikut membangun keterikatan kita dengannya. Persis seperti bagaimana kita punya keterikatan pada rumah lama tempat di mana banyak momen berharga hidup kita mengambil tempat. Ikatan itu tetap tinggal bahkan walaupun masa berlalu.

    Begitu juga dengan retro branding. Ingatan terhadap merek legendaris dengan segala desain jadulnya juga terikat dengan berbagai ingatan akan kejadian dengan orang-orang tersayang, seperti orang tua dan kawan lama. Memanfaatkan retro branding juga memberi manfaat untuk memantik ingatan terhadap orang-orang penting dalam hidup kita.

    Namun pada akhirnya, retro branding harus dilihat sebagai sebuah variasi ketimbang sebagai kenormalan baru. Ini bukanlah tentang merubah tampilan desain, produk dan branding untuk menjadi new normal, melainkan menghadirkan flashback refreshment yang akan menjadi kejutan kecil yang memantik ingatan ketimbang merusak konsistensi merek.

    Retro branding itu tentang memadukan elemen inti dari sesuatu yang sudah lampau dengan menambahkan elemen-elemen kebaruan

    Leave a Comment

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    Scroll to Top