Unggulkan Pengalaman Baru

Unggulkan Pengalaman Baru

Di industri perhotelan, menghadapi penguasa pasar yang telah mapan tak bisa cuma beradu modal dan jaringan. Para challenger brands datang bersenjatakan inovasi yang mampu memberikan pengalaman baru dan mengubah tata persaingan industri.

Industri perhotelan selalu didominasi oleh merek-merek besar yang telah mapan. Popularitas hotel sebagai akomodasi bertahan begitu lama. Namun, adanya pergeseran dinamika pasar telah membuka peluang bagi apa yang dikenal sebagai challenger brands di dalam sektor ini.

Para penantang menawarkan inovasi, nilai tambah, atau pengalaman unik yang dapat mengganggu pasar yang sudah ada dan membuat konsumen beralih dari merek yang sudah dikenal. Mereka juga muncul dengan penawaran yang berbeda dalam pengalaman pelanggan. Selain itu, para penantang ini menekankan teknologi inovatif untuk memberikan layanan yang lebih personal, menawarkan solusi ramah lingkungan, atau memberikan pengalaman lokal yang mendalam bagi tamu mereka.

Kehadiran challenger brands tak hanya mengusik ketenangan market leader. Mereka bahkan mengubah peta dan cara bersaing di industri. Mau tak mau, pemain lama, penguasa pasar yang sebelumnya tak tertantang, harus ikut aturan baru.

Para challenger brands tak hanya membuktikan diri bahwa mereka mampu mengusik pasar. Mereka membuktikan keberadaannya dibutuhkan tak hanya oleh konsumen, tapi para pesaingnya. Sehingga, terciptalah koeksistensi di antara keduanya.

Para penantang tersebut adalah apa yang kini disebut sebagai startup. Pelaku industri dipaksa terus berinovasi. Hotel tak lagi jadi opsi tunggal penginapan.

Menurut laporan DailySocial berjudul “Startup Report 2021-2022Q1”, aplikasi dan situs perjalanan serta perhotelan telah memudahkan para wisatawan dalam melakukan perjalanan mereka. Fenomena ini telah meningkatkan popularitas startup di sektor perjalanan dan perhotelan. Traveloka menjadi startup perjalanan dan perhotelan paling populer di Indonesia. Sejak mendapatkan gelar unikorn pada tahun 2017, Traveloka dikenal oleh 99% dari total responden. (Grafik 1).

Image or Photo Marketeers Max

Di peringkat kedua, Tiket.com menempati posisi tersebut. Startup yang didukung oleh Grup Djarum ini dikenal oleh 97% responden. Selanjutnya, Pegipegi dikenal oleh 93% responden. Sementara itu, RedDoorz dikenal oleh 81% dari total responden.

OYO merupakan salah satu startup lain yang dikenal oleh 78% responden. Di sisi lain, startup hotel kapsul, Bobobox, hanya dikenal oleh 41% dari total responden. Survei ini dilakukan terhadap 890 responden yang tersebar di seluruh Indonesia. Mayoritas dari mereka berusia antara 18 hingga 35 tahun, dan mayoritas lokasi responden berada di Pulau Jawa.

Sementara dari sisi pelaku perhotelan, usaha akomodasi di Indonesia memiliki persaingan yang cukup ketat dari sisi jumlah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada tahun 2022, terdapat 29.742 usaha akomodasi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 3.763 usaha atau sekitar 12,65% di antaranya merupakan hotel bintang, yang secara keseluruhan memiliki total kamar sebanyak 358.833 unit.

Hotel bintang di Indonesia didominasi oleh hotel bintang tiga, dengan jumlah 1.443 hotel (38,35% dari total hotel bintang nasional) dan total kamar sebanyak 125.620 unit. Selain itu, terdapat 765 hotel bintang dua (20,33%) dengan jumlah kamar sebanyak 48.941 unit.

Adapun hotel bintang empat berjumlah 752 hotel (19,98%) dengan total kamar sebanyak 112.494 unit, hotel bintang satu sebanyak 559 hotel (14,86%) dengan total kamar sebanyak 23.919 unit, dan hotel bintang lima sebanyak 244 hotel (6,48%) dengan total kamar sebanyak 47.859 unit.

Dari segi distribusi wilayah, mayoritas hotel bintang di Indonesia berada di Jawa Barat, yaitu sebanyak 552 hotel. Diikuti oleh Bali dengan 434 hotel dan DKI Jakarta dengan 402 hotel. Sementara itu, jumlah hotel bintang paling sedikit terdapat di Sulawesi Barat, hanya lima hotel saja.

Dengan jumlah hotel yang semakin banyak tentu persaingan semakin ketat. Bukan hanya kompetitor saja, usaha akomodasi juga perlu menyesuaikan diri dengan perilaku konsumen yang berubah dari tahun ke tahun. Jumlah bintang pada hotel rupanya tidak menjadi penentu akhir pemilihan hotel dari sisi konsumen.

Salah satu tren yang muncul pada industri ini adalah munculnya budget travellerBudget travel adalah bentuk wisata yang memprioritaskan anggaran sebagai faktor utama, terutama dalam pemilihan akomodasi dan transportasi yang terjangkau secara finansial. Sebagian besar milenial yang lahir antara tahun 1980-an hingga pertengahan 1990-an termasuk dalam kategori budget traveller.

Menurut laporan dari Asia Travel Leaders Summit, karakteristik wisatawan milenial Indonesia cenderung lebih memperhatikan harga yang terjangkau daripada karakter wisatawan dari negara-negara seperti Cina, Singapura, dan India. Kelompok ini juga cenderung memilih melakukan perjalanan wisata dengan mengandalkan teknologi digital saat memesan budget hotel dan tiket transportasi. Data distribusi perjalanan wisatawan nusantara menurut kelompok usia menunjukkan bahwa sekitar 31% dari total wisatawan nusantara berada pada rentang usia 15-34 tahun.

Fenomena budget travelling telah memicu pertumbuhan bisnis budget hotel yang banyak dipilih karena harga yang terjangkau. Survei dari Jakpat berjudul “What do Indonesians Seek in Budget Hotel” menunjukkan mayoritas wisatawan yakni 91% memilih hotel berdasarkan harga kamar. (Grafik 2).

Image or Photo Marketeers Max

Acuan lain yang digunakan wisatawan kini adalah letak lokasi hotel, dengan 77% wisatawan mengamini hal tersebut. Selain itu kebersihan kamar juga diyakini menjadi pertimbangan penting bagi 59% wisatawan. Melalui pandemi COVID-19, wisatawan semakin memperhatikan kebersihan kamar yang dipilihnya.

Selain itu, kenyamanan tempat tidur menjadi pilihan bagi 48% wisatawan. Sementara, kebersihan dan kelengkapan kamar mandi dirasa penting bagi 43% wisatawan. Dari segi harga, hotel bujet memiliki tarif di kisaran Rp 250.000 hingga Rp 500.000. Sementara ada beberapa hotel yang menyediakan kamar dengan harga di bawah Rp 250.000. (Grafik 3).

Image or Photo Marketeers Max

Di sisi tujuan, alasan pemesanan hotel masih banyak digunakan untuk berlibur. Sementara, ada porsi kecil tujuan pemesanan hotel untuk perjalanan bisnis.

    Bobobox menjadi pelaku di industri ini yang sukses meraup okupansi tinggi dengan memahami perubahan perilaku dan peta persaingan yang terjadi. CEO Bobobox Indra Gunawan mengakui persaingan di industri perhotelan cukup sengit. Namun perubahan peta persaingan yang terjadi setelah pandemi sudah mendewasakan persaingan industri pada tahun ini.

    “Kalau dulu bahkan hotel bintang 4, bintang 5 mencoba mendapatkan market hotel bintang 3. Kalau sekarang ini saya melihat sudah lebih well segmented, jadi tidak ada price war yang tidak berkesudahan,” katanya.

    Bobobox sendiri menjadi pelaku yang turut menjadi dewasa di tengah persaingan yang makin sehat. Perusahaan menyadari masih ada untapped market dan berinovasi dengan merilis Bobocabin. Merek meredefinisi kembali bahwa penginapan tak sekadar hanya tempat bersinggah, namun juga menjadi destinasi wisata.

    “Salah satu tren yang saya lihat lagi karena pandemi ini kebutuhan atau experience yang berhubungan dengan outdoor, yang berhubungan dengan alam, itu juga menjadi salah satu atraksi dan destinasi,” ungkapnya.

    Bobobox pertama kali muncul dengan konsep penginapan kapsul. Baik kapsul dan kabin menjadi inovasi yang dilakukan perusahaan guna menjaga kompetisi. Selain itu, Indra meyakini bahwa kapsul dan kabin menjadi pilihan alternatif bagi para pelancong selain hotel berbintang.

    Persaingan di ranah budget hotel cukup ketat. Bobobox harus bersaing dengan merek lainnya yakni Reddoorz, OYO, dan juga hotel melati lainnya. Namun, pemahaman tentang pasar dan inovasi mampu membuat merek terus berkembang.

    Bobocabin pertama kali dirilis pada tahun 2021. Jumlah kabin yang dimiliki perusahaan saat perilisan hanya berjumlah dua unit. Kini Bobocabin memiliki 400 unit kabin yang tersebar di 15 lokasi di seluruh Indonesia.

    Menurut Indra, pemenang atau pelaku yang paling kompetitif, atau yang paling diminati adalah pelaku yang paling mengerti konsumennya seperti apa. Pelaku industri tidak bisa melihat pricing strategy saja atau marketing strategy saja. Menurutnya, kerap kali pelaku perhotelan hanya berfokus untuk memenangkan persaingan tanpa berfokus kepada apa yang dibutuhkan konsumen.

    “Kami bukan hanya menjawab kebutuhan fungsional, tetapi juga kebutuhan emosional dan sense of belonging. Sehingga konsumen itu datang dan menikmati produk kami bukan Kami bukan hanya menjawab kebutuhan fungsional, tetapi juga kebutuhan emosional dan sense of belonging. Indra Gunawan CEO Bobobox hanya secara fungsi menjawab kebutuhan mereka, tetapi secara emosi dan secara koneksi juga mereka menemukan produk kami itu relevan dengan gaya hidup mereka,” katanya.

    Artotel juga menjadi pelaku industri perhotelan yang mampu memenangkan persaingan yang ketat. Artotel menghadapi persaingan melawan merek lain dalam bisnis hotel chain seperti Archipelago, Aston, Fave, Neo, dan Amaris. Yulia Maria, Director of Marketing Communications Artotel Group, mengatakan pihaknya mampu memenangkan persaingan dengan menjaga okupansi hotel di atas 60% hingga penghujung tahun.

    Persaingan antar bisnis hotel chain sendiri cukup sengit. Yulia menuturkan peringkat pertama hingga ketiga dalam bisnis ini masih dipegang oleh Archipelago, Santika, dan Swiss Bell. Perusahaan saat ini masih menduduki peringkat keempat.

    Namun persaingan ini berjalan fluktuatif karena dipengaruhi beberapa faktor seperti harga kamar dan tingkat okupansi. Artotel memiliki 105 unit hotel dengan rata-rata jumlah kamar per hotel mencapai 100 kamar dan tersebar di 45 kota dari Aceh hingga Papua. Di setiap kota tersebut Artotel mampu mengalahkan pesaing-pesaingnya baik dari segi harga maupun tingkat okupansi.

    Menurut Yulia, apa yang membawa Artotel memenangkan persaingan adalah branding yang dilakukan oleh perusahaan. Artotel yang mengusung hotel berkonsep seni dan gaya hidup masa kini mampu mempertahankan citranya dengan menjaga kualitas akomodasi yang dikelolanya.

    Merek di masa pandemi kerap melakukan akuisisi beberapa hotel. Usai akuisisi merek kemudian memperbaiki standar hotel tersebut sesuai dengan standar yang digunakan Artotel. Standarisasi ini yang akhirnya membawa Artotel memenangkan persaingan.

    “Saya merasa penting untuk melakukan branding. Tapi, branding itu bukan hanya pasang iklan tapi bagaimana mencapai branding itu melalui standarisasi dari sisi operasional,” ungkapnya.

    Kami bukan hanya menjawab kebutuhan fungsional, tetapi juga kebutuhan emosional dan sense of belonging.

    Indra GunawanCEO Bobobox

    Leave a Comment

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    Scroll to Top