Banyak Maunya, Tipis Dompetnya. Gen Z cenderung takut ketinggalan tren alias FOMO (Fear of missing out), khususnya terkait berbelanja di ritel. Mereka juga senang dengan pengalaman imersif di outlet. Sayangnya, isi dompet mereka tak setebal kemauannya.
Sebagian besar Gen Z masih duduk di bangku kuliah atau memasuki awal dunia kerja dengan daya beli yang masih rendah dibandingkan seniornya. Uniknya, mereka terlahir di era informasi dan internet yang sangat mudah didapatkan sehingga referensi pembelian produk sangat luas. Dengan kondisi psikologis yang masih relatif belum stabil, belanja lebih banyak dipengaruhi oleh faktor kemauan dibandingkan kebutuhan.
Perusahaan riset berbasis online, Populix memotret perilaku berbelanja produk ritel Gen Z dan membandingkannya dengan Milenial dalam riset bertajuk Indonesia Digital Economic and Financial Outlook 2024. Penelitian dilakukan Agustus-September 2023 melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
Pendekatan kualitatif dilakukan melalui 16 mini online focus group discussion (FGD) kepada Milenial dan Gen Z berusia 17 tahun ke atas di kota besar dan kecil di Indonesia. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan survei online melalui aplikasi Populix terhadap total 1.000 responden laki-laki dan perempuan berusia 17-55 tahun di Indonesia dengan durasi pengerjaan survei sekitar 15 menit.
Hasilnya, faktor utama yang memengaruhi perilaku berbelanja Gen Z adalah ketakutan ketinggalan momentum atau fear of missing out (FOMO) yang didorong oleh interaksi di media sosial. Kemudian faktor kedua, yaitu impulsive buying dan gaya hidup. Sedangkan berbelanja berdasarkan kebutuhan menjadi pertimbangan terakhir.
baca juga
Sementara itu, Milenial berbelanja dengan menetapkan anggaran setiap bulannya. Faktor kedua adalah memprioritaskan belanja bahan makanan biasa dibandingkan gaya hidup. Hal yang unik adalah Milenial telah menyadari pentingnya memiliki tabungan sehingga cenderung berbelanja berdasarkan kebutuhan. Grafik 1.
Untuk metode belanjanya, belanja online masih menjadi pilihan utama Gen Z dalam memenuhi kebutuhan maupun kemauannya. Tercatat, sebanyak 54% responden dalam penelitian ini memilih belanja di e-commerce. Kemudian datang secara langsung ke toko sebesar 42% dan hanya 3% responden yang memilih belanja di media sosial. Grafik 2.
Dari sisi daya beli Gen Z yang rendah terpotret dalam penelitian Grab bertajuk Tren Kuliner dan Belanja Harian Online di Indonesia 2023. Penelitian ini melibatkan 1.069 responden di Indonesia yang dilakukan pada Agustus 2023 secara kuantitatif dan kualitatif. Tujuannya untuk menggali wawasan dan pandangan yang lebih dalam.
Hasilnya sebanyak 63% Gen Z cenderung membandingkan harga di antara semua opsi yang ada. Sedangkan sisanya sebanyak 37% Gen Z hanya berbelanja saat adanya promosi. Grafik 3.
Banyaknya populasi Gen Z dan Milenial di Indonesia berpengaruh terhadap lanskap pemasaran yang bergerak sangat dinamis. Apalagi, data sensus penduduk tahun 2020 mencatat populasi Gen Z mencapai 75,49 juta dan Milenial 69,38 juta yang artinya mendominasi demografi penduduk. Mereka sudah tidak bisa lagi dianggap sebagai segmen muda.
Milenial memang saat ini menjadi revenue generator, namun segmen ini sudah tidak trendi lagi. Karena untuk membidik Gen Z, merek membutuhkan pendekatan baru. Milenial merupakan digital savvy yang belajar dan terhubung dengan internet pertama kali saat mereka berada di kampus atau di kantor. Artinya, mereka sudah cukup umur ketika terpapar dengan internet. Sementara, Gen Z terekspos dengan internet sejak umur di bawah lima tahun.
Di kalangan Milenial, karena teknologi sebagai alat, maka online dan offline terpisah. Sedangkan bagi kalangan Gen Z, online dan offline sudah tercampur tanpa batas yang jelas. Misalnya, sekelompok anak-anak Gen Z atau juniornya yang main gim dalam satu ruangan selama dua jam tanpa bicara, namun mereka bercakap-cakap dalam gim tersebut.
Pendekatan yang paling cocok untuk Gen Z adalah pendekatan immersive yang sesuai dengan karakter kehidupan mereka di mana online dan offline menyatu dalam kehidupan mereka tanpa batasan. Setidaknya lima elemen pembentuk immersive experience, antara lain frictionless, multisensory, participative, interactive, dan storytelling.
Salah satu pemain ritel yang gencar melakukan pendekatan immersive dalam mengejar simpati Gen Z yakni restoran cepat saji McDonald’s. Perusahan asal Amerika Serikat (AS) ini membangun kemitraan atau partnership yang dibungkus dalam kolaborasi bisnis yang bersifat mutualisme bersama Pokemon Go. Tujuannya untuk menyuguhkan sesuatu yang unik dan berbeda bagi para pelanggan.
Jacob Kreimer, Head of Emerging Markets Niantic Inc menjelaskan sebagai restoran cepat saji yang sudah sangat top-of-mind di Indonesia, McDonald’s tak henti-henti dalam membangun kreasi dan kemitraan potensial yang selalu berpedoman pada customer-centric. Kolaborasi dengan perusahaan mobile game Pokémon Go menghadirkan pengalaman pelanggan McD tidak sekadar makan di restoran, tetapi juga dapat bermain Pokémon Go.
Dengan kerja sama tersebut, gerai McDonald’s yang berjumlah 293 unit di seluruh Indonesia sudah berubah menjadi PokéStop atau Gym. Para komunitas Pokemon Go juga dapat bermain langsung bersama di McD.
Setiap pengunjung dan komunitas yang mendatangi PokéStop tentu akan mendapatkan special offer dan in-game item Pokémon Go yang menarik. Para pemain Pokémon Go juga dapat menemukan Pokémon khusus yang hanya ada di McDonald’s.
“Partnership McDonald’s dengan Pokémon Go dapat memberikan immersive experience ke seluruh gerai McDonald’s di Indonesia dan kami ingin mengelevasi dining experience dan playing experience,” kata Jacob.
Thomas Syahreza, Associate Director of Digital McDonald’s Indonesia menambahkan, kolaborasi bersama Pokémon Go ingin menghadirkan pengalaman pelanggan yang belum ada di gerai-gerai lain. Pokémon Go sebagai mobile game masih memiliki banyak pemain setia dan sudah banyak membangun kolaborasi dengan berbagai perusahaan lintas industri.
Kolaborasi yang saat ini dilakukan dengan kedua belah pihak jauh lebih mendalam dan komprehensif dengan model end-to-end yang melibatkan aplikasi sekaligus Pokémon Go, salah satunya pada saat pelanggan ingin melakukan redeem voucher.
Alasan utama Pokemon Go tertarik bermitra dengan McDonald’s adalah pengalaman yang mampu membangun innovative campaign yang selalu booming dan viral. Selama ini, McDonald’s selalu memiliki innovative campaign, mulai dari New Jeans dan ayam balado. Campaign tersebut menjadi memorable dan iconic yang membuat McDonald’s Indonesia sebagai perusahaan yang kreatif dan progresif.
Inilah alasan yang membuat McDonald’s dan Pokemon Go memiliki visi kuat dalam membangun experience terbaik bagi pelanggan di seluruh Indonesia. “Sasaran target utama yang disasar dari kemitraan ini adalah para pelanggan setia McDonald’s, para gamers dan trainers Pokémon Go, serta tak lupa para Milenial dan Gen Z,” kata Thomas.
Partnership McDonald’s dengan Pokémon Go dapat memberikan immersive experience ke pengunjung di seluruh gerai McDonald’s di Indonesia.
Jacob KreimerHead of Emerging Markets Niantic, Inc.