ukms.or.id – bisnis ukm sekrang bisa memanfaat kan berbagai hal, salah satu nya limbah , sehingga nyaris bias dikatakan tanpa modal.
Unik, Bisnis Kerajinan Ini Manfaatkan Limbah Menjadi Miniatur
Bahan daur ulang selalu menjadi primadona dalam bisnis kerajinan. Selain unik, kerajinan berbahan daur ulang juga diminati banyak orang. Tengku Roni Jalaluddin merupakan salah satu pelaku usaha yang menjajal bisnis tersebut.
Berkreasi dari bahan kertas koran bekas, Roni sangat lincah menggerakkan jemarinya. Ia membuat kerajinan yang unik dan menarik. Dirangkainya dari kertas tak berguna tersebut menjadi berbagai miniatur kendaraan yang sangat cantik.
Keahliannya itu tak didapatkannya dari pelatihan apalagi pendidikan jurusan seni. Ia mempelajari semuanya secara autodidak.
“Saya belajar secara autodidak, melihat Youtube pun tidak. Saya hanya membayangkan benda yang ingin saja buat,” ujar pria kelahiran 1972 tersebut.
Roni baru memulai bisnis kerajinan miniaturnya setahun lalu. Ide bermula ketika begitu banyak tumpukan koran di rumahnya hingga membuatnya gerah. Ia pun mencoba memanfaatkannya. Miniatur sepeda merupakan produk pertama yang dibuatnya.
Dari iseng-iseng membereskan koran tersebut lah, Roni kemudian melihat celah bisnis di sana. Ia kemudian menjajal berbagai bentuk kendaraan dan hasilnya ternyata sangat mirip dengan aslinya. Ia pun kemudian memulai bisnis kerajinan miniaturnya hanya bermodal kertas koran bekas.
Bisnis UKM Tanpa Modal
Saat memulai bisnisnya, Roni nyaris tak mengeluarkan uang untuk modal. Ia memulai bisnis tanpa modal dan hanya berbekal keterampilan tangannya membuat kerajinan. Yang Roni butuhkan hanyalah peralatan yang memang sudah ada seperti gunting dan lem. Adapun bahan baku koran bekas didapatkannya dari teman, tetangga hingga gudang kantor sebuah surat kabar di Jakarta.
Roni sanggup membuat berbagai miniatur kendaraan yang unik. Sebut saja Harley Davidson, motor bebek, truk, mobil, becak, sepeda hingga replika kapal phinisi. Ia juga menerima custom sesuai pesanan pembeli.
Di antara semua produknya, kapal phinisi merupakan yang paling rumit dan paling sulit untuk dibuat. Ia bahkan membutuhkan waktu hitungan hari untuk membuatnya. “Saya butuh waktu sekitar dua hari untuk membuatnya,” ujar pria kelahiran Tebing Tinggi tersebut.
Tak hanya menyamakan bentuknya, ukurannya pun diperhitungkan Roni dengan detail. Menurutnya, dibutuhkan ketelatenan, kesabaran dan ketenangan pikiran untuk membuat kerajinan miniatur. Meski demikian, dalam sehari, Roni mampu membuat 10 hingga 20 buah miniatur yang apik. Harga jualnya sangat terjangkau, yakni dari Rp 10 ribu hingga Rp 100 ribu per buah.
Jual Online Hingga Memberi Pelatihan
Selain menjual kerajinan miniatur secara langsung ke pembeli, Roni juga berhasil menjual ke luar kota melalui penjualan online. Ia sering kali mendapat pesanan dari Jakarta, Bali, Padang hingga Subang. Dalam sehari, Roni mampu menjual rata-rata 15 buah miniatur.
Penjualan online kerajinan miniatur dilakukan Roni melalui sosial media, baik Instagram maupun WhatsApp dan Line. Ia gencar melakukan promosi hingga mendapat banyak pembeli ataupun pelanggan. Bentuk kerajinan miniatur yang apik serta berbahan daur ulang yang unik membuat produk Roni disukai banyak orang.
Tak hanya menjual produk, Roni pun giat memberikan pelatihan kerajinan miniatur. Ia mengatakan, banyak orang yang sering datang meminta bantuannya untuk diajarkan berkreasi kerajinan koran bekas. Tak hanya masyarakat umum, Roni bahkan mengajarkan kerajinan tersebut pada pelajar dari sekolah dasar hingga menengah. Ia pun pernah memberikan pelatihan kepada para mahasiswa dari salah satu universitas swasta di ibu kota.
Memberikan pelatihan termasuk salah satu strategi marketing Roni. Ia mengatakan, para peserta pelatihan sering kali membeli kerajinannya untuk dibawa pulang. Bahkan sebagian besar mereka akan memborong kerajinan Roni sebagai contoh untuk belajar di rumah.
Roni tak pernah sungkan untuk membagi ilmunya. Ia yakin, kerajinan miniatur dari koran bekas memiliki peluang yang besar di masa depan. Pasalnya, dalam beberapa waktu ke depan, koran akan sangat langka dan sulit dijumpai. Mengingat saat ini media digital mengambil alih. Oleh karena itu, berkreasi koran bekas akan sangat berguna dan bernilai dari waktu ke waktu.
Kreatif, Pasutri ini Sukses Bisnis Cemilan dari Kulit Pisang
Sebagian besar orang pastilah membuang kulit pisang setelah memakan buahnya. Siapa sangka hal tersebut justru menjadi ide usaha bagi Bibit Supriyanto. Unik dan kreatif, Bibit justru melihat peluang bisnis cemilan pada kulit pisang.
Bersama istri tercinta, Sri Purwati, Bibit menyulap kulit pisang yang biasanya berakhir di tempat sampah itu menjadi cemilan yang lezat lagi bergizi. Dibuat bersama bonggol pisang, kulit buah kaya kalium tersebut diolah Bibit dan istri menjadi jajanan keripik yang krispi.
Sebagaimana kulit pisang, bonggol pisang pun bukanlah bahan pangan pada umumnya. Namun dua “sampah” tersebut ternyata dapat diolah menjadi keripik yang sangat lezat. Saat memakannya, seorang tak akan menyangka cemilan tersebut berasal dari bonggol dan kulit pisang.
Ide kreatif bisnis cemilan unik ini bermula dari neneknya Sri. Jaman dulu, sang nenek sering kali merebus bonggol pisang sebagai lauk makan.
Namun zaman sekarang bonggol tersebut biasanya untuk pakan ternak sapi saja. Bibit pun berpikir bagaimana menghidupkan kembali panganan tersebut di era modern, plus bagaimana memanfaatkan kulit pisang menjadi panganan yang tak kalah lezat dengan buahnya. Dari situlah, ide keripik bonggol dan kulit pisang tercipta.
Berkat produk keripik kulit pisang dan keripik bonggol pisang, Bibit dan Sri meraih kesuksesan. Setiap hari, keduanya mampu memproduksi keripik bonggol pisang sekitar 20 kilogram dan keripik kulit pisang 15-18 kilogram. Omset keduanya pun mencapai Rp 50 juta setiap bulan
“Produksinya tiap hari kecuali hari Minggu. Alhamdulilah omzetnya dalam sebulan bisa mencapai Rp 50 juta, minimal pernah Rp 30 juta, tapi itu khusus untuk produk bonggol dan kulit pisang saja, beda dengan cemilan di luar pisang, seperti keripik pare sama keripik jamur,” tutur Bibit dikutip dari liputan6.com.
Omzet tersebut pun akan berlipat ketika pabrik rumahan bisnis cemilan Bibit mendapat kunjungan. “Jika ada kunjungan dari kampus-kampus, Dharma Wanita atau Karung Taruna, karena kan kadang juga ada yang suka berkunjung untuk melihat proses pembuatannya, ya dalam sebulan bisa ada 3 sampai 4 kunjungan, nah itu biasanya di luar omzet yang saya peroleh,” lanjutnya.
Modal 500 Ribu
Bibit dan Sri memulai usaha keripik kulit pisang dan keripik bonggol pisang sejak tahun 2007 lalu. Bermodalkan Rp 500 ribu, pria berusia 40 tahun tersebut memasarkan keripiknya ke toko-toko sekitar tempat tinggal di kawasan Bantul, Yogyakarta. Saat itu, keduanya masih jungkir balik menjalankan bisnis. Bahkan tak sedikit mereka menerima ejekan produk pangan yang mereka buat.
Nasib memihak keduanya ketika secara tidak sengaja bertemu dengan mahasiswa UGM yang tengah menempuh kuliah kerja nyata. Dari tangan mereka lah, bisnis cemilan keripik bonggol dan kulit pisang milik Bibit dan Sri mengalami perkembangan yang sangat pesat.
“Selama 3 sampai 4 bulan pertama, kita coba-coba dulu, awalnya dipasarkan di daerah Bantul saja di toko-toko sekitar. Kemudian ketemu sama Ikatan Mahasiswa Masyarakat Madani (IMMM) UGM yang sedang KKN. Nah saya minta bantuan untuk diuji coba hasil lab UGM, terus sama mereka saya dibikinkan website juga, namanya keripikalbarik.com, dan hasilnya malah makanan ini aman dikonsumsi serta memiliki berbagai macam kandungan gizi,” kisah Bibit, antusias.
Keripik Al Barik
Keripik Al Barik menjadi brand produk kreatif Bibit dan Sri. Keripik tersebut pun mendapat sambutan positif setelah lolos uji gizi UGM dan merambah ke bisnis online. Tak hanya itu, Bibit pun giat melakukan pameran, dari lokal hingga mancanegara.
Bibit menuturkan, ia sering kali turut serta dalam pameran UKM dari pemerintah. Hingga kemudian pemerintah setempat menyambut antusias dengan menjadikan Keripik Al Barik sebagai produk unggulan. Lebih dari itu, Kementerian Perindustrian bahkan sering kali mengundang Bibit untuk acara studi banding pemerintah di banyak daerah di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Aceh, Sulawesi, Kalimantan bahkan Papua.
Bahkan tak hanya di dalam negeri, Bibit dan Sri pun sering kali diminta untuk menghadiri pameran di luar negeri. “Untuk pameran UKM di luar negeri, saya sudah ke Malaysia. Waktu itu pernah juga diundang sebagai nara sumber di RDA (Rural Development Academy) dan Daffodil Internasional University Dhaka Bangladesh, NARC (National Agriculture Research Center) Pakistan. Itu selama dua minggu kita ada di sana, pernah juga ke Hong Kong, Bahrain, sama Singapura,” tutur Bibit.
Berkat inovasi dan kerja kerasnya dalam usaha Keripik Al Barik, Bibit dan Sri mendapati kesuksesan yang tak pernah mereka sangka. Bahkan keduanya masih teringat masa-masa di mana ejekan demi ejekan diterima karena memproduksi keripik dari bongkol dan kulit pisang yang notabene hanya sampah. Jangan pernah berputus asa dan jangan lupa berbagi pada sesama, demikian pesan Bibit kepada para wirausahawan yang ingin mengikuti jejaknya.
Sukses Bisnis Lele Ala Cah Banyuwangi
Tak banyak pelaku usaha yang berhasil sukses berbisnis lele. Selain perawatan ternak yang jeli, bisnis lele juga memerlukan strategi pemasaran yang handal. Agus Riyanto merupakan salah satu wirausahawan yang berhasil di ranah bisnis tersebut.
Bisnis lele bukanlah usaha pertama Agus. Pria berusia 32 tahun tersebut sebelumnya membuka sebuah bengkel di Kota Surabaya. Keinginannya untuk pulang kampung membuatnya berpikir untuk mengubah bisnisnya. “Saya termotivasi kembali ke desa, sebelumnya saya sudah punya bengkel dan finance di Surabaya. Ingin pulang kampung dan membangun desa,” tuturnya, dilansir Detik Finance.
Keinginannya itu pun mulai terlaksana di akhir tahun 2014. Agus kembali ke kampung halamannya, Desa Jambewangi Kecamatan Sempu Banyuwangi. Di sana ia membuka 28 petak kolam peternakan lele. Modal yang ia keluarkan tak tanggung-tanggung, yakni Rp 50 juta.
Bisnis lele dipilih Agus karena mendapati desanya yang kaya sumber daya air. Dengannya ia tak kesulitan mencari lahan untuk membuka tambak dan mengairinya. Selain itu, Agus juga dikenal sebagai anak desa yang cekatan dalam beternak.
Berkat kegigihannya, Agus mampu mengantongi laba puluhan juta rupiah. Setiap tahunnya, ia sanggup panen tiga kali dengan hasil lebih dari 3 ton setiap petak kolam lele. Bayangkan saja berapa ton yang ia hasilkan untuk 28 petak kolam miliknya. Jika dihitung tiga kali panen, maka Agus mampu menghasilkan lele sebanyak 252 ton setiap tahun.
Dengan produksi sebanyak itu, Agus mampu mengantongi omset Rp 42 juta per empat petak. Artinya, ia mampu meraih omset total 294 juta setiap panen. Padahal ayah dari satu anak tersebut hanya membutuhkan uang Rp 30 juta untuk pembibitan dan pangan per empat petak.
“Jadi ada keuntungan Rp 12.000.000 per empat petak. Jika ada 28 petak tinggal mengalikan sendiri,” tutur Agus menyungingkan senyum.
Jika dihitung, maka keuntungan yang diterima Agus setiap panen yakni Rp 3 juta per petak. Jika dikalikan 28 petak, maka ia berhasil mengantongi uang Rp 84 juta setiap kali panen. Angka itu bukanlah omset, melainkan laba bersih. Menakjubkan, bisnis lele benar-benar menjanjikan kekayaan.
Cara Budi Daya Lele
Agus tak segan membagi rahasia kesuksesannya tentang bagaimana cara budi daya lele. Ia pun mengajarkan tentang sistem pengairan hingga pemilihan pakan untuk lele. Menurutnya, sistem Central drain merupakan teknik yang pas untuk menghemat air. Adapun untuk pakan dan konsentrat, kata Agus, haruslah berkualitas agar lele yang dihasilkan memenuhi standar unggul.
Agus menuturkan, cara budi daya lele menentukan kualitas yang dihasilkan. Jika pemberian pakan dan sistem pengairan dilakukan dengan baik, hasil budi daya lele akan berkualitas tinggi. Daging yang dihasilkan bahkan nampak tebal dan apik dimasak fillet bahkan untuk sushi.
“Kami beri pakan full pellet dengan kandungan protein di atas 30 persen dan vitamin, sirkulasi airnya juga selalu bersih. Sehingga dijamin hasil lelenya beda lebih kenyal dan enak bahkan untuk dibuat fillet dan sushi juga bagus,” terangnya.
Tak hanya cekatan dalam melakukan budi daya, Agus pun mahir dalam menjalankan strategi penjualan lele dari tambaknya. Mengatasi permasalahan dengan tengkulak adalah salah satu strategi Agus. Caranya, ia membentuk komunitas agar antar anggota saling menjaga pasokan pasar dan meminimalisir campur tangan tengkulak.
“Keuntungannya kalau komunitas harga jualnya kita diambil harga lebih tinggi dibanding pasar. Misalnya harga jual pasar Rp 16.500 kita beli dari komunitas selisih Rp 1.000, jadi membangun kepercayaan sekaligus meminimalisir tengkulak,” ujarnya.
baca juga
1000.001 Ide Bisnis UKM Dengan Modal Mulai 100 Ribu
Panduan Bisnis Online Terlengkap
350 Daftar Waralaba Dan Franchise Mulai Dari 1 Juta sd 1 Milyar
Bisnis Olahan Lele
Tak hanya bisnis ternak lele, Agus pun melebarkan sayap usahanya dengan membuka bisnis olahan lele. Ia tak hanya menjual lele mentah hasil dari tambaknya saja, namun juga mengolahnya dan menjual produk jadi. Aneka pangan dari lele ia produksi, di antaranya nugget dan crispy berbahan dasar lele.
Agus pun memiliki strategi tersendiri untuk bisnis olahan lele. Meski bahan bakunya diambil dari tambak sendiri, namun lele dipilah yang berukuran besar saja. Ia hanya mengolah lele yang berukuran terlalu besar untuk dijual.
“Kalau lokal kan ukuran satu kilogram maksimal isi 7 sampai 8 ekor. Kalau untuk diolah kita pakai yang satu kilogram isi 5 sampai 6 ekor. Kita buat bakso, nugget, tempura, fillet dan crispy. Ternyata pasar lebih suka crispy dan nugget jadi kita dua macam saja sekarang,” pungkasnya.
+ There are no comments
Add yours