Alasan di Balik Perilaku Setiap Generasi

Alasan di Balik Perilaku Setiap Generasi , Setiap generasi memiliki karakter dan preferensi yang berbeda. Pemahaman ini akan membantu pemasar dalam menentukan strategi marketingnya.

Marketing untuk generasi tertentu sudah menjadi topik yang populer beberapa tahun belakangan. Mulai dari Generasi Y atau sering disebut Milenial hingga Generasi Z yang dalam beberapa tahun ke depan akan menjadi kelompok pembeli paling besar. Saya sebenarnya tidak terlalu tertarik untuk membahas hal ini karena kebanyakan pembahasan soal ini lebih banyak dilakukan sebagai hafalan ketimbang upaya untuk mengerti “the why” di belakang perbedaan perilaku ini.

Absennya pemahaman mengapa ini terjadi akhirnya menjebak kita untuk secara saklek menerima ini sebagai sesuatu yang benar dan salah, hitam putih, ketimbang sesuatu yang berjenjang dengan beberapa pengecualian. Tapi baiklah, agar topik ini tidak menjadi “hukum” yang diterima hitam putih dan kemudian bisa dikultuskan, mari kita bahas bagaimana ini terjadi.

Generasi ini dikenal sebagai generasi yang menghargai sesuatu yang memiliki purpose dan meaning yang jelas dan menarik. Aktivitas mengayuh sepeda pada konser Coldplay untuk menunjukkan kepedulian terhadap energi terbarukan menjadi sesuatu yang resonate untuk mereka. Mereka juga menghargai cerita di belakang sebuah sosok, baik orang maupun merek.

Dengan alasan itulah produk-produk “retro” kembali mendapat tempat di hati mereka. Mereka juga menyukai sesuatu yang autentik apa adanya ketimbang sesuatu yang indah namun dibuat-buat. Maka dari itu iklan-iklan di sosial media dengan kualitas gambar yang “over-polished” cenderung mendapat respons yang lebih rendah ketimbang yang tidak sempurna namun orisinil.

Selain memiliki kepedulian sosial dan lingkungan lebih dari generasi-generasi sebelumnya, mereka juga punya sisi rasional yang sangat kuat. Apa pun yang masuk akal akan mendapat tempat di benak mereka. Ini membuat mereka menjadi begitu inklusif, termasuk  pada merek-merek pendatang baru yang masih minim rekam jejak. Tidak heran kehadiran merek-merek lokal di daftar pertimbangan pembelian mereka pun meningkat dalam beberapa bulan terakhir selama memenuhi unsur-unsur lainnya.

Mereka juga memanfaatkan lingkungan sosial mereka sebagai pengaruh untuk berpikir dan memutuskan pilihan. Bukan berarti mereka akan menerima apapun yang direkomendasikan teman dan keluarga seperti generasi Milenial, tapi ini menjadi jalan masuk untuk mereka mencari tahu dan mempertimbangkan pilihan yang datang dari orang sekitar untuk kemudian divalidasi purpose, meaning, story, autentisitas dan rasionalitasnya. Mereka juga menghargai tampilan visual. Kehadiran sosial media yang menawarkan multimedia cukup bisa memberikan pilihan lain untuk mencari informasi selain Google.

Kehadiran sosial media ini pula yang juga meningkatkan ekspektasi mereka untuk bisa terlibat sebagai co-creator dan produser ketimbang pasif hanya sebagai pengamat. Mereka juga memiliki literasi bisnis dan keuangan yang amat sangat baik dibanding generasi-generasi sebelumnya. Di usia yang relatif muda mereka sudah dengan fasih dan percaya diri berbicara mengenai bagaimana mencari uang dan membuat uang menjadi lebih produktif untuk mereka dibandingkan generasi-generasi sebelumnya di usia yang sama.

Berbagai karakter dan tindakan unik ini terjadi tidak lepas dari fase hidup yang berbeda dari generasi ke generasi. Ini pun sejalan dengan piramida kebutuhan manusia yang dicetuskan oleh Abraham Maslow.

baca juga

    Boomers

    Generasi ini lahir di tahun 1946 hingga 1964. Di Indonesia sendiri mereka lahir beberapa tahun setelah Indonesia merdeka. Di era itu kehidupan kebanyakan orang masih amat sangat sulit. Mereka pun dipaksa untuk menjadi pekerja keras yang baru membangun hidup pascakemerdekaan.

    Mereka adalah petarung tangguh yang pantang mengeluh karena didikan orang tua yang hidup di zaman yang jauh lebih sulit dibanding mereka. “Hidup kalian itu lebih baik dibanding masa-masa penjajahan, jadi harus bersyukur, bekerja keras dan jangan banyak komplain”, begitu mungkin omongan orang tua mereka.

    Dari perspektif Maslow hierarchy of needs mereka adalah generasi yang orientasinya adalah mencari pemenuhan kebutuhan yang paling dasar yaitu kebutuhan fisiologis seperti sandang dan pangan. Mereka mulai masuk ke dalam usia produktif pada tahun 1969 hingga 1987, di mana radio dan TV menjadi channel utama yang tidak terlalu menawarkan banyak pilihan. Maka dari itu sikap untuk bekerja keras dan menerima apapun yang diberikan begitu mendarah daging.

    Generasi X

    Generasi ini lahir pada tahun 1965 hingga 1979. Pada masa-masa ini keadaan ekonomi sudah lebih baik. Namun mental pekerja keras Boomers yang jadi kakak dan orang tua mereka masih tersisa. Dalam Maslow hierarchy of needs, generasi ini memiliki orientasi kebutuhan yang berbeda, tidak lagi hanya pada kebutuhan fisiologis namun lebih ke kebutuhan keamanan. Maka dari itu pula kepemilikan rumah dan kendaraan menjadi sebuah lambang kesuksesan. Dari situ kepastian dan keamanan akan tempat tinggal, tabungan dan aset fisik menjadi prioritas. Selain masih memiliki sifat pekerja keras mereka juga bekerja pintar karena kehidupan yang lebih baik.

    Generasi ini mulai memasuki usia produktif sejak tahun 1988 hingga 2002. Pada masa-masa ini TV mulai menawarkan pilihan kanal yang lebih beragam. TV kabel dan internet pun muncul dan memberikan mereka lebih banyak informasi yang pada akhirnya membuat mereka memiliki pikiran dan wawasan lebih terbuka dibanding Boomers.

    Generasi Y

    Lahir antara tahun 1980 hingga 1994, generasi ini relatif tidak memiliki kekhawatiran terhadap kondisi ekonomi. Mereka mulai memasuki usia produktif pada tahun 2003 hingga 2017 tepat di masa banyak platform sosial media bermunculan. Tidak bisa dimungkiri kehadiran sosial media ini membuat dorongan untuk memiliki aset fisik pun menurun, dan dorongan untuk memiliki aset berupa pengalaman meningkat seiring dengan kesempatan untuk “saling intip” dan “saling kepo” aktivitas teman. Pada periode ini pulalah istilah FOMO (fear of missing out) populer.

    Di saat yang sama, influencer dan Key Opinion Leader (KOL) memiliki placebo effect yang luar biasa besar. Apa pun yang direkomendasikan oleh mereka yang memiliki masa besar akan semerta-merta menjadi menarik. Ini juga sejalan dengan Maslow hierarchy of needs level selanjutnya yaitu munculnya kebutuhan sosial.

    Generasi Z

    Lahir pada tahun 1995 hingga 2009 dan mulai masuk usia produktif pada tahun 2018 hingga 2032 di mana Metaverse, Tiktok dan Artificial Intelligence muncul dan menjadi populer. Teknologi blockchain dan cryptocurrency juga mencapai turning point-nya di periode ini. Internet bukan lagi jadi barang mewah, tapi menjadi kebutuhan dasar di mana sebagian besar anak di generasi ini menghabiskan masa batitanya sibuk dengan berbagai aplikasi gawai dan internet. Tidak heran mereka memiliki wawasan yang luas.

    Mereka mendapatkan banyak informasi secara mudah. Ini juga membuat mereka paling baik dalam hal literasi keuangan, teknologi, dan juga bisnis. Dan berbagai informasi tersebutlah yang memicu ketertarikan terhadap isu lingkungan, isu sosial, dan cerita di belakang sebuah fakta. Informasi dan teknologi yang semakin kompleks seperti AI dan blockchain pula yang membuat mereka menempatkan rasionalitas sebagai syarat mutlak.

    Pun begitu dengan sifat open minded yang lebih paripurna lagi akibat penemuan-penemuan yang sebelumnya tidak terbayangkan. Akses ke sosial media yang semakin sempurna juga membuat mereka menjadi sosok yang menempatkan lingkungan sosial sebagai influence-nya. Namun di sisi lain mereka tidak mau hanya menjadi penonton, mereka ingin juga berpartisipasi aktif berinteraksi seperti terjadi pada platform sosial media.

    Kecepatan internet yang semakin membaik juga memberikan kesempatan untuk bertukar konten visual yang lebih baik. Hal ini membuat tampilan sebuah merek baik kemasan, desain maupun konten menjadi penting. Namun kehadiran alter ego yang dimungkinkan oleh sosial media membuat mereka jengah dan menghargai autentisitas secara lebih.

    Kehadiran cryptocurrency dan akses ke literasi-literasi bisnis dan keuangan juga membuat mereka lebih punya ketertarikan pada dunia bisnis dan keuangan ketimbang generasi sebelumnya. Dan ini semua juga sejalan dengan level selanjutnya dari Maslow hierarchy of needs yaitu tentang kebutuhan esteem, respect, recognition, status dan kebebasan. Tidak heran jika generasi ini juga sering disebut sebagai generasi strawberry dengan karakter yang indah namun lembek dan tidak tahan banting. Mengingat generasi ini hidup tidak dengan tantangan hidup yang berbeda seperti dialami oleh Boomers dan Gen X.

    Jadi memang betul setiap generasi berbeda, walaupun selalu ada pengecualian. Jika kita melihat bahwa segmentasi berdasarkan generasi adalah sebuah bentuk stereotyping, maka kita juga harus mengerti bahwa akan selalu ada pengecualian. Selalu ada generasi Z yang kondisi ekonominya memaksa untuk berpikir dan bertindak seperti Boomers dan Gen X. Namun tetap dengan membawa beberapa karakter Gen Z pada umumnya.

    Sebagai marketer, kita harus menyikapi ini secara bijak. Tidak menganggapnya sebagai dikotomi hitam putih, melainkan sebagai gradasi yang lebih halus di antara tiap generasi dan tahun-tahun yang berbeda dalam tiap generasi.

    Ini juga mendorong kita untuk kembali master the basic, mengerti konsumen pada level “the why” ketimbang sekadar menghafal “the what” tanpa mengerti alasan di belakangnya. Karena sudah pasti generasi dan perilaku akan terus berubah seiring kondisi ekonomi dan fase hidup yang juga bergerak. Dan kegagalan untuk memahami alasan di balik fakta yang terjadi akan membuat kita tertinggal dalam persaingan.

    Leave a Comment

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    Scroll to Top