Jangan Terpaku Pada Mitos GenZ

Jangan Terpaku Pada Mitos GenZ , Pemasar saat membidik segmen Generasi Z sebaiknya tidak terjebak pada asumsi-asumsi umum namun keliru tentang perilaku mereka. Mitos-mitos seputar Gen Z perlu dipahami agar strategi komunikasi bisa tepat sasaran.

Sekitar enam bulan yang lalu, salah satu tokoh partai besar di Indonesia melakukan diskusi terkait political marketing di masa Pemilu 2024. Karena sang tokoh merupakan generasi baby boomer, maka diskusi kemudian berfokus pada Gen Z. Kebetulan sebelum pertemuan tersebut ada sejumlah survei tentang Gen Z dan Pemilu 2024, terutama terkait dengan besarnya proporsi Gen Z dalam Pemilu 2024.

Diskusi kemudian berkembang terkait siapa itu Gen Z. Jika mengacu pada definisi Pew Research, lembaga yang memperkenalkan istilah Gen Z, kelompok ini adalah mereka yang lahir dari tahun 1996 sampai 2010. Pada rentang umur tersebut, ada yang 5 tahun yang lalu sudah ikut Pemilu, dan ada yang pada tahun 2024 ini belum bisa ikut pemilu sekalipun sudah duduk di bangku SMA.

Kalau informasi dasar seperti ini tidak diperhitungkan oleh partai politik dan para kandidat yang akan bersaing dalam Pemilu 2024, bisa jadi akan ada kekeliruan dalam berkomunikasi dengan calon pemilih dari kalangan Gen Z. Untuk mereka yang misalnya lahir pada awal Februari tahun 2007 bisa jadi mereka akan punya anxieties dan desires yang berbeda dibandingkan dengan mereka yang lahir di tahun 1996. Misal bagi pemilih pemula menjadi pengalaman pertama, sementara yang lahir di tahun 1996 dan pernah mengikuti pemilu sebelumnya berharap pada hasil pemilu yang memang bisa mendukung upaya mengatasi anxieties dan desires mereka. Tidak lagi hanya sekadar sebuah siklus lima tahunan yang tidak banyak berdampak untuk mereka.

Tentu pengelompokan Gen Z dalam pemilu bukan hanya dilihat dari pernah ikut dan baru pertama kali ikut, tapi juga juga melihat variabel demografis lainnya. Misalnya dari kelas ekonomi sosial apakah berasal dari kelas E,D, C, B, A, A+,A++, dan A+++. Sebagaimana diketahui, fenomena media sosial bisa membuat sejumlah Gen Z mempunyai follower besar dan meraih banyak uang sebagai endorsers dari berbagai merek dan bisa menikmati gaya hidup layaknya kalangan A+.

Yang tersebut terakhir mungkin bisa masuk sebagai contoh keberhasilan mobilitas sosial. Contoh lain adalah Gen Z pembuat startup yang sukses sehingga bisa masuk bahkan A++. Tentu saja ada yang memang merupakan Gen Z yang menjadi anggota keluarga dari mereka yang masuk Forbes 40, alias menjadi bagian dari A+++ dan ternyata berani aktif di media sosial.

Memang kalau sebagai individu pemilih, jumlah mereka yang masuk dalam A+ atau apalagi yang A++ dan A+++, tidak besar. Hanya saja ada di antara mereka yang memang punya followers besar di media sosial. Ini bisa terjadi karena bagaimanapun juga mereka secara tidak langsung dikenal sebagai orang sukses dan banyak followers mereka yang juga ingin menjadi sukses seperti mereka.

Tentu kalau hanya melihat mereka sebagai “sampel” Gen Z akan bisa misleading. Inilah yang misalnya terjadi ketika ada Gen Z yang kebetulan jadi caleg dan kebetulan masuk A+ atau bahkan A++ ketika ditanya salah satu host sebuah podcast, maka komentar mereka yang banyak muncul seperti tidak relevan dengan realitas kebanyakan Gen Z. Kebetulan pula mereka berasal dari keluarga yang punya privilege sehingga bisa bersekolah dengan biaya sendiri di tempat mahal di luar negeri.

Realitas semacam ini tentu bisa menjadi semacam gambaran bahwa meski secara strata ekonomi sosial bisa sama-sama A+ ataupun A++ tapi ada banyak perbedaan. Perbedaan akan semakin besar kalau strata ekonomi sosial yang berbeda masuk dalam perhitungan. Bahkan kalau melihat aktivitas di media sosial, bisa jadi akan ada perbedaan di antara Gen Z.

Secara demografis, tidak hanya dilihat dari usia atau strata ekonomi sosial, tapi juga apakah sudah berkeluarga atau belum. Mereka yang berkeluarga juga akan beda dengan yang sudah punya anak dan belum punya anak. Bagi yang sudah berkeluarga juga ada perbedaan antara yang anaknya sudah bersekolah dibandingkan dengan yang belum bersekolah.

baca juga

    Belum lagi bagi yang sudah berkeluarga juga akan ada perbedaan antara yang punya support system, seperti tinggal dekat atau bersama orang tua salah satu pasangan, dan yang tidak. Support system ini penting terutama untuk pasangan keluarga Gen Z yang keduanya bekerja dan punya anak. Di mana orang tua pasangan akan punya peran membantu mengawasi anak dari pasangan Gen Z tersebut.

    Hanya saja support system ini tidak bisa dinikmati semua Gen Z. Dalam situasi seperti ini biasanya akan ada salah satu pasangan Gen Z yang tidak meneruskan karier. Tentu saja ini akan berpengaruh pada kondisi keuangan keluarga Gen Z tersebut, baik untuk kehidupan sehari-hari, keperluan sekolah anak, hingga upaya memiliki rumah tinggal yang nyaman.

    Mengacu pada gambaran data tersebut diatas, sang politikus paham akan kebutuhan partainya yang memiliki kebijakan selaras dengan aspirasi Gen Z yang berbeda-beda. Baik itu terkait dengan pendidikan yang bagus tapi terjangkau untuk yang masih bersekolah maupun kuliah atau yang terkait dengan ketersediaan lapangan kerja dan harga pangan, sandang dan papan yang terjangkau. Sekalipun segmentasi demografis pemilih Gen Z sangat beragam, tapi dalam pembuatan kebijakan tentu harus dipilih kebijakan prioritas yang bisa menjangkau sebanyak mungkin kalangan Gen Z.  

    Kalau secara demografis dan perilaku sudah berbeda, tentu Gen Z dari wilayah geografis yang berbeda memiliki ekspektasi terhadap kebijakan yang berbeda. Dengan keragaman wilayah Indonesia, bukan hanya beragam pulau tapi bahkan perkotaan dan pedesaan tentu akan muncul isu-isu spesifik yang terkait kewilayahan. Menyadari hal tersebut, sang politisi kemudian menyampaikan bahwa partainya ingin melakukan survei di kalangan Gen Z tapi hanya untuk satu provinsi saja.

    Meski hanya satu provinsi, tapi tetap punya keragaman dari sisi geografis dan sub kultur. Di mana hal tersebut selama ini berpengaruh pada afiliasi dengan partai politik tertentu. Tentu sang politisi ingin tahu apakah partainya akan bisa masuk pada sub kultur tertentu saja atau bisa lintas subkultur.

    Ilustrasi tersebut di atas menggambarkan bahwa Gen Z bukan lagi sebagai sebuah kelompok yang homogen. Selama ini, Gen Z sering kali hanya dilihat sebagai sebuah generasi yang digital native alias sejak lahir sudah terpapar dengan internet. Terlepas bahwa eksposur ke internet untuk Gen Z tua sebetulnya terbatas. Karena, Gen Z tua lahir dan tumbuh ketika internet belum banyak menggunakan telepon seluler.

    Bahkan, ketika mereka mulai bersekolah pun, untuk smartphone yang bisa untuk akses internet, secara rata-rata belum terjangkau harganya untuk sebagian besar orang pada saat Gen Z tua mulai masuk SD. Karena itu hanya sebagian kecil Gen Z yang mungkin mulai kenal internet melalui smartphone. Tentu situasi mulai berubah ketika mulai muncul smartphone dengan harga terjangkau, yang membuat akses internet bisa menjangkau strata sosial yang lebih rendah, termasuk Gen Z.

    Perubahan ini yang paling bisa merasakan adalah Gen Z muda. Selain sudah muncul berbagai smartphone yang terjangkau harganya pada saat mereka lahir atau tumbuh, juga karena populernya situs internet seperti YouTube yang menampilkan sejumlah lagu anak-anak dalam bahasa Inggris. Kebetulan pula views untuk beberapa lagu anak-anak tersebut sangat tinggi.

    Tentu konten yang dilihat orang tua Gen Z muda di YouTube bukan hanya lagu-lagu tersebut tapi juga tayangan lain yang membuat mereka punya eksposur yang lebih tinggi. Selain YouTube, Gen Z, baik yang tua dan muda juga terpapar dengan media sosial seiring dengan keinginan orang tuanya yang ingin “memamerkan” anak Gen Z-nya. Inilah yang mungkin menimbulkan gebyah uyah bahwa Gen Z itu lahir dan tumbuh di era internet.

    Karena memang mengenal smartphone sejak kecil, termasuk Gen Z tua, maka mereka jadi lebih terampil dalam menggunakan smartphone atau tablet komputer, tanpa harus membaca panduan. Bisa jadi hal yang semacam ini lebih tepat menjadi ciri khas untuk Gen Z dibandingkan hal yang lain. Kalau eksplorasi feature yang ada dalam smartphone dan tablet dengan gampang mereka lakukan, apalagi untuk mencari informasi di internet.

    Popularitas media sosial seperti Tiktok memang bisa membuat kegiatan mencari informasi berbeda dengan media sosial lainnya atau Youtube. Dengan FYP (for your page), informasi terpapar dengan mudah tanpa harus susah-susah mencari. Tapi untuk menjadi populer mesti autentik seperti yang terjadi pada Khaby Lame, yang dikenal sebagai Tiktoker dengan followers yang paling banyak di dunia.

    Hanya saja, karena berbasis algoritma, akan ada upaya untuk mengakali. Di political marketing, hal tersebut bukan hanya butuh dana besar tapi juga membutuhkan upaya lain. Kalau di sektor bisnis, banyak yang pikir-pikir untuk melakukannya bukan hanya karena besarnya dana yang dibutuhkan tapi juga ketiadaan “faktor pengunci” seperti yang ada di political marketing.   

    Gen Z bukan lagi sebagai sebuah kelompok yang homogen.

    Leave a Comment

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    Scroll to Top