OMNIHOUSE: Converging the Dichotomies , Why: The Problem With (Modern) Organizations
“Small is beautiful”, demikian kata orang-prang. Tentunya, ini tidak bisa berlaku untuk semua hal. Dalam kontenks bisnis, pelaku usaha kecil senantiasa didorong untuk berkembang menjadi lebih besar. Bahasa yang lebih populer: naik kelas.
Sebagai pendiri dari Asia Committee for Small Business (ACSB) yang baru saja berganti nama menjadi Asia Small Business Federation (ASBF), saya banyak berienteraksi dengan para pelaku bisnis kecil di Asia. Para pelaku usaha mikro dan kecil umumnya masih menjalankan bisnisnya secara sederhana. Hampir tidak ada spesialisasi karena hampir semua hal dilakukan sendiri. CEO di bisnis mikro dan kecil pun sering diplesetkan menjadi Chief Everything Officer.
Namun saat perusahaan berkembang, spesilisasi semakin tidak terhindarkan. Anda dapat dengan mudah menjumpai beberapa fungsi di dalam perusahaan modern, yang dikenal sebagai divisi atau departemen. Masing-masing dapat melaksanakan aktivitasnya secara mandiri, walaupun sebenarnya kolaborasi dengan bagian lain tidak mungkin dihindari.
Sayangnya, penambahan divisi dan hierarki di dalam organisasi kadangkala bisa menciptakan birokrasi yang lebih panjang dan berbelit. Misalnya, dalam sebuah perusahaan manufaktur besar, bagian operasional mungkin harus melalui beberapa lapisan persetujuan sebelum dapat menerapkan perubahan kecil dalam proses produksi. Hal ini tidak hanya memakan waktu, tetapi juga dapat menyebabkan keterlambatan dalam merespons perubahan pasar atau kebutuhan pelanggan. Akibatnya, perusahaan tersebut bisa kehilangan keunggulan kompetitifnya.
Selain itu, birokrasi yang berbelit sering kali menyebabkan penyebaran informasi antar divisi menjadi terhambat. Divisi pemasaran mungkin memiliki data berharga mengenai tren pasar terbaru, tetapi informasi tersebut harus melewati beberapa tingkat manajemen sebelum sampai ke divisi pengembangan produk. Dalam proses ini, informasi bisa saja mengalami distorsi atau bahkan tidak sampai sama sekali ke divisi yang membutuhkannya. Situasi ini memperlambat inovasi dan dapat membuat perusahaan kehilangan peluang bisnis penting.
Ujung-ujungnya, tanpa komunikasi dan pertukaran informasi yang efektif, koordinasi untuk mencapai tujuan organisasi akan menjadi sulit. Bayangkan ilustrasi berikut ini. Dalam sebuah proyek pengembangan produk baru, kurangnya komunikasi antara divisi R&D, pemasaran, dan produksi dapat menyebabkan miskomunikasi mengenai spesifikasi produk, target pasar, dan jadwal produksi. Akibatnya, produk yang diluncurkan mungkin tidak sesuai dengan harapan pasar atau terlambat diluncurkan, yang dapat berdampak negatif pada citra dan pendapatan perusahaan.
baca juga
What: Understanding Dichotomies Within Organization
Tidak hanya lambatnya birokrasi dan kesulitan koordinasi, organisasi modern bahkan menghadapi dikotomi antar divisi!
Di dalam buku Entrepreneurial Marketing yang saya tulis bersama dengan Professor Philip Kotler, Jacky Mussry, dan Hooi Den Huan, saya memperkenalkan model Omnihouse yang di dalamnya mencakup empat fungsi yang berbeda: pemasaran, teknologi, sumber daya manusia, dan keuangan. Keempatnya akan “bertemu” di bagian operasi (lihat figure 1). Jika Anda perhatikan, ada dikotomi-dikotomi yang digambarkan oleh model ini.

Figure 1. Omnihouse Model
Dikotomi pertama antara pemasaran dan keuangan. Ketegangan di antara keduanya sering kali muncul karena perbedaan fokus dan tujuan utama masing-masing divisi.
Divisi pemasaran berfokus pada peningkatan penjualan, penciptaan merek, dan pemenuhan kebutuhan pelanggan melalui berbagai strategi pemasaran dan promosi. Mereka cenderung lebih proaktif dan kreatif dalam mengambil risiko untuk mencapai target pasar dan meningkatkan pangsa pasar. Mereka ibarat pedal gas di mobil. Selalu ingin melaju demi menjadi nomor satu.
Di sisi lain, divisi keuangan lebih berorientasi pada pengelolaan biaya, efisiensi anggaran, dan memastikan kestabilan keuangan perusahaan. Mereka cenderung lebih konservatif dan berhati-hati dalam mengalokasikan dana. Mereka ibarat rem yang menjaga agar mobil tidak kebablasan saat melaju di jalan.
Ketegangan antara kedua divisi ini bisa terjadi ketika bagian pemasaran ingin menginvestasikan dana besar untuk kampanye promosi, sementara keuangan berusaha menahan pengeluaran untuk menjaga kesehatan finansial perusahaan. Mungkin Anda pun pernah mengalami situasi semacam ini?
Dikotomi berikutnya antara divisi teknologi dan divisi sumber daya manusia (SDM). Keduanya juga mencerminkan perbedaan fokus yang signifikan.
Divisi teknologi biasanya berfokus pada pengembangan dan implementasi teknologi baru untuk meningkatkan efisiensi operasional dan inovasi produk. Mereka mengejar kemajuan teknis dan berusaha untuk tetap berada di garis depan perkembangan teknologi. Sebaliknya, Divisi SDM berfokus pada manajemen karyawan, pengembangan bakat, dan menjaga kesejahteraan serta produktivitas tenaga kerja. Mereka lebih berorientasi pada aspek humanis dan budaya perusahaan.
Di sinilah perbedaan fokus dan persepsi mungkin muncul di anatara keduanya.

Figure 2. Dichotomous Functions in the Omnihouse Model
How: Converging The Dichotomies
Dikotomi-dikotomi yang dibahas sebelumnya mungkin akan selalu ada di dalam organisasi. Tugas seorang leader adalah menjaga agar tensi yang tercipta bisa meningkatkan produktivitas perusahaan, bukan sebaliknya. Untuk itu, ada beberapa catatan yang bisa Anda jadikan renungan.
Connecting Marketing and Finance
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, salah satu blind spot klasik dalam bisnis adalah ketidakcocokan fungsi keuangan dan pemasaran. Selain perbedaan fokus sebagaimana yang telah saya singgung, tensi antara dua divisi ini juga sering muncul karena perbedaan bahasa dan ukuran yang digunakan.
Pemasar sering kali hanya bicara menggunakan pengukuran non-finansial. Market share, brand awareness, customer loyalty, serta istilah-istilah lain yang tidak ada di dalam kamus orang keuangan. Inilah argumentasi yang sering mereka sampaikan saat ada pertanyaan dari tim keuangan.
Jawaban-jawaban seperti itu terkadang akan membuat orang keuangan mengernyitkan dahi. Seringkali mereka tidak paham logika yang menghubungkan ukuran-ukuran tersebut dengan peningkatan penerimaan perusahaan. Karena itulah tidak jarang mereka akan melompat ke pertanyaan lebih lanjut: jadi, berapa return yang bisa kamu berikan dari anggaran pemasaran sebanyak itu?
Orang keuangan memang suka dengan istilah return. Banyak ukuran-ukuran dalam domain keuangan menggunakan terminologi ini, misalnya, return on sales, return on assets, dan return on investment. Sementara itu, orang pemasaran sering menggunakan metrik yang bersifat non-finansial, seperti contoh yang sudah saya sebutkan di atas.
Akibatnya? Komunikasi jadi tidak nyambung! Beberapa orang pemasaran juga mungkin tidak peduli dengan laporan keuangan perusahaan. Satu-satunya aspek finansial yang mereka pahami mungkin hanya penjualan. Padahal, ini hanya merupakan top line dalam laporan laba rugi. Dengan promosi yang jor-joran, bisa saja perusahaan mendapatkan penjualan yang tinggi. Tetapi bisa jadi ini akan membuat bottom line menjadi negatif alias rugi.
Lalu, apa gunanya mendapatkan penjualan yang tinggi kalau perusahaan masih merugi? Padahal, bottom line adalah perhatian utama sebagian besar pemegang saham karena itu akan menentukan dividen yang akan mereka terima. Ini yang kadang luput dari perhatian tim pemasaran.
Sebaliknya, terkadang orang keuangan terlalu menekankan pada efisiensi biaya tanpa melihat bahwa uang yang dikeluarkan akan mengakumulasi hasil non-finansial, yang selanjutnya dapat dikonversi menjadi hasil finansial.
Brand awareness yang tinggi merupakan modal awal untuk mendapatkan penjualan yang tinggi pula. Customer loyalty juga memberikan peluang untuk mendapatkan penerimaan tambahan, baik melalui cross-up selling maupun rekomendasi. Oleh karena itu, pengeluaran tidak bisa hanya dilihat sebagai biaya, tetapi juga harus diperlakukan sebagai investasi.
Agar tim keuangan dan pemasaran bisa lebih mudah bersinergi, perlu adanya pemahaman terhadap bahasa masing-masing. Tim pemasaran harus belajar (dasar-dasar) keuangan. Tim keuangan pun harus paham (dasar-dasar) pemasaran. Perusahaan Anda perlu memiliki modul pelatihan Finance for Non Finance People serta Marketing for Non Marketer.
Forum-forum, formal maupun nonformal, yang mempertemukan kedua divisi ini juga bisa digagas secara rutin. Pada tahap berikutnya, perlu disepakati metrik yang bisa mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak.
Coupling Technology with Humanity
Bisa dikatakan, dikotomi berikutnya adalah tentang mesin lawan manusia. Mesin dengan teknologi seperti AI dapat melakukan pekerjaan manusia dengan presisi dan konsistensi yang jauh lebih tinggi. Mesin-mesin ini juga terhubung satu sama lain menggunakan teknologi Internet of Things (IoT) dan blockchain, sehingga sudah bisa saling berkomunikasi layaknya manusia.
Idealnya, mesin-mesin cerdas ini harus mendukung organisasi untuk melayani pelanggan internal perusahaan, yaitu karyawan yang bekerja di dalam organisasi. Mesin-mesin ini juga harus bisa melayani pelanggan eksternal, termasuk mereka yang membeli dan menggunakan berbagai produk perusahaan. Bahkan, saya percaya bahwa teknologi terkini sangat mungkin digunakan untuk menyebarkan kebaikan bagi Masyarakat luas.
Tidak bisa dipungkiri, mesin cerdas dengan teknologi digital dapat menyediakan layanan berikut:
- Karyawan. Perusahaan bisa merancang dan menggunakan mesin untuk efisiensi dan, lebih dari itu, untuk membuat pekerjaan karyawan jadi lebih mudah dan juga meningkatkan produktivitas. Teknologi akan memungkinkan pekerja untuk menjalankan tugas mereka dengan lebih manusiawi. Teknologi memungkinkan seseorang untuk bekerja dari mana saja karena mereka selalu dapat terhubung dan mengakses berbagai data dan informasi dari jarak jauh.
- Pelanggan. Teknologi memungkinkan perusahaan untuk menawarkan personalisasi, kustomisasi, dan navigasi yang sesuai kebutuhan pelanggan. Jika karyawan perusahaan diperlakukan secara manusiawi dan dibantu oleh teknologi, mereka pada akhirnya juga dapat memberikan layanan yang lebih empatik kepada pelanggan. Era eksploitasi pelanggan telah lama berakhir, dan dengan teknologi, sekarang saatnya untuk sepenuhnya memanusiakan pelanggan dengan menawarkan solusi yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.
- Masyarakat luas. Saat ini tidak sedikit perusahaan yang beralih ke teknologi famah lingkungan di dalam proses produksinya, seperti yang dilakukan Mercedes-Benz, memastikan bahwa mereka juga bertanggung jawab atas kualitas lingkungan. Teknologi daur ulang juga memungkinkan perusahaan untuk mengurangi limbah secara drastis. Demikian pula, penggunaan bahan yang dapat terurai secara hayati dalam berbagai produk adalah indikator kepedulian perusahaan terhadap lingkungan.
Dengan semua kelebihan di atas, tidak heran perusahaan semakin banyak mengadopsi teknologi digital dan kecerdasan buatan. Lalu, apa ketegangan yang mungkin terjadi di dalam perusahaan?
Konflik dapat timbul ketika divisi teknologi ingin mengotomatisasi proses tertentu yang bisa mengurangi kebutuhan tenaga kerja, sementara SDM mungkin khawatir tentang dampak pada karyawan dan budaya perusahaan. Perbedaan fokus semacam ini bisa menciptakan tensi di antara keduanya.
Untuk itu, sekali lagi, perlu adanya komunikasi yang baik. Perlu ada kesadaran bahwa teknologi, terutama kecerdasan buatan, bukanlah ancaman bagi sumber daya manusia perusahaan. Teknologi justru bisa membantu karyawan agar fokus pada aktivitas-aktivitas yang penting. Dengan implementasi teknologi untuk mengotomatisasi pekerjaan yang berulang, SDM Anda dapat fokus pada tugas-tugas strategis saja.
Seorang eksekutif perusahaan multinasional pernah ditanya: “Akankah artificial intelligence (AI) menggantikan manusia?” Jawabannya tentu “tidak”. Tetapi ia lalu melanjutkan bahwa manusia yang tidak menggunakan AI akan digantikan manusia yang memakai AI.
Saya sendiri sering mengatakan bahwa mesin dan teknologi hanya bisa menggantikan aktivitas yang terkait dengan productivity, improvement, professionalism dan management (PI-PM). Sedangkan creativity, innovation, entrepreneurship dan leadership (CI-EL) adalah peran manusia yang sulit digantikan oleh mesin.
Jika pembagian peran semacam di atas bisa dilakukan, maka human dan technology akan bisa bersinergi. Seperti kata Bos Microsoft Satya Nadella saat beberapa waktu yang lalu datang ke Indonesia: teknologi hanyalah co-pilot, manusia-lah pilotnya!
