Pengusaha ala Milenial

Generasi milenial merupakan komponen terbesar dari jumlah penduduk Indonesia sekarang ini.

Dengan jumlah 90 juta orang menurut versi Bappenas, realitanya Indonesia memiliki jumlah penduduk produktif lebih banyak dibandingkan dengan China, India, Korea Selatan, dan Jepang.

Namun dengan jumlah penduduk usia produktif yang amat besar, hal tersebut tidak serta merta berkontribusi positif terhadap perekonomian Indonesia.

Dengan pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya yang belum pernah bergeser dari rentang 4,9 – 5,2 % pertahun, lapangan kerja hanya mampu menyerap maksimal 4 juta orang pertahunnya.

Jika ditelaah dari jumlah total angkatan kerja nasional, ada sekitar 7,04 juta jiwa yang tidak bekerja hanya pada tahun 2018 saja.

Kondisi ini menjadi rumit manakala Indonesia harus menyiapkan fondasi ekonomi yang kuat untuk menyambut era bonus demografi pada tahun 2030.

Pada tahun 2030, Indonesia diprediksi akan memiliki persentase penduduk usia produktif sebesar 64 persen dari total jumlah penduduk.

Untuk menyiapkan landasan ekonomi yang dapat menyokong era bonus demografi tersebut, diperlukan strategi nasional yang holistik dan tepat sasaran.

Mengapa Kewirausahaan Penting

Produk Domestik Bruto merupakan indikator penting yang menentukan tingkat kekuatan ekonomi suatu negara.

Konsep PDB ini sendiri dapat dijabarkan menjadi empat faktor utama yaitu konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor.

Keempat faktor ini bermuara pada seberapa besar nilai perdagangan yang dihasilkan oleh suatu negara.

Untuk mendorong peningkatan nilai atau neraca perdagangan, dibutuhkan inovasi yang dilakukan secara periodik untuk menghasilkan produk-produk baru.

Untuk mencapai hal ini, maka negara perlu mendorong pola pikir kewirausahaan di masyarakat.

Kewirausahaan atau entrepreneurship secara umum dapat diartikan sebagai penciptaan produk atau jasa yang dikomersialkan beserta dengan kalkulasi resiko yang mungkin muncul.

Idealnya, perkembangan kewirausahaan dapat mendorong penciptaan lapangan kerja sebanyak mungkin bagi masyarakat serta mendorong potensi penerimaan negara berupa pajak.

Riset yang dilakukan oleh Kaufmann Foundation, kewirausahaan di Amerika Serikat yang ditopang oleh perusahaan rintisan dapat menciptakan sekitar 8 hingga 12 juta lapangan kerja baru.

Angka ini merupakan dua pertiga dari total lapangan kerja yang tersedia di Amerika Serikat setiap tahun.

Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) menyatakan bahwa kewirausahaan dapat meningkatkan tingkat hidup bagi penduduk negara-negara miskin

Pentingnya kewirausahaan ini ditegaskan pada tahun 2012 oleh Badan Pembangunan Berkelanjutan menetapkan penciptaan kewirausahaan sebagai salah satu tujuan Millenium Sustainable Development Goals (MDGs).

Untuk mendukung tujuan ini  Perserikatan Bangsa-Bangsa juga turut mendorong inisiatif-inisiatif kewirausahaan di berbagai dunia.

Sebagai negara peratifikasi MDGs, Indonesia menyadari pentingnya untuk terus membangun fondasi kewirausahaan yang kokoh.

Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia justru tertinggal dalam hal penciptaan fondasi kewirausahaan dibandingkan dengan negara-negara tetangganya.

Data menunjukkan bahwa persentase wirausahawan di Indonesia baru mencapai angka 3%, masih kalah dibandingkan dengan Malaysia, Vietnam, dan Thailand.

Apabila angka ini tidak mengalami peningkatan dalam kurun waktu tertentu, maka Indonesia sulit melepaskan diri dari status negara pendapatan menengah kebawah.

baca juga

    Milenial Sebagai Penopang Ekonomi

    Bank UOB dalam seminar mengenai prediksi perkembangan ekonomi Indonesia ke depan mengungkapkan bahwa milenial akan menjadi penopang penting dalam ekonomi.

    Sebagai negara yang sangat bertumpu kepada output konsumsi terhadap produk domestik bruto, konsumsi milenial diperkirakan dapat menyumbang proporsi terbesar.

    Hal ini didukung dengan tingkat pendapatan kaum riil milenial yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok demografi lainnya.

    Seiring dengan karakteristiknya yang mudah beradaptasi dengan teknologi, milenial menjadi kelompok demografi pemilik pertumbuhan upah tertinggi di Indonesia dengan angka 8,6% pertahun.

    Selain dari tingkat pendapatan, kebutuhan milenial yang cenderung lebih beragam dibandingkan dengan kelompok demografi lainnya.

    Terdapat beberapa pergeseran prioritas kebutuhan yang sebelumnya merupakan kebutuhan tertier bergeser menjadi kebutuhan sekunder bahkan primer bagi generasi milenial.

    Tony Dwyer, salah satu ahli strategi investasi dari Cannacord bahkan mengatakan milenial sebagai juru selamat untuk menghindari resesi dengan aktivitas konsumsi yang mereka lakukan.

    Selain output konsumsi, milenial juga memiliki kontribusi yang tidak kalah penting terhadap keberlangsungan kinerja perusahaan-perusahaan di Indonesia.

    Berdasarkan laporan Deloitte, sebagai generasi yang melek teknologi kinerja mereka diakui oleh banyak perusahaan telah banyak berkontribusi terhadap efisiensi perusahaan.

    Selain itu generasi milenial juga memiliki dimensi kreativitas yang menjadikan proses kerja menjadi lebih dinamis dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya.

    Generasi milenial juga dicirikan sebagai pekerja yang proaktif dan terus berupaya mencari cara mengembangkan kemampuan.

    Berdasarkan makalah Lead Generation Y yang disusun dari NOVA school of Business & Economics, milenial dicirikan sebagai generasi “active learner

    Active Learner ini dapat diterjemahkan bahwa generasi ini tidak bisa terikat dengan metode pembelajaran yang kaku dan sifatnya satu arah.

    Besarnya peran milenial dalam menyumbang produk domestik bruto nasional melalui konsumsi harus diberdayakan menjadi pelaku ekonomi yang produktif alias menjadi wirausaha dan pemegang bisnis.

    Karena mengemban predikat sebagai faktor pendorong ekonomi dunia terbesar, menjadi lumrah apabila milenial menjadi harapan untuk memegang kendali kewirausahaan di masa mendatang

    Menurut Andrew Thomas, sebagai seorang milenial ia menjelaskan sifat-sifat yang melekat dari seorang milenial untuk menjadi seorang wirausahawan.

    Sifat pertama yang membuat milenial dapat menjadi wirausahawan adalah karena kecintaan mereka akan hal yang otentik.

    Sifat ini menjelaskan bahwa milenial cenderung untuk melahirkan ide-ide yang otentik alih-alih meneruskan status quo.

    Didorong oleh kehadiran sosial media, mereka cenderung untuk mengungkapkan keinginan mereka akan ide di masa depan dibandingkan meneruskan yang ada.

    Sifat kedua yang mendeskripsikan milenial adalah idealis, dimana mereka cenderung mengikuti prinsip ketimbang mengikuti arus.

    Selain sifat-sifat di atas, milenial juga dapat diasosiasikan dengan keinginan untuk menantang diri dengan inovasi.

    Potensi Tantangan Bagi Milenial Untuk Berwirausaha

    Dengan karakteristik yang sangat terbuka dengan perubahan, hal ini diyakini dapat menjadi modal bagus untuk mengenalkan milenial kepada dunia kewirausahaan.

    Generasi milenial sendiri juga tidak kurang banyak memiliki sumber inspirasi dari kelompoknya untuk terjun ke dunia wirausaha.

    Beberapa pendiri perusahaan rintisan sukses dari kalangan milenial seperti Nadiem Makarim dan William Tanudjaja dapat mengisi peran sebagai sumber inspirasi tersebut.

    Belum lagi dengan ketersediaan teknologi daring seperti e-commerce yang diyakini dapat mempermudah para milenial untuk terjun berwirausaha.

    Hanya, dengan segala kemudahan yang ditawarkan perkembangan teknologi, menjadi wirausahawan belum menjadi prioritas utama bagi kebanyakan milenial.

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh SEA group  dengan World Economic Forum, hanya sekitar 24% milenial Indonesia yang memilih jalan berwirausaha.

    Meski lebih besar dari pemilih bekerja di kantor yang berkisar di angka 17%, namun secara keseluruhan, total angka milenial yang memilih untuk bekerja di bawah orang lain masih lebih besar.

    Artinya pola pikir milenial Indonesia masih banyak berkutat dari pola pikir generasi sebelumnya yang mengutamakan jalur karir dan pendapatan yang pasti.

    Selain karena alasan ini, para milenial juga berpikir untuk menunda untuk terjun ke dunia kewirausahaan dengan alasan kesiapan mental.

    Menghadirkan semangat kewirausahaan bagi kelompok milenial sendiri bukanlah hal yang tergolong mudah.

    Ada beberapa tantangan yang dapat menjadi faktor krusial bagi kesuksesan kaum milenial di jalan kewirausahaan.

    Seperti dikutip dari GetEnterpreneurial.com, berikut beberapa tantangan bagi milenial yang memilih jalan berwirausaha

    Mengelola Keuangan

    Modal tidak serta merta menjadi faktor utama dalam merintis bisnis.

    Utamanya kepemilikan modal tidak akan berpengaruh banyak bagi keberlangsungan bisnis tanpa adanya kemampuan manajerial yang mumpuni.

    Dalam hal berbisnis, salah satu kemampuan manajerial yang mutlak diperlukan adalah pengelolaan keuangan terutama di fase-fase awal berbisnis.

    Aktivitas pengelolaan keuangan dapat dijabarkan menjadi aktivitas pendanaan dan aktivitas alokasi dana.

    Lazimnya dalam dunia perusahaan rintisan, ada tiga alternatif strategi pendanaan yang ditempuh oleh pemilik perusahaan.

    Alternatif strategi pendanaan tersebut antara lain adalah bootstraping atau crowdfunding

    Banyak para perusahaan rintiisan yang memilih untuk beroperasi dengan dana seadanya alias bootstrapping.

    Kecenderungan para pebisnis yang memilih jalur bootstraping ini sangat bertumpu pada kesuksesan produk awal mereka yang dalam bahasa kewirausahaan disebut dengan Minimum Viable Product.

    Sedangkan crowdfunding dilakukan dengan mengumpulkan dana dari investor awal yang ditukar dengan hak kepemilikan atau saham.

    Baik bootstrapping atau crowdfunding memiliki tantangan tersendiri bagi wirausahawan dalam mengelola dana.

    Karena keterbatasan dana, tantangan dari strategi bootstrapping adalah memaksimalkan produksi dengan sumber daya dana yang amat terbatas.

    Selain itu wirausahawan juga tidak memiliki banyak ruang untuk bereksperimen.

    Sementara tantangan dari strategi crowdfunding adalah bagaimana mengelola dana semaksimal mungkin agar produk yang dihasilkan memiliki siklus hidup yang panjang.

    Selain tantangan yang hadir dari kondisi pendanaan yang berbeda, tantangan yang berasal dari situasi umum adalah bagaimana wirausahawan meghadapi situasi pasar yang tidak menentu.

    baca juga

      Mengelola Semangat Berwirausaha

      Selain modal tangible berupa aset dan dana, tantangan lainnya adalah mengelola modal intangible berupa semangat berwirausaha.

      Menurut inc.com, sebuah situs yang menyajikan artikel mengenai kewirausahaan ada lima hal yang dapat diasosiasikan dengan semangat berwiirausaha yang sejati.

      Kelima hal tersebut adalah antusiasme, rasa keingintahuan yang besar, optimis, berani mengaukms.or.id/l resiko, dan berani bertindak.

      Bahkan menurut Forbes, semangat berwirausaha identik dengan keinginan untuk terus mengejar perubahan yang lebih baik lagi.

      Karena pada dasarnya kewirausahaan sangat identik dengan perubahan, maka lawan dari semangat berwirausaha adalah zona nyaman.

      Seringkali pengusaha yang sudah mencapai titik tertentu lazimnya kehilangan hasrat untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi.

      Hal ini dapat menjadi faktor risiko lantaran persaingan dapat muncul kapan saja.

      Selain semangat berwirausaha, mindset yang tepat juga dapat menjadi penentu akhir apakah bisnis yang didirikan dapat bertahan lama atau mati di tengah jalan.

      Kebanyakan mereka yang sudah bergerak lama di kewirausahaan mengatakan bahwa mindset yang benar dapat menolong wirausahawan untuk menghadapi keadaan terburuk sekalipun.

      Sebagai generasi yang terkenal serba cepat, milenial terkadang tidak mau terlalu berproses dengan bisnis yang dijalani.

      Hambatan atau bahkan kerugian besar di tengah-tengah perjalanan bisnis bisa membuat moral milenial wirausahwan menjadi kendur.

      Mendapat Pengetahuan Yang Tepat

      Sejatinya banyak pengusaha sukses yang lahir dari latar belakang pendidikan yang tidak cemerlang.

      Facebook dan Apple yang didirikan oleh mereka yang memutuskan untuk keluar dari proses pendidikan bangku kuliah di tengah jalan.

      Namun hal ini sama sekali tidak dapat menegasikan pentingnya ilmu atau pendidikan dalam menjalankan bisnis yang berkelanjutan.

      Bahkan dengan perkembangan teknologi pada saat ini, situasi yang dihadapi dunia kewirausahaan semakin kompleks.

      Banyak perusahaan terkemuka di dunia justru menjadikan latar belakang sebagai pertimbangan penting untuk posisi eksekutif tinggi.

      Meskipun begitu, banyak ilmu kewirausahaan yang diajarkan di pendidikan formal dianggap sebagai redundansi

      Menurut Dr. Suneel Sharma, pendidikan formal kewirausahaan kebanyakan belum bergeser dari paradigma mengajarkan menjadi paradigma mendorong inovasi.

      Bahkan beberapa skill terkait dengan kewirausahaan tidak bisa didapat hanya dengan menghadiri kelas saja.

      Dalam kewirausahaan, tantangan terbesar bagi para calon wirausahawan adalah menemukan cara melatih proses pengidentifkasian masalah di luar teori bisnis yang ada.

      Hal ini diperkuat oleh Bruce Poon Tip, pendidikan formal untuk kewirausahaan justru kontraproduktif dengan tujuan kewirausahaan itu sendiri.

      baca juga

        Peran Para Stakeholder dalam mendorong Milenial Berwirausaha

        Sebagai komposisi terbesar dari jumlah penduduk Indonesia secara total, generasi milenial menjadi andalan  pemangku kepentingan (stakeholder) untuk menumbuhkan wirausahawan baru.

        Namun pihak pemangku kepentingan untuk penciptaan kewirausahaan nasional tidak serta merta menjadi hegemoni bagi pemerintah saja.

        Sejak tahun 1990, Henry Etzkowitz melalui konsep triple helixnya mengungkapkan tiga aktor penting dalam penciptaan kewirausahaan, yaitu pemerintah-universitas-pelaku industri.

        Ketiga lembaga ini menurut Etzkowitz memiliki sumber daya ataupun kapabilitas yang bisa mendorong terciptanya kewirausahaan dalam suatu lingkup.

        Di Indonesia konsep triple helix ini dapat dijabarkan menjadi pembagian peran masing-masing pemangku kepentingan

        Pemerintah

        Pemerintah sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) terbesar dari generasi milenial turut mengeluarkan sejumlah kebijakan-kebijakan pendukung.

        Sebagai pemegang peran fasilitator, pemerintah dapat berupaya menciptakan iklim berusaha yang kondusif untuk memunculkan wirausahawan baru.

        Sejauh ini kebijakan pemerintah yang sudah dikeluarkan yaitu dengan memprioritaskan akan membangun ekosistem yang mendukung kewirausahaan dari milenial.

        Untuk mengeksekusi kebijakan tersebut, pemerintah berencana akan menempatkan lembaga akselerator-akselerator dan inkubator usaha di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

        Kementerian Perindustrian melalui cetak biru dari Making Indonesia 4.0 mengungkapkan ada 10 prioritas untuk mendorong kewirausahaan secara umum.

        Sepuluh prioritas tersebut mencakup pembangunan infrastruktur digital nasional, harmonisasi kebijakan,desain ulang zona industri, hingga pembangunan ekosistem inovasi.

        Pemerintah juga berencana untuk mengembangkan model peukms.or.id/ayaan alternatif agar bisnis tidak terbebani oleh kewajiban membayar bunga. 

        Untuk mengeksekusi hal ini, pemerintah menggulirkan program mulai dari dana koperasi bergulir hingga Layanan Keuangan bertajuk laku pandai.

        Ditargetkan dengan layanan-layanan ini, pemerinta Indonesia bisa mencetak 4 juta wirausahawan baru.

        Pendidikan Tinggi

        Berbeda dengan peran pemerintah sebagai fasilitator, pendidikan tinggi dapat berperan menjadi inisiator pencetak wirausahawan dari kalangan milenial.

        Secara garis besar, fungsi struktural perguruan tinggi dalam membentuk kewirausahaan terbagi menjadi tiga yaitu sebagai lembaga pengajaran, lembaga riset, dan benteng peradaban.

        Seperti disinggung sebelumnya, lembaga pendidikan menjadi bahan kritik dari para wirausahawan dunia karena pengetahuan yang diajarkan justru kontraproduktif dengan tujuan kewirausahaan.

        Maka dari itu, sebagai gudang ilmu lembaga pendidikan khususnya dari pendidikan tinggi dapat memberi fondasi kewirausahaan dalam fungsi pengajaran.

        Untuk dapat mewujudkan rantai penciptaan kewirausahaan, lembaga tinggi dapat memperkuat aspek-aspek inti pengajaran seperti penguatan kurikulum, metode pembelajaran, dan penguatan sumber daya alam.

        Menurut Zimmerer dan Scharborough, penguatan kurikulum sebagai gagasan besar dari fungsi pengajaran harus mampu menaraskan nilai-nilai kewirausahaan dasar.

        Kurikulum yang dibangun juga harus mampu menghadirkan kesempatan bagi calon wirausahawan untuk merasakan langsung pengalaman terjun di lapangan.

        Dari aspek peningkatan metode pembelajaran, pendidikan tinggi bisa mengubah metode pengajar-sentris menjadi siswa-sentris yang penuh dengan interaksi.

        Strategi yang bisa ditempuh berupa memperbanyak brainstorming atau tukar pikiran serta diskusi-diskusi panel terhadap studi kasus.

        Tentu saja, kedua aspek ini hanya dapat berjalan secara maksimal dengan adanya upaya penguatan sumber daya tenaga pengajar.

        Fungsi riset dapat difungsikan sebagai pengembangan lanjut dari fondasi kewirausahaan yang sudah ditanamkan.

        Secara khusus untuk menjalankan fungsi riset ini, Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi memberikan arahan kepada lembaga pendidikan tinggi untuk

        1. Mendirikan pusat riset kewirausahaan kampus sebagai center of excellence dalam upaya mencetak wirausahawan-wirausahawan baru dari kampus.
        2. Mendirikan program peningkatan kompetensi tenaga kerja dan produktivitas yang diformulasikan secara kontinu.
        3. Mendirikan program mahasiswa wirausaha bagi individu pilihan.

        Sedangkan dalam fungsinya sebagai benteng peradaban, pendidikan tinggi harus mampu mendorong kewirausahaan untuk mengabdi kepada khalayak banyak.

        Dengan demikian pendidikan tinggi harus mampu mencetak wirausahawan yang juga bermanfaat bagi kehidupan sosial.

        baca juga

          Industri atau Pelaku Usaha

          Secara kasat mata, industri dan pelaku usaha dapat menjadi kompetitor atau faktor negatif dalam penciptaan kewirausahaan.

          Namun datangnya era distrupsi teknologi membuat  kolaborasi justru menjadi kunci utama untuk mencapai pertumbuhan dibandingkan dengan kompetisi.

          Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutnya sebagai age of interdependence.

          Hal ini kemudian dipertegas oleh agenda World Economic Forum yang mengedepankan kerjasama strategis sebagai upaya mengejar pertumbuhan.

          Dalam lingkup model bisnis, industri yang sudah mapan dapat menyokong milenial wirausahawan ataupun calon wirausahawan untuk mengembangkan produk mereka.

          Diharapkan dengan sokongan ini, milenial wirausahawan dapat meningkatkan produk mereka dari tingkat purwarupa menjadi siap dproduksi massal.

          Peran pendukung lain yang dapat dijalankan oleh pelaku industri adalah transfer teknologi untuk mendorong mindset mengejar efisiensi dalam operasional bisnis.

          Kesimpulan

          Dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya, milenial terkenal sebagai generasi yang peka terhadap inovasi.

          Namun kurangnya pengalaman dan tuntunan yang tepat dapat menghambat milenial untuk terjun ke dalam kewirausahaan.

          Padahal sebagai kunci dari produktifitas ekonomi di era sekarang, kewirausahaan oleh milenial dapat menentukan arah ekonomi di masa mendatang.

          Adanya koordinasi yang pada daripada para pemangku kebijakan dapat berperan penting untuk mengurai permasalahan ini.