Eduard Rudolf Pangkerego, Chief Operating Officer (COO) Artotel Group
Memimpin di Depan, Tengah, dan Belakang
Artotel Group menjadi manajemen operator hotel yang kian diperhitungkan setelah melakukan berbagai transformasi hingga ekspansi. Lahir satu tahun sebelum startup fenomenal, yaitu Gojek (kini PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk), Artotel Group kini berkembang menjadi perusahaan perhotelan yang menawarkan pengalaman menginap dengan kenyamanan sebagai jualan utama.
Sejak didirikan pada tahun 2011, Artotel Group fokus sebagai hotel yang menggabungkan seni dan gaya hidup modern. Konsep hotel semacam ini sengaja dikembangkan untuk mendukung seni dan kebudayaan Indonesia.
Alih-alih mendukung seniman yang sudah memiliki pasar dan karyanya dikenal, ARTOTEL juga menjalin kerja sama dengan pelaku seni yang baru tumbuh lewat karya kreatifnya. Konsep yang akhirnya digabungkan lewat kenyamanan sebagai jualan utama ini menjadikan Artotel Group sebagai perusahaan perhotelan lokal skala besar dengan jaringan hotel lebih dari ratusan.
Saat ini, Artotel Group telah memiliki jaringan hotel yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan merek ARTOTEL, DAFAM, MAXONE, ROOMS INC, dan waralaba KYRIAD. Harus diakui, berkembangnya Artotel Group berkat tangan dingin sang Founder & CEO Erastus Radjimin yang memiliki kecintaan terhadap seni sekaligus bercita-cita menghadirkan hotel yang berdampak positif bagi banyak orang.
Tak sendirian, Erastus memiliki partner kerja, Eduard Rudolf Pangkerego yang ditugaskan untuk memimpin operasional perusahaan atau menjadi Chief Operating Officer (COO). Lebih dari satu dekade ikut mengembangkan Artotel Group, Eduard berbagi pandangan mengenai bisnis perusahaan dan tantangan di industri hospitality.
Eduard juga membeberkan bagaimana kepemimpinan mempengaruhi dan mendukung bisnis secara menyeluruh. Seperti apa? Berikut petikannya:
baca juga
Setelah Pandemi COVID-19, bagaimana Anda memandang lanskap industri perhotelan dalam negeri?
Bisnis opportunity perhotelan masih besar dan bisa dikembangkan menjadi lebih baik. Saat pandemi gelombang Delta, hotel masih ada denyut nadi karena dipakai untuk ruang isolasi termasuk juga tempat nakes (tenaga kesehatan) untuk tinggal. Bagaimanapun orang akan bergerak untuk berbisnis, liburan atau sekadar iseng mencoba experience. Zaman dulu jika pulang kampung, tinggal di rumah saudara, sekarang sudah tidak ada lagi. Jika ada pertemuan dan kumpul bersama keluarga, sekarang cari hotel terdekat, sehingga tidak lagi mengganggu saudaranya. Opportunity hotel masih sangat besar karena sudah recovery, sekarang ini okupansi sudah di 70%-75%. Bahkan, di beberapa area sudah sampai 85%. Kami memiliki hotel di Balikpapan year to date-nya closing 2023 mencapai 93% okupansinya yang mengindikasikan rata-rata setiap hari hampir penuh. Sekarang, luxury orang-orang bukan lagi membeli barang, tapi mereka jalan-jalan. Ditambah dengan pekerjaan baru atau kami menyebutnya traveler yang menjadikan hobi jalan-jalannya menjadi pekerjaan yang memperoleh income. Traveler ini harus terus jalan-jalan, mencari hotel baru, cari experience baru sehingga di-share pengalamannya. Ini benang merah dan opportunity-nya.
Pandemi COVID-19 mengubah kebiasaan banyak orang. Bahkan, rapat-rapat yang umumnya di hotel, kini bisa dijalankan secara online, termasuk di pemerintahan. Bagaimana pendapat Anda?
Dengan adanya kebiasaan meeting online ada pengaruhnya, tapi saya melihatnya sangat kecil. Masalahnya, meeting itu kompleks, ada yang memerlukan tatap muka, sehingga kebutuhannya hanya ada di hotel. Misalnya di pemerintahan perlu katering, persiapan untuk meja, servisnya, kemudian presentasi enggak mungkin menyiapkan satu divisi khusus. Ini yang mengerjakan hotel karena mereka fokus ke meeting, pekerjaan dan subjek diskusinya. Meeting itu harus ada supporting system dan tidak mungkin hiring divisi khusus. Kemudian berbicara pengorganisasian pekerja atau karyawan yang lebih besar, corporate townhall untuk launching preparation enggak bisa di office, harus ada satu meeting room sekaligus fasilitas pendukungnya. Setiap satu tahun ada banyak yang melakukan itu, karena beda departemen, beda topik yang dibahas dan skalanya juga dari sepuluh sampai 1.000 orang.
Lantas, bisa Anda jelaskan siapa pelanggan Artotel Group saat ini?
Sekarang ini, kami tidak diidentifikasikan atau tidak terasosiasi dengan luxury hotel. Kami mendapatkan keuntungan di situ karena banyak korporasi bahkan government pun sekarang mindset-nya jangan di hotel bintang lima. Mereka mencari yang affordable karena memiliki pagu sendiri. Mayoritas cocok ke kami, enggak terlihat murah, tapi nyaman buat mereka. Kami fokus kenyamanan karena businessman rata-rata tidur malam, sehingga mereka butuh wifi yang cepat, shower dan air panas yang baik karena pagi-pagi harus bangun. Mereka cuma sekitar 6-8 jam di hotel, selebihnya mereka bisnis di luar. Keuntungan yang membedakan, yaitu market kami untuk korporasi karena mereka sudah ada pagu anggaran sendiri.
Artotel Group menjadi salah satu perusahaan yang ekspansif melakukan akuisisi bahkan saat Pandemi COVID-19. Bisa Anda jelaskan?
Saat sebelum Pandemi COVID-19, startup memperoleh banyak dana dan semua jualan business plan, jualan papers, belum terbukti bisnisnya tapi mereka memperoleh funding. Kalau kami, prosesnya sudah ada, historinya sudah ada, makanya kami juga mencari pendanaan dari investor dan akhirnya kami memperoleh pendanaan. Singkatnya, investor melihat opportunity di hospitality atau di perhotelan. Hotel atau hospitality harus diakui sangat-sangat sulit saat pandemi. Namun, kami memperoleh investor yang percaya bahwa ini akan berakhir. Apalagi, bisnis hotel atau penginapan sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Singkatnya, kami menambah inventory hotel dari 17 sampai 104. Waktu itu kami melakukannya dengan akuisisi pada saat-saat lagi zona recovery di mana banyak yang sudah terkapar. Kami ambil opportunity di situ dan mendapatkan harga yang terbaik untuk menambah rooms dan inventory hotel. Kami ada satu misi di sini, yaitu konsolidasi brand-brand lokal. Sekarang memang sudah seharusnya local brand itu berjaya atau domestic brand itu berjaya.
Dengan portofolio hotel yang terus bertambah, bagaimana Artotel Group mengelolanya? Apakah masing-masing punya segmen pasar yang berbeda?
Jadi yang kami sasarkan adalah itu ke spending power konsumen. Seberapa kuat mereka bisa membayar, Rp 300.000, Rp 500.000, 800.000 atau Rp 1,2 juta? Sekarang hotel bukan lagi dengan klasifikasi bintang dan fasilitasnya. Akan tetapi, ada harga dan itu yang kami bedakan. Secara kesenangan, misalnya sama-sama suka band Sheila on 7. Akan tetapi, saya yang berbeda zaman dengan anak-anak sekarang yang suka nongkrong di Senopati tentu berbeda spending power-nya. Sekarang saya mungkin lebih mapan, tapi mereka juga mapan dengan orang tua yang memberikan uang ke mereka. Itu yang membedakan. Akan tetapi, dari kami untuk bersaingnya adalah di mana pun konsumen ke hotel ARTOTEL, comfort nomor satu. Itu produk kami dan kami selalu memastikan kenyamanan nomor satu. Mungkin yang berbeda fasilitas, ada kamar yang lebih besar, punya mesin kopi, tapi untuk kenyamanan kita nomor satu. Contoh lain, jika di Jawa Timur, kami tahu bahwa spending power-nya tidak bisa untuk Rp 2 juta, kami siapkan di Rp 500.000 dan Rp 700.000.
Bagaimana perusahaan mengelola pelanggan dan sejauh mana sistem Customer Relationship Management (CRM) yang dijalankan?
Servis itu enggak melulu dengan digital atau high technology. Good to have, tapi kami tetap ke human touch. Sekarang senyum itu mahal dan itu yang kami berikan. Kami juga highlight bahwa CRM di zaman sekarang, berbeda dengan di zaman dulu. Sekarang ini, ya kami bilang tamu sudah enggak ada yang loyal. Semua mainnya emosi, semua mainnya new experience. Setelah konsumen mencoba yang satu akan beralih ke yang lain. Jadi bagi kami, hubungan itu bukan sekadar database information, yang penting hanya ada mailing list, kirim-kirim informasi. Kami ingin keluar dari situ dan kami membangun hubungan lewat fasilitas yang kami punya, termasuk misalnya extra food and beverage. Perkuat CRM artinya memperkuat semua layanan. Kami kembangkan fast order. Misalnya saat pelanggan dari Bandung dan ke Stasiun Gambir pukul 06.40 WIB, sampai di hotel kira-kira pukul 07.00 WIB. Bayangkan order di hotel menunggu lama dan posisi sedang lapar, kami bisa opsi lain. Booking hotel dan order nasi goreng dan ice lemon tea pukul 07.00 WIB itu akan ready sesuai pesanan. Nah, ini CRM yang kami perkuat. Tetap jadi nomor satu, kami pegang tamunya, mesti ada ikatan dengan tamunya. Kalau pelanggan sudah senang musiknya, makanannya, ambience-nya, kami yakin pasti akan kembali.
Bagaimana pandangan Anda dengan berkembangnya virtual hotel operator? Apakah ini menjadi tantangan tersendiri bagi Artotel Group?
Kami melihat sebagai pesaing, ya, tapi tidak secara head to head. Mereka itu sebetulnya perusahaan teknologi yang memakai akomodasi sebagai subjeknya, sementara kami kebalikannya. Kami ini hospitality, hotel yang memakai teknologi. Enaknya mereka, tidak memikirkan comfort. Kami punya manajemen, bikin standard operating procedure (SOP). Kami pastikan kalau menginap di ARTOTEL, standar dan ekspektasinya akan sama, sedangkan di virtual hotel operator tidak begitu. Bisa dapat bagus, bisa zonk juga. Kami masih kuat di servis.
Sebagai pemimpin, apa nilai-nilai yang Anda terapkan dan menjadi budaya bagi Artotel Group?
Berbicara leadership, ya pasti leading by example. Kami juga punya filosofi, di depan memimpin, di tengah-tengah bersama, di belakang memotivasi. Leader itu enggak selalu di depan, jadi harus ada di tengah-tengah dan di belakang juga. Kami ini lebih horizontal, karena saya selalu percaya semua divisi punya expertise masing-masing dan bisa maju bareng. Jadi semua sama pentingnya. Leader itu harus bisa memposisikan dirinya sendiri pada saat yang tepat. Saat ada gelombang, dia harus jadi nahkoda yang benar, harus standout, enggak bisa tiba-tiba cari orang buat disalahkan.
Servis itu enggak melulu digital atau high technology, kami tetap ke human touch.
Eduard Rudolf PangkeregoChief Operating Officer (COO) Artotel Group