Impulse Buying Beri Penawaran Kreatif , Impulse buying sejatinya adalah bagian dari pola pembelanjaan konsumen. Merek harus pandai-pandai mensiasati kencenderungan ini dengan taktik kreatif.
Dalam dunia pemasaran, konsep impulse buying atau pembelian impulsif menjadi salah satu fenomena penting yang sering kali dimanfaatkan oleh perusahaan untuk meningkatkan penjualan. Impulse buying terjadi ketika konsumen secara tiba-tiba membeli produk tanpa perencanaan sebelumnya. Strategi ini kerap digunakan dalam kombinasi dengan push dan pull marketing, dua pendekatan pemasaran yang sama-sama efektif dalam mempengaruhi perilaku konsumen.
Dalam konteks push marketing, impulse buying sering terjadi ketika produk ditempatkan di titik strategis penjualan seperti dekat kasir atau di bagian depan toko. Konsumen yang tidak berniat membeli produk tersebut bisa terdorong untuk membelinya akibat paparan visual yang menarik, penawaran diskon, atau promosi khusus seperti “beli satu gratis satu.” Penggunaan teknik merchandising seperti display produk yang mencolok atau bundling promosi juga efektif untuk mendorong impulse buying.
Contoh nyata dari strategi push ini dapat dilihat di ritel-ritel besar yang menempatkan produk kecil seperti cokelat, minuman, atau pernak-pernik di dekat kasir. Ketika konsumen mengantre, mereka terpapar pada produk-produk ini yang kemudian memicu keinginan untuk membeli tanpa perencanaan sebelumnya. Ini merupakan taktik sederhana namun sangat efektif dalam memanfaatkan waktu tunggu dan dorongan psikologis untuk melakukan pembelian impulsif.
Di sisi lain, pull marketing memanfaatkan impulse buying melalui strategi yang menciptakan keinginan di sisi konsumen. Promosi yang menarik di media sosial, iklan digital yang dipersonalisasi, dan branding sering kali menumbuhkan rasa penasaran atau keinginan konsumen untuk segera membeli produk meski tidak ada kebutuhan mendesak. Dalam pull marketing, perusahaan berfokus pada penciptaan pengalaman merek yang kuat sehingga konsumen merasa “ditarik” untuk mencoba produk tersebut. Penggunaan influencer marketing juga semakin populer dalam konteks ini. Konsumen sering kali terpengaruh untuk membeli produk yang direkomendasikan oleh influencer favorit mereka secara spontan setelah melihat konten promosi di media sosial.
Strategi pemasaran yang efektif sering kali memadukan unsur push dan pull marketing secara bersamaan untuk memaksimalkan potensi impulse buying. Misalnya, sebuah merek pakaian dapat melakukan kampanye digital di media sosial (pull marketing) untuk membangkitkan minat konsumen, sambil menempatkan produk baru di lokasi strategis di dalam toko atau melalui e-commerce yang mudah diakses (push marketing).
Tidak hanya itu, promosi kilat atau penawaran terbatas juga merupakan kombinasi sempurna antara push dan pull. Konsumen yang melihat iklan online tentang diskon khusus hanya dalam jangka waktu tertentu akan terdorong untuk segera membeli produk. Mereka merasa tertarik oleh promosi (pull), namun juga didorong oleh urgensi promosi (push).
Memahami kebiasaan dan preferensi konsumen menjadi elemen krusial dalam memanfaatkan impulse buying. Dengan analisis data yang tepat, perusahaan dapat menyusun strategi yang lebih efektif. Misalnya, analisis perilaku belanja online memungkinkan perusahaan mengetahui kapan dan di mana konsumen cenderung melakukan pembelian impulsif. Begitu pula dengan gender dan barang seperti apa yang biasanya dibeli konsumen baik laki-laki atau perempuan. (Grafik 1)

Data dari Statista menggambarkan bagaimana pembeli melakukan impulse buying secara online, baik dari jenis barang yang dibeli maupun gender pembeli. Menurut data ini, laki-laki cukup impulsif dalam melakukan pembelian produk kategori elektronik, mainan, dan buku. Untuk kategori elektronik, laki-laki cukup impulsif dengan 49% responden mengaku membeli produk elektronik tanpa perencanaan.
Dalam data ini, perempuan memiliki kecenderungan lebih tinggi dalam melakukan impulse buying. Ini terlihat dalam tiga kategori barang yang lebih banyak pembeli impulsifnya adalah perempuan. Pakaian dan sepatu jadi kategori yang mencatat ada 57% perempuan yang mengaku melakukan pembelian secara impulsif. Selain itu, dalam kategori produk perawatan diri, perempuan juga cukup impulsif. Data mencatat untuk kategori ini ada 29% responden perempuan yang mengaku melakukan pembelian secara impulsif. Untuk kategori perabotan dan pernak-pernik rumah, jumlah perempuan yang membeli secara impulsif lebih tinggi yakni 24%.
Selain itu, merek juga harus paham alasan-alasan yang mendorong konsumen ketika melakukan impulse buying. Merek juga harus paham produk mana yang perlu ditawarkan guna memicu impulse buying dan kapan biasanya terjadi. Ada beberapa alasan mengapa impulse buying terjadi. (Grafik 2).

Laporan Statista melihat ada lima alasan besar mengapa orang melakukan impulse buying. Sebanyak 34% responden menilai bahwa harga yang ditawarkan saat itu cocok dan sayang jika dilewatkan. Lalu, 34% responden beralasan bahwa mereka membeli sebuah produk saat itu sebagai self–reward. Sebanyak 29% mengaku bahwa produk yang ditawarkan bagus, jadi sayang untuk dilewatkan. Lalu, 23% responden mengaku memang sudah lama mengincar produk ini dan menunggu momen yang tepat. Sebanyak 20% mengaku membeli produk tersebut karena memang mudah untuk melakukan pembeliannya.
Pemahaman terhadap perilaku konsumen ini menjadi hal yang perlu dilakukan merek. Merek tak bisa sekadar tebar promo dan potongan harga guna mendorong penjualan. Inilah yang dilakukan oleh Wings. “Strategi kami berangkat dari pemahaman akan perilaku konsumen. Semua strategi kami dilandaskan pada insight,” kata Katria Arintya Anindyantari, Head of Marketing Food WINGS Group Indonesia.
baca juga
Di industri ritel, sambung Katria, untuk mendorong agar impulse buying terjadi, strategi tersebut diintegrasikan secara omnichannel melalui kampanye yang dilakukan secara online. Misalnya, kampanye Mie Sedaap x WD Willy untuk mempromosikan Mie Sedaap baru. Kampanye ini dibuat untuk membangun minat beli di aneka platform media sosial. Alhasil, impulse buying yang terjadi muncul baik secara offline maupun online.
Di industri smartphone, impulse buying juga menjadi strategi yang cukup efektif. Hampir rata-rata merek smartphone mengeluarkan model terbaru setiap tahunnya. Padahal, penggunaan smartphone sendiri secara normal memiliki masa pakai setidaknya 3-5 tahun.
realme, merek smartphone asal Cina ini memanfaatkan program flash sale dan pre–order sebagai pendorong munculnya impulse buying. Dalam rentang tahun yang sama, banyak merek smartphone juga merilis produk baru. Guna meningkatkan daya saing dan juga menggaet para pembeli yang impulsif, realme menerapkan strategi khusus. “Kami memberikan ekstra benefit setiap program baik flash sale dan pre–order. Baik berupa bundling maupun potongan harga,” kata Krisva Angnieszca, Public Relations Lead realme Indonesia.
Menurut perempuan yang karib disapa Vava ini, program flash sale dan pre–order ini merupakan kampanye yang biasanya muncul tiap perilisan produk baru. Namun, tiap tahunnya, program ini akan berbeda tergantung dari kampanye apa yang sedang dijalankan oleh perusahaan.
realme menjadi merek smartphone yang pertumbuhannya tergolong cepat. Pada akhir tahun 2023, perusahaan mengumumkan telah melakukan pengiriman smartphone secara global sebanyak 200 juta unit. Merek ini bahkan hanya butuh waktu tiga tahun satu bulan untuk mencapai pengiriman 100 juta unit pertamanya.
Impulse buying merupakan elemen penting yang dapat diintegrasikan ke dalam strategi push dan pull marketing untuk mendorong penjualan. Dengan memanfaatkan impulse buying secara efektif, perusahaan tidak hanya dapat meningkatkan penjualan jangka pendek, tetapi juga membangun hubungan jangka panjang dengan konsumen.
Perpaduan yang tepat antara push dan pull marketing, didukung oleh analisis data yang akurat, mampu menciptakan strategi pemasaran yang kuat dalam menarik konsumen untuk melakukan pembelian impulsif di berbagai kanal penjualan. Anda pernah mencoba?