Kiat Ciptakan Love Story antara Merek dan Konsumen
Relasi antara merek dan konsumen tidak hanya dibangun sebatas relasi saling membutuhkan. Lebih dari itu, relasi bisa dibangun lebih mendalam dalam love story antara keduanya. Seperti apa caranya?
Di ruangan gelap bioskop Djakarta Theatre pada tahun 1978, saya sebagai seorang anak kecil, terpesona oleh saga “Star Wars” di layar besar. Selama lebih dari dua jam, saya merasa dibawa ke sebuah galaksi yang amat jauh dan megah. Dampak cerita film tersebut begitu besar dan melekat dalam diri saya hingga saat ini.
Saya tetap menjadi fans Star Wars, yang sekarang telah berkembang dari sekadar film menjadi sebuah fenomena global, hidup di hati jutaan fans lewat merchandise, taman hiburan, bahkan turut meningkatkan penjualan berbagai merek lifestyle di seluruh dunia. Ini merupakan pengalaman pertama saya terhadap story telling yang luar biasa yang melahirkan bukan hanya loyalitas, tapi kecintaan saya terhadap suatu brand dan cerita.
Pengalaman pribadi saya dengan Star Wars serta pengalaman kerja sebagai marketer selama lebih dari 20 tahun di Unilever, kemudian Country Manager untuk Walt Disney Indonesia, dan kini sebagai presiden Visinema Studios, semakin memperjelas keyakinan saya atas pentingnya story telling dalam pemasaran. Marketing adalah seni dan ilmu yang menjembatani tujuan, sebuah merek agar dikenali oleh target audience-nya. Billboards, iklan TV, atau pun konten digital adalah beberapa pilihan kendaraan untuk berkomunikasi serta opsi implementasi dari strategi marketing yang lebih besar. Sedangkan story telling adalah soul dari strategi marketing itu sendiri.
Sebagai contoh, jika tujuan marketing hanya mencari awareness, maka strategi akan fokus untuk menjangkau sebanyak-banyaknya calon konsumen. Namun, jika tujuan utamanya adalah agar calon konsumen memiliki keinginan untuk mencoba suatu produk atau beralih dari produk kompetitor, maka strategi market development yang lebih kompleks lah yang diperlukan. Sebelum memikirkan strategi marketing, yang harus dipastikan adalah performa produk harus unggul dan kompetitif. Sehingga, marketing tidak hanya menang dari segi awareness dan engagement tetapi juga mampu menyampaikan integritas dan kualitas produk yang kuat dan benar-benar dapat meningkatkan kualitas kehidupan konsumen.
Saat saya menjabat sebagai Marketing Manager di Unilever, saya mendapat tantangan unik untuk mengembangkan kategori produk sabun cair pencuci piring. Konsumen yang saat itu adalah mayoritas pengguna sabun colek tidak mengetahui manfaat dari kategori produk sabun cair yang masih baru tersebut. Mereka tidak menyadari bahwa penggunaan sabun colek bukanlah pengalaman ideal dalam mencuci piring. Mereka bahkan tidak merasakan ada masalah dengan penggunaan produk sabun colek. Dengan situasi seperti ini, maka solusi melalui hard selling bukanlah pilihan yang tepat.
Oleh karena itu, strategi kami pun mulai dengan pendekatan story telling, yang mendorong pengguna riil untuk menceritakan sendiri pengalaman mereka menggunakan sabun cair ke komunitas mereka. Pendekatan ini terbukti sangat efektif dan kredibel karena yang bercerita adalah pengguna langsung dan bercerita tentang pengalaman mereka sendiri. Hal ini adalah bentuk awal dari influencer marketing, jauh sebelum era media sosial. Dari sini saya belajar bahwa cerita yang autentik bisa mengubah dari sekadar konsumen menjadi konsumen setia.
Di Disney, saya melanjutkan pengalaman ini dan belajar lebih jauh untuk mengubah konsumen menjadi fans yang dilandasi pemahaman mendalam tentang bagaimana menyampaikan cerita suatu produk kepada audiens. Semua dimulai dari target audience. Dengan memahami siapa audiens, kita dapat memetakan mobilitas dan touch point mereka untuk mengetahui di mana kita bisa bertemu dengan mereka. Hal ini adalah roadmap bagi vehicle strategi marketing kita.
Di Disney, termasuk Pixar, saya menjadi saksi bagaimana penonton bisa bertransformasi menjadi fans. Sebagai contoh Marvel Cinematic Universe (MCU). Karakter-karakter seperti Tony Stark dan kawan-kawannya tidak hanya dikenal luas, tetapi juga memiliki dampak besar terhadap industri film seluruh dunia. Film-film Marvel mengubah pengalaman menonton film menjadi lebih dari sekadar hiburan tapi juga menjadi sebuah fenomena sosial karena audiens sudah berinvestasi emosional ke cerita Marvel yang saling berkaitan di setiap filmnya.
Sebagai Country Manager Walt Disney Indonesia saat itu, saya mengemban tugas marketing yang menarik yaitu membuat konten global yang lebih relevan dengan pasar Indonesia, memperluas pengalaman penonton di luar bioskop dengan membangun interaksi melalui lokalisasi terhadap karakter. Lalu, story telling marvel yang diimplementasikan dari pengalaman interaktif di mall hingga cobranding karakter Marvel dengan produk yang terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari.
Akibatnya, brand Marvel menjadi sangat kuat di Indonesia dan menciptakan fanbase yang loyal, karena cerita yang mereka tawarkan sangat relevan dan universal. Rahasia kesuksesan cerita Marvel dimulai dari sisi karakter manusianya. Contohnya, Tony Stark si jenius dengan egonya atau Captain America, si idealis dengan heroism-nya.
Sisi humanis ini membuat penonton merasa relate dengan masalah dan humor karakter. At the end of the day, ini adalah masalah manusia yang dibungkus di dalam fantasi superhero. Beberapa dari kita beraspirasi sebagai Tony Stark, di mana yang lain mungkin melihat diri mereka di kekikukan Spider Man. Inilah yang menciptakan pengalaman imersif dalam penonton, di mana perasaan kedekatan itu dibawa dari bioskop ke pengalaman sehari-hari.
Penggemar Marvel di Indonesia tumbuh hingga hampir 50 juta pada tahun 2019. Penonton yang awalnya datang ke bioskop untuk menonton film Marvel, menjadi penonton setia film-film Marvel di bioskop dan ikut engaged dengan perkembangan baru di media sosial dan koridor sehari-hari, yang menyebabkan FOMO (Fear of Missing Out). Hal ini juga meningkatkan animo masyarakat untuk menonton film lain di bioskop, termasuk film lokal. Secara tidak langsung, film Marvel juga mendorong pertumbuhan film Indonesia hingga 400% dalam waktu 3 tahun.
Saat ini, industri film Indonesia menjadi sangat lucrative, di mana bioskop Indonesia telah didominasi oleh konten lokal. Untuk mass market audience, film Indonesia memiliki konten dan aspirasi yang lebih relevan. Tidak hanya itu, perkembangan film Indonesia juga telah melahirkan cerita baru yang semakin beragam. “Mencuri Raden Saleh”, film heist pertama di Indonesia dan salah satu produksi Visinema, telah menjadi salah satu film box office tahun lalu.
Film seperti “Ngeri-ngeri Sedap” pun juga menjadi salah satu box office di Indonesia, meskipun memiliki konteks spesifik Batak, setting lokasi juga di Danau Toba, dan dialog menggunakan dialek Batak. Meskipun terlihat spesifik, namun ceritanya tentang hubungan orang tua dan anak yang telah dewasa sangat relevan untuk generasi sekarang, dari suku manapun mereka berasal.
Dalam kaitannya dengan story telling marketing, film Indonesia menjadi salah satu kendaraan marketing yang sangat powerful agar merek menyampaikan cerita mereka. Semakin banyak brand yang memperkenalkan story telling ke dalam strategi pemasaran agar, tidak hanya untuk mendapatkan perhatian tetapi juga untuk engage audiens secara emosional. Film bisa menjadi salah satu tools bagi bagi brand untuk menyampaikan cerita mereka.
Di bioskop, penonton dari awal berniat untuk memberikan perhatian yang fokus tanpa distraksi. Penempatan produk yang relevan dan menyatu dengan cerita adalah sweet spot terbaik bagi merek. Ini bukan hanya tentang placement produk dalam film tapi tantangannya adalah untuk mengintegrasikan produk dan brand ke dalam cerita secara sempurna dan menjadi bagian alami dari narasi.
Syarat lain yang tidak kalah penting adalah authenticity. Salah satu tantangan terbesar dalam pemasaran berbasis story telling adalah menyampaikan narasi terbaik dari purpose sebuah brand. Penting bagi marketers untuk memastikan bahwa narasi tersebut honest dan authentic serta produknya betul-betul bisa membantu konsumen. Penempatan merek yang keluar dari konteks cerita dapat menghambat keterlibatan emosional audiens.
Mengukur dampak story telling juga menjadi tantangan lain. Sementara metrik tradisional seperti penjualan dan traffic tetap penting, sangat perlu untuk mempertimbangkan metrik lain seperti engagement, loyalty dan brand love. Brand love is the ultimate destination, karena story telling yang baik dapat menciptakan brand love, bukan hanya brand loyalty. Dalam strategi pemasaran, hal utama adalah memahami audiens Anda, diikuti dengan menggali cerita apa yang akan beresonansi dengan mereka. Jangan takut untuk bereksperimen dan menjadi kreatif. Story telling bukan hanya upaya menjual produk, namun upaya menciptakan love story antara produk dengan konsumen.
Mengakhiri artikel ini, saya ingin menekankan lagi kekuatan story telling dalam pemasaran. Ini bukan hanya tentang mengubah cara kita menjual produk, tapi mengubah cara kita berkomunikasi dengan konsumen. Dengan story telling, kita tidak hanya menjangkau mereka sebagai sekadar konsumen, tetapi kita mengubah mereka menjadi fans. Ini adalah tentang menciptakan dunia di mana brand dan konsumen dapat hidup dan berkembang Bersama.