Storytelling with Data Kisahkan dengan Data
Merek bisa memanfaatkan data maupun angka untuk brand storytelling. Sebut saja data pertumbuhan, jumlah outlet, total pelanggan, dan sebagainya. Fun facts ini bisa dikemas dalam menjadi cerita yang lebih menyakinkan.
Memadukan visualisasi data dengan narasi yang menarik sangat membantu audiens untuk bisa memahami pesan yang disampaikan pemasar. Cara seperti ini akan memudahkan audiens untuk mengingat pesan. Pemasar dan konsumen pun semakin dekat lantaran cerita yang disajikan berdasarkan data yang relevan dengan kehidupan konsumen.
Platform infografis Venngage memotret pentingnya data untuk membangun cerita bagi pemasar melalui survei yang bertajuk Data Storytelling in Marketing: Benchmark Report 2021. Venngage melakukan survei terhadap 338 pemasar yang menggunakan layanannya tentang bagaimana data memengaruhi tujuan pemasaran perusahaan. Selain itu, cerita berbasis data menjadi alat pemasaran yang penting selama bertahun-tahun.
Bagi seorang pemasar, data merupakan kunci mendapatkan penjualan. Sebab, ini menjadi alat yang sangat berguna karena membantu pemasar menunjukkan, bukan sekadar memberi tahu. Data bisa membuktikan efektivitas suatu produk, dominasi pasar suatu perusahaan, atau manfaat suatu produk.
Dari hasil survei, pengaruh data bagi pemasar paling besar yaitu untuk membangun loyalitas pelanggan dengan persentase 31,33%. Kemudian, pada urutan kedua, yakni mengkonversi calon pelanggan menjadi pelanggan dengan persentase 26,67%. Lalu, data digunakan pula oleh pemasar untuk menarik calon pelanggan baru dengan persentase 18,33%. Grafik 1.
Penelitian ini kemudian membagi lagi menjadi dua kelompok responden yang menggunakan data berdasarkan tujuan serta pemiliknya. Lagi-lagi, kepentingan penjualan mendominasi data untuk storytelling yang dikemas menjadi cerita menarik. Berdasarkan tujuannya, data paling banyak digunakan untuk penjualan dengan besaran 73,67%.
Pada urutan kedua dan ketiga masih terkait dengan pemasaran yakni analisa pasar serta product impact. Masing-masing memiliki persentase sebesar 42,33% dan 39,33%. Sedangkan kepemilikan data yang dikemas menjadi cerita didominasi pula oleh anggota tim pemasaran dengan persentase 53,33%.
Tim penjualan banyak juga yang memanfaatkan data untuk membangun cerita pemasaran dengan persentase 51,33%. Urutan ketiga dan keempat ditempati oleh manajemen perusahaan pelanggan. Masing-masing memiliki besaran 43,67% serta 36,67%. Grafik 2.
Untuk bisa menyajikan cerita berbasis data yang powerfull, ada beberapa langkah yang mesti dilakukan seorang pemasar. Pertama, seorang pemasar harus mengetahui siapa target audiens yang akan dibidik. Tujuannya untuk bisa menyusun visualisasi yang dapat menyampaikan pesan dengan baik. Agar visualisasi menarik perhatian audiens, jelaskan dengan data yang disertai sebuah kisah.
Ketika bersiap untuk menyajikan informasi kepada audiens, buatlah konten dengan cukup jelas dan fokuslah pada cerita, item tindakan, atau isu tertentu. Pemasar tidak disarankan terjebak dalam keinginan untuk menunjukkan keseluruhan proses penelitian. Sebab, audiens lebih suka mengetahui analisis akhir analisis data.
Kedua, pastikan preferensi pengetahuan dari audiens yang dibidik dengan memahami persepsi mereka terhadap cerita yang disajikan. Pemasar harus bisa mengenali perbedaan antara presentasi langsung dan tertulis. Presentasi langsung memungkinkan pemasar mengatasi pertanyaan dan masalah, sedangkan presentasi tertulis berarti audiens harus menafsirkan informasi sendiri.
Ketiga, visualisasikan cerita yang berbasis data dengan benar. Ada banyak gaya visual yang dapat digunakan seperti di antaranya teks sederhana, tabel, grafik garis, diagram batang vertikal, diagram batang horizontal dan sebagainya. Biasanya, orang lebih cenderung suka akses grafik secara instan dan di tahap ini pemasar tidak disarankan menggunakan diagram lingkaran karena bisa menumbuhkan kebingungan dalam membaca visualisasi.
Pesan yang disampaikan melalui visual biasanya semakin memudahkan untuk diingat oleh audiens. Sehingga hal-hal yang penting perlu divisualkan dengan grafik-grafik yang lebih menarik agar audiens lebih memberikan perhatiannya. Lalu, soroti elemen-elemen penting di awal agar membantu anggota audiens mengingat poin-poin itu.
Menurut Windarti Satriyo Untung, Deputy Head of Survey & Data Katadata Insight Center, merek yang ingin membangun cerita berdasarkan data memiliki sedikitnya dua alasan umum, yaitu sebagai investasi atau sebagai cost. Bagi perusahaan-perusahaan besar, data merupakan investasi yang harus diperbarui secara berkala sebagai strategi pemasaran. Sedangkan bagi perusahaan kecil, ini kerap menjadi cost tambahan lantaran besarnya modal yang dikeluarkan dalam sekali penelitian.
Windarti menyebut, untuk melakukan penelitian apabila melibatkan konsultan memerlukan modal puluhan hingga ratusan juta. Semakin sulit responden yang dicari dan semakin sulit analisanya, maka harga yang ditawarkan semakin mahal. Kendati demikian, dia menyebut ada solusi untuk mengatasi mahalnya biaya dengan melakukan pengumpulan data secara mandiri.
“Salah satu investasi yang paling penting adalah cara setiap merek mengumpulkan datanya sendiri sesederhana apa pun karena sangat membantu dalam mengembangkan portofolio. Semua interaksi dengan konsumen bisa berubah menjadi data,” kata sosok yang akrab disapa Winda ini.
Untuk bisa membedakan cerita yang berbasis data dan yang tidak berbasis data sangatlah mudah. Ini bisa disimpulkan dengan cara seberapa kuat cerita yang disajikan relevan dengan pelanggannya. Biasanya, kalau cerita yang dibuat dengan tidak berbasiskan data, maka cerita yang disajikan untuk engage dengan pelanggan terbatas, tidak bervariasi, dan tidak mendalam.
Dengan kata lain, storyline cerita cenderung bersifat ajeg alias itu-itu saja. Hal ini karena merek tidak mengerti target konsumen, kebutuhan, dan indikator apa yang membuat konsumen loyal. Di sisi lain, industri yang sering menggunakan data sebagai bahan dasar cerita yaitu industri lifestyle, fast moving consumers good (FMCG), dan industri jasa keuangan lantaran membutuhkan data perubahan perilaku konsumen dalam waktu yang cepat.
Untuk mengukur efektivitas data terhadap kesuksesan cerita yang disajikan yaitu dengan melakukan pre-test dan post-test atau kembali melakukan penelitian tentang promotion effectiveness. Tujuannya untuk mengetahui seberapa tingkat awareness sebelum dan sesudah mendapatkan cerita.
“Tentu saja menggunakan data untuk membangun cerita sangat efektif. Dalam membuat keputusan atau menentukan strategi, pemasar bisa mengandalkan pengalaman, intuisi, dan data-data marketing. Konsumen itu bisa cepat berubah, apalagi dengan gempuran pasar dengan banyak pesaing. Ini sangat menantang bagi pemasar kalau tidak memiliki data,” ujarnya.
PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) menjadi salah satu merek yang sangat memperhatikan data dalam membuat strategi kampanye atau komunikasi. Hanya saja, mereka tidak menggunakan penelitian kuantitatif maupun kualitatif yang memanfaatkan responden konsumen maupun non konsumen. BCA lebih memilih melakukan analisis di media sosial terkait dengan jumlah percakapan yang terkait dengan masalah-masalah nasabah.
Norisa Saifuddin, Senior Vice President BCA menuturkan, setidaknya beberapa cerita memanfaatkan data percakapan di media sosial yang baru-baru ini diproduksi. Cerita tersebut yakni Tolak dengan Anggun, edukasi QRIS, dan serial Nurut Kata Mama yang ditayangkan di YouTube. Semua cerita tersebut memotret percakapan dari kehidupan nasabah BCA sehari-hari dengan memanfaatkan data percakapan di media sosial.
Hasilnya, storytelling yang diproduksi mampu menjadi trending topic di media sosial seperti YouTube dan X. Bahkan, konten yang diproduksi ditonton hingga jutaan kali oleh audiens baik itu nasabah BCA maupun bukan. Hal inilah yang kemudian menjadi kunci sukses perseroan dalam memproduksi cerita.
“Untuk mengukur efektivitas cerita, kami memiliki metrik tersendiri secara angka baik itu dari sisi penjualan atau seberapa banyak cerita itu menghasilkan brand advocate di dunia digital. Ini metrik yang kami gunakan apakah cerita itu mampu meningkatkan brand equity index atau top of mind yang diukur secara rutin setiap tahunnya,” tutur Norisa.
“Salah satu investasi yang paling penting adalah cara setiap merek mengumpulkan datanya sendiri sesederhana apa pun karena sangat membantu dalam mengembangkan portofolio. Semua interaksi dengan konsumen bisa berubah menjadi data.”
Windarti Satriyo Untung, Deputy Head of Survey & Data Katadata Insight Center.