Marketing to Gen Z , Pemasaran ke Gen Z akan efektif dan berdampak bila merek memahami dunia mereka dengan benar. Tak boleh terkungkung dalam mitos dan stereotipe tentang Gen Z. Jangan sampai terjadi Gen Z ingin begini, namun merek malah begitu.
Posisi orang muda saat ini ada di segmen Gen Z dan bukan Milenial lagi. Generasi yang lahir pada periode 1997-2012 ini tengah menjadi segmen yang diperebutkan oleh banyak merek. Peran Gen Z semakin dominan mewarnai banyak lini kehidupan manusia, dari bisnis, ekonomi, sosial, hingga politik.
Saking dianggap penting, suara Gen Z pada pemilu yang lalu menjadi rebutan para pasangan calon. Dari 204,8 juta daftar pemilih tetap, 56% dari jumlah tersebut adalah Gen Z dan Milenial atau 116,5 juta. Jumlah Gen Z yang memiliki hak pilih sebesar 22,8%. Besarnya suara itu membuat paslon bersikeras memperebutkan perhatian mereka.
Bagi sebagian besar merek, masuk ke dunia generasi digital native pertama ini ternyata tidaklah semudah membalik telapak tangan. Sering terjadi, Gen Z ingin begini, tetapi merek malah begitu. Hal ini menandakan bahwa antara merek dan Gen Z sering tidak nyambung. Padahal merek sudah melakukan banyak upaya, bakar banyak duit, dan buang banyak energi.
Pain points yang dialami merek tersebut bisa disebabkan oleh banyak hal. Merek, misalnya, tidak benar-benar memahami siapa sejatinya Gen Z. Salah satunya, Gen Z disamakan dengan Milenial, padahal keduanya merupakan generasi yang berbeda yang memiliki karakter dan preferensi yang berbeda pula.
Edisi Marketing to Gen Z kali ini hadir untuk menjernihkan banyak hal terkait dengan pemasaran kepada segme muda ini. Asal tahu saja, di era sekarang, ada lima generasi yang hidup berdampingan: Boomer, Gen x, Gen Y atau Milenial, dan Gen Z. Tentu saja, yang memegang uang dan punya spending power adalah generasi senior. Karena itu, mendekati Gen Z harus dengan cara-cara cerdas dan cantik agar relasi dengan segmen yang lebih senior tetap terjaga.
Merujuk Iwan Setiawan, CEO Marketeers dalam Analisis Episode 43 di Marketeers TV, ada lima pendekatan kepada Gen Z yang perlu dipahami oleh merek. Pertama, Kids Getting Older Younger. Ini menyangkut tahapan kehidupan manusia yang normalnya terdiri dari fundamental (fase belajar), forefront (membangun karier), fostering (membangun keluarga dan tim), dan final (pensiun).
Dulu, normalnya manusia untuk melewati empat tahapan itu membutuhkan waktu hingga usia 80 tahun. Namun, Gen Z memiliki siklus dan tahapan yang lebih cepat. Ini terlihat dari siklus belajar dan membangun karier yang lebih cepat. Mereka senang ikut kelas akselerasi. Mereka cepat meraih posisi tinggi di perusahaan. Bahkan, sebagian memilih resign dan membangun perusahaan sendiri.
Implikasinya, merek jangan ragu merilis tema-tema marketing yang agak berat, seperti sustainability maupun social impact. Dulu, topik-topik ini dianggap berat, sekarang justru cenderung digemari oleh anak muda.
Kedua, fokus pada customer experience (CX). Gen Z sangat sensitif soal ini, mereka ingin menikmati pengalaman. Oleh karena itu, merek tidak sebatas fokus pada produk, tetapi juga CX. Ketiga, ask dan advocate. Ini terkait dengan customer path 5A (aware, appeal, ask, act, dan advocate). Di kalangan Gen Z sendiri, tahapan paling dominan adalah ask dan advocate. Mereka sangat sosial di komunitasnya. Mereka saling bertanya dan merekomendasikan terhadap produk yang mereka senangi melalui media sosial. Oleh karena itu, merek perlu memperhatikan tren social buying atau pembelian yang dipengaruhi oleh pendapat orang tersebut.
Keempat, phygital yang merujuk pada fenomena webrooming (pencarian online, pembelian offline) dan showrooming (pencarian offline, pembelian online) di kalangan Gen Z. Hampir 80% transaksi terjadi dalam proses phygital tersebut. Karena itu, merek harus mampu menciptakan pengalaman phygital dan hadir secara online dan offline. Kelima, keeping it real. Gen Z cenderung menyukai hal-hal yang autentik. Karenanya, merek sebaiknya menciptakan komunikasi pemasaran dan branding yang mengedepankan keaslian atau keautentikan.
baca juga
Konsep Marketing 6.0: The Future is Immersive (2023) lebih menegaskan tren tersebut. Di sini, Gen Z memang lekat dengan dunia digital. Faktanya, mereka menjadi pihak yang paling senang berbelanja di toko fisik dibanding generasi senior mereka. Namun, mereka tetap butuh interaksi digital saat berada di kanal fisik alias online in offline. McDonald’s, misalnya, menyediakan papan digital untuk transaksi di gerai fisik mereka.
Nilai-Nilai Generasi
Komunikasi merek akan efektif bila kontennya nyambung dengan nilai-nilai yang dihidupi oleh Gen Z. Menurut survei ICSC bertajuk The Rise of Gen Z Consumer (2023) yang melibatkan 1.008 responden, nampak nilai-nilai yang dipegang oleh anak-anak muda ini. (Grafik 1).
Gen Z, menurut survei tersebut, merupakan generasi yang memiliki kesadaran sosial dan lingkungan yang tinggi. Mereka tertarik untuk mendukung merek yang selaras dengan nilai-nilai mereka. Yang tertinggi adalah mereka sangat peduli pada kesehatan mental. Sebanyak 53% responden menyatakan tertarik untuk mendukung merek yang memprioritaskan mental health.
Menariknya, Gen Z juga sangat peduli pada masalah lingkungan hidup, perubahan iklim dan keberlanjutan, serta kesetaraan ras dan gender. Masing-masing dengan responden sebesar 47% menyatakan niatnya untuk mendukung merek untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Riset juga menunjukkan bahwa 56% Gen Z bersedia mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli produk yang bersumber secara berkelanjutan.
Mereka, sebesar 42%, juga tertarik untuk mendukung merek yang menunjukkan praktik ketenagakerjaan yang etis, seperti perdagangan yang adil, sumber daya yang etis, dan upah yang layak.
Membongkar Mitos
Dalam praktik, merek sadar atau tidak sadar sering menyamakan Gen Z dengan Milenial. Sehingga strategi untuk Gen Z tak jauh berbeda dengan strategi ketika diterapkan untuk Milenial. Inilah mitos atau kesalahkaprahan paling umum yang perlu diluruskan.
Sedikitnya ada tiga perbedaan antara Gen Z dan Milenial. Pertama, Milenial merupakan generasi yang ingin menampilkan yang terbaik dari dirinya (best version of me), sedangkan Gen Z cenderung tampil autentik (authentic me) alias apa adanya dan menampilkan dirinya sendiri. Tak heran, media sosial favorit Milenial adalah Instagram yang punya fitur filter, sedangkan Gen Z memilih TikTok yang sering mempertontonkan raw material.
Kedua, Milenial cenderung lebih emosional dalam memilih produk dan layanan (value feel-good factor). Sedangkan Gen Z lebih condong pada fungsi produk dan layanan tersebut (value product utility) alias lebih rasional. Ketiga, Milenial memaknai kesuksesan dari status sosial ekonomi mereka (success= status). Sedangkan Gen Z menghubungkan kesuksesan dengan kebahagiaan sederhana (success=happiness). (Grafik 2).
Mitos berikutnya tercermin dari riset Nielsen yang menunjukkan fakta sebenarnya dibanding stereotipe terhadap Gen Z. Misalnya, mereka dikategorikan sebagai generasi yang kecanduan teknologi dan memiliki rentang perhatian yang pendek. Karenanya, salah kaprah kalau digital menjadi cara satu-satunya untuk mendekati Gen Z. Survei menunjukkan bahwa 73% dari mereka ingat dengan iklan luar ruang yang mereka jumpai. Artinya, perhatian mereka tidak hanya tenggelam dalam online, tetapi juga offline.
Lalu, Gen Z sering dianggap sebagai generasi yang sembrono dalam membelanjakan uang. Riset Nielsen menunjukkan 76% mereka berani menawar harga dan 62% menyatakan kemerdekaan finansial sebagai tujuan teratas hidupnya. Prasangka lain mengatakan Gen Z adalah segmen yang suka buang-buang waktu di online. Padahal, 50% menggunakan internet untuk mencari informasi tentang produk dan layanan. Sedangkan, 45% menggunakannya untuk akses internet banking maupun investasi online.
Belajar dari Pemain
Edisi ini menyajikan kisah merek-merek yang telah dan sedang melakukan pemasaran ke Gen Z. Mereka bermain di industri yang berbeda, seperti fesyen dan kecantikan, otomotif, fast-moving consumer goods, telekomunikasi, maupun jasa keuangan.
Meski secara umum, Gen Z yang mereka bidik memiliki karakter yang sama, namun pendekatan masing-masing industri sedikit berbeda. Semoga edisi ini membantu merek Anda agar semakin luwes saat masuk ke dunia anak muda. Jangan lagi terjadi, Gen Z maunya begini namun merek malah begitu. Betul demikian?