Dulu, tiap 1-2 minggu, saya mengajar untuk program Kartu Prakerja tentang cara membangun dan mengembangkan situs web. Para peserta program bisa bertanya langsung kepada saya dalam tiap sesi pengajaran.
Pertanyaan nomor satu yang saya terima adalah bagaimana cara mendapatkan peringkat pertama di mesin pencari Google, yang mungkin akan saya bahas di kemudian hari. Tapi ada satu pertanyaan yang sesekali muncul dan membuat saya sedikit garuk-garuk kepala.
Pertanyaan itu adalah, “Apakah boleh menggunakan bot untuk menaikkan pageview?” Dengan kata lain, orang ini bertanya apa boleh menggunakan jasa robot untuk pura-pura mengunjungi situs web kita sehingga angka pageview bertambah dengan cepat dan signifikan.
Tentu saja, dari aspek teknis hal ini tak akan membantu pemilik situs web dalam jangka panjang. Jika kita kaitkan dengan performa iklan, maka hal ini bisa terhitung ilegal. Misalnya seorang klien membayar kamu untuk beriklan sebanyak 10.000 pageview, dan kamu menggunakan bot untuk mencapainya.
Tapi ini bahkan bukan kekhawatiran utama saya. Yang membuat saya lebih penasaran adalah, mengapa ada orang yang ingin menggunakan bot untuk mendapatkan hasil yang diinginkannya?
Jika orang tersebut memesan 100.000 pageview dengan bot, dan di akhir bulan ia mendapatkan lebih dari 100.000 pageview, apa ia akan merasa puas mengetahui bahwa 90 persen lebih yang berkunjung bukanlah manusia, tapi bot? Lagipula, ini akan mengacaukan data sehingga kamu tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di situs web milikmu.
Setelah saya pikirkan lebih jauh lagi, rasanya saya mengerti mengapa orang-orang memilih cara seperti ini. Saya rasa itu ada hubungannya dengan gratifikasi instan.
Secara kebetulan, saya menemukan sebuah video yang diunggah sekitar tahun 2000-an, di mana sang peukms.or.id/cara mengatakan bahwa zaman sekarang semua serba instan. Saya tersenyum kecil saukms.or.id/l bergumam, apa kabar tahun 2021?
Pesan barang lewat aplikasi, dan satu jam kemudian barang tersebut diantarkan sampai ke depan rumah. Ingin menonton satu season serial televisi dari awal sampai tamat? Cukup nyalakan Netflix–kamu bahkan tak perlu menekan fast forward, intro pembuka sudah dipotong untukmu. Malah, saya kesulitan mencari contoh apa yang tak bisa kita dapatkan secara instan saat ini.
Tapi gratifikasi instan ini membawa banyak masalah.
Stanford marshmallow test
Pada tahun 1972, Walter Mischel yang merupakan profesor di Universitas Stanford melakukan sebuah eksperimen kecil. Beberapa anak dipanggil masuk ke dalam ruangan dan diberikan sebuah marshmallow (manisan kenyal). Jika mereka langsung memakannya, mereka akan mendapatkan 1 marshmallow lagi. Tunggu 15 menit, dan mereka akan mendapatkan 2 marshmallow.
Mischel menemukan bahwa anak-anak yang menunggu 15 menit ternyata punya hasil lebih baik dalam beberapa aspek kehidupan di masa mendatang. Antara lain nilai ujian yang lebih baik, berat badan yang lebih seimbang, karier yang lebih baik, serta berbagai aspek kehidupan lainnya.
Semua ini berhubungan dengan kemampuan untuk menahan diri terhadap gratifikasi instan, yang juga berarti menahan diri, memperhitungkan masa depan, serta kesabaran dan kekuatan untuk melalui masa-masa sulit.
Memangnya apa yang salah dengan gratifikasi instan?
Coba cari di Google. Kamu akan menemukan ada banyak hasil studi yang menyimpulkan bahwa gratifikasi instan adalah hal buruk. Biar saya rangkumkan untuk kamu.
Perasaan puas yang datang dari gratifikasi instan tak bertahan lama. Kamu bakal mencari kepuasan selanjutnya dengan cepat. Kamu juga akan berharap bahwa gratifikasi selanjutnya lebih hebat dari sebelumnya. Lebih jauh lagi, ini bisa mengurangi motivasi ketika kita melakukan sesuatu yang tak membawa hasil dalam jangka pendek.
Simon Sinek, seorang peukms.or.id/cara dan penulis buku kondang asal Inggris, menceritakan dirinya pernah bertemu dengan seorang pegawai ketika membawakan sesi pelatihan motivasi pada sebuah perusahaan. Pegawai tersebut merasa bahwa pekerjaannya tak memberi dampak kepada lingkungan.
Sinek bertanya berapa lama ia sudah bekerja di perusahaan tersebut, dan si pegawai menjawab delapan bulan. Mendengar jawaban tersebut, Sinek malah mempertanyakan kembali ekspektasi si pegawai.
Tentu saja, mungkin akan butuh lebih dari delapan bulan untuk bisa mulai melihat hasil. Namun percakapan ini menunjukkan bahwa gratifikasi instan bisa mengubah persepsi seseorang.
Selain itu, karena segala sesuatunya berlangsung secara instan, kemampuan kita untuk memahami dan menyadari suatu proses juga bisa memudar. Kita tak lagi berhenti sejenak, menyadari apa yang terjadi, serta melihat kembali prosesnya. Kita langsung loncat ke tahap menunggu hasil.
Perilaku seperti ini tak membantu kita menarik kesimpulan dari suatu masalah, atau mencari tahu apa yang salah. Yang kita lihat hanyalah sebuah bentuk hubungan antara aksi dan reaksi. Jika saya melakukan A maka hasilnya B, tanpa berpikir apakah saya melakukan A dengan benar?
Delayed gratification
Seperti yang bisa kamu tebak, delayed gratification adalah kebalikan dari gratifikasi instan, tapi dengan satu faktor penting. Kamu sendiri yang secara aktif menundanya, bukan karena keadaan memaksa kamu menundanya.
Sebenarnya cukup mudah untuk melihat sisi positif dari delayed gratification. Kamu yang menolak untuk langsung mengecek notifikasi media sosial akan punya fokus dan waktu yang lebih lama untuk tetap produktif. Menunda membeli makanan manis dan cepat saji akan membuat kamu lebih sehat dalam jangka panjang.
Tapi saya perlu juga memberi tahumu bahwa percobaan tahun 1972 tersebut sudah dilakukan berulang kali. Para peneliti kini menemukan bahwa faktor lingkungan juga berpengaruh.
Mereka yang bisa menahan diri dan mendapatkan hasil positif akan cenderung terus membawa sifat ini seterusnya. Namun mereka yang menahan diri dan mendapatkan hasil yang tetap buruk akan lebih fleksibel ketika mereka dihadapkan terhadap pilihan.
Ini berarti kemampuan untuk menahan gratifikasi tak selalu datang dari faktor genetik, tapi juga dipengaruhi oleh lingkungan.
Lalu apa artinya ini semua?
Saya pikir kebanyakan manusia ingin jadi orang sukses, terlepas dari arti sukses yang berbeda-beda untuk setiap individu. Saya rasa ada banyak faktor yang memengaruhi kesuksesan. Lagipula, kemampuan untuk menahan gratifikasi instan tak akan membuat kamu tiba-tiba sukses.
Tapi tak bisa dipungkiri bahwa kemampuan untuk menahan impuls adalah hal penting. Jika dilakukan dengan konsisten, delayed gratification bisa membantu mengembangkan fokus terhadap rencana jangka panjang.
Hal ini terbukti jadi lebih menantang ketika menjalankan sebuah startup. Di satu sisi, startup butuh rencana jangka pendek dan pertumbuhan pengguna yang luar biasa tinggi dalam waktu singkat. Kebutuhan ini bisa membuat seluruh anggota melakukan hal-hal yang mendatangkan hasil dengan cepat, namun berpotensi mengaburkan rencana jangka panjang.
Saya tahu ini, karena fenomena ini juga terjadi pada diri saya. Melihat hasil atau gratifikasi yang cepat dari waktu ke waktu akan menyebabkan ketagihan (approved by science). Tapi jika saya tak berhenti sebentar, menarik diri, dan kembali mengingat apa rencana jangka panjang sebenarnya, maka ya, perusahaan bisa disetir ke arah yang salah.
Kabar baiknya adalah, sama seperti kebanyakan sikap, seiring kamu mulai melakukannya secara konsisten, maka menunda gratifikasi akan jadi lebih kuat dan mudah dilakukan.
Lain kali, ketika sebuah dorongan untuk mendapatkan gratifikasi instan datang, coba untuk mengingat newsletter kali ini. Kenali kapan diri kamu mencoba untuk mendapatkan instant gratification.
Ini adalah langkah pertama yang penting. Jangan biarkan berlalu begitu saja, tapi coba identifikasi.
Selanjutnya, kamu bisa membuat sebuah sistem untuk membantu diri kamu sendiri. Sebagai contoh, jika kamu sudah tak mampu menahan diri untuk membuka tab Facebook (atau media sosial pilihan kamu lainnya) pada jam kerja, kamu bisa mengatur jadwal khusus untuk membukanya. Anggap ini sebagai hadiah untuk diri sendiri setelah fokus bekerja selama 3-4 jam.
Hal-hal kecil ini akan tertanam. Jika dilakukan secara konsisten, niscaya kamu akan bisa menahan gratifikasi instan dalam hal-hal yang lebih besar.
+ There are no comments
Add yours