The New Perspective of Service

The New Perspective of Service: From Standardization to Transformation , Why: Every Business is Service Business. Anda bekerja di industri manufaktur atau service? Kalau Anda adalah profesional di perusahaan consumer goods, otomotif, farmasi, dan yang sejenisnya, maka Anda akan memilih jawaban pertama. Sebaliknya Anda akan memilih jawaban kedua jika bekerja di sektor pariwisata, jasa keuangan, transportasi maupun logistik.

Jika paradigma dikotomis di atas yang Anda miliki, maka barangkali Anda tidak akan menganggap tulisan ini relevan jika tempat bekerja Anda saat ini adalah sektor manufaktur. Inilah yang ingin saya klarifikasi dulu di awal.

Bagi saya, every business is service business. Apa pun produk yang Anda tawarkan, baik barang maupun jasa, tetap saja Anda berada di service business!

Perusahaan otomotif memang memproduksi mobil atau sepeda motor sebagai produk utama yang mereka tawarkan kepada pelanggan. Tetapi service tetap menjadi bagian tidak terpisahkan dari bisnis ini. Service yang saya maksud bukan hanya sebatas customer service. Bagi saya service harus menjadi mindset bagi semua karyawan perusahaan, dari top management hingga frontliner.

Karena every business is service business, maka setiap orang adalah service provider. Bukankah setiap karyawan di dalam perusahaan memiliki pelanggan masing-masing? Bahkan karyawan di bagian back office pun hakikatnya memiliki pelanggan juga. Bukankah mereka juga melayani karyawan lainnya?

Kesimpulannya, service adalah bagian tidak terpisahkan dari aktivitas pemasaran perusahaan.

What: Service as Value Enhancer

Pembaca setia buku-buku dan artikel saya tentu hafal dengan model Nine Core Elements of Marketing (Lihat Figure 1). Saya membagi pemasaran menjadi marketing strategy, marketing tactic, dan marketing value.

Di dalam model tersebut, marketing value terdiri dari tiga elemen: brand, service dan process. Dua elemen terakhir, service dan process, perlu mendapatkan perhatian khusus. Saya menyebut proses sebagai value enabler dan service adalah value enhancer. Klaim tertentu terhadap merek Anda akan menjadi janji kosong belaka jika tidak didukung service dan proses yang prima (operational excellence).

Image or Photo Marketeers Max

Secara khusus saya membahas tentang topik ini di dalam buku terbaru saya bersama Profesor Philip Kotler dan Jacky Mussry yang berjudul Reimagining Operational Excellence (Figure 2)Buku ini rencananya akan diluncurkan pada Agustus 2024. Anda sudah bisa memesannya sekarang lewat Amazon.

Image or Photo Marketeers Max

(Will be released in August 2024)

Di dalam buku tersebut, saya menegaskan bahwa operational excellence tidak bisa dilepaskan dari service. Quality, cost, serta delivery saja tidak cukup. Harus ada service. Sebagai value enhancer, service bisa memberikan manfaat tambahan kepada pelanggan, baik secara fungsional maupun emosional.

Ketika Anda membeli barang dan bisa berkonsultasi dengan penjualnya, maka kepuasan Anda akan meningkat. Ini adalah contoh service yang bisa meningkatkan manfaat fungsional. Demikian juga ketika Anda disambut dan disapa secara personal saat bertemu dengan penjual, maka ini adalah manfaat emosional.

baca juga

    Pergeseran dari manfaat fungsional ke emosional terutama adalah hasil dari perubahan fokus perusahaan dari internal (divisional-centric dan company-centric) ke eksternal (customer-centric). Kepuasan pelanggan menjadi perhatian utama perusahaan.

    Fokus tersebut tentu masih relevan sampai sekarang. Namun sejak belasan tahun lalu saya sudah menegaskan bahwa perusahaan harus mulai melebarkan fokusnya ke stakeholder yang lebih luas. Jangan hanya cari untung. Jangan sekadar memuaskan pelanggan (dengan segala cara yang belum tentu baik bagi mereka). Mulailah berpikir untuk memberikan kontribusi positif terhadap masyarakat maupun lingkungan.

    How: From Standardization To Transformation

    Pergeseran fokus perusahaan dari internal (divisional-centric dan company-centric) ke eksternal (customer-centric dan stakeholder-centric) akan menghasilkan perubahan fokus pemberian layanan dari pelanggan acak (anybody) menjadi individu tertentu, kemudian beralih ke kelompok segmen tertentu, dan akhirnya ke masyarakat luas. Demikian pula, service delivery akan bergerak menuju level yang lebih tinggi, dari standardization, personalization, customization¸ dan akhirnya transformation (Lihat Figure 3)

    Image or Photo Marketeers Max

    Pada level 1 (standardization), perusahaan diharapkan dapat memberikan service yang setara kepada semua pelanggan, kapan pun dan di mana pun. Terlepas dari latar belakang pelanggan yang berbeda-beda, tim service perusahaan harus mampu melayani siapa pun, kapan pun, dan di mana pun dengan prosedur service yang sama. Oleh karena itu, di level ini penting bagi perusahaan untuk memiliki standard operating procedure (SOP) yang rinci dan komprehensif untuk memastikan tim di lapangan bisa memberikan layanan secara seragam.

    Pada level 2 (personalization), perusahaan harus bisa memberikan service yang unik ke setiap pelanggan berdasarkan karakteristik yang mereka miliki. Perusahaan harus dapat menyesuaikan service yang diberikan dengan kebutuhan spesifik pelanggan. Pelanggan butuh A, perusahaan kasih A. Pelanggan butuh B, perusahaan juga bisa kasih B.

    Jika personalization adalah penyesuaian service bagi pelanggan oleh perusahaan, maka customization adalah pemberian kendali kepada pelanggan untuk menentukan service yang diinginkannya. Alih-alih membuat asumsi tentang apa yang diinginkan pelanggan, customization memberikan kekuasaan kepada pelanggan untuk menentukan service yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Perusahaan sekadar menyediakan platform dan service dasarnya. Inilah service di level 3.

    Di level 4, service telah menjadi transformation. Fokus perusahaan bukan hanya memberikan kepuasan kepada pelanggan, tetapi juga memberikan dampak positif terhadap masyarakat serta stakeholder lainnya. Di dalam buku Marketing 3.0, saya sudah sempat menyinggung tentang konsep ini. Perusahaan tidak cukup lagi menawarkan manfaat fungsional dan emosional, tetapi juga harus bisa memberikan manfaat sosial.

    Pelayanan angkutan umum di Jakarta melalui JakLingko dan TransJakarta adalah contoh transformation. Pada tahun 2021, Jak Lingko dan TransJakarta berhasil meraih Sustainable Transportation Award terkait dengan transformasi lingkungan (serta sosial dan ekonomi)dari sebuah lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa.

    Pada tahun 2017, jumlah pengguna TransJakarta hanya sekitar 300.000 per hari. Selanjutnya di akhir tahun 2018 jumlah penumpang meningkat menjadi 500.000 per hari, setelah adanya peraturan pembatasan kendaraan pribadi pada jam dan rute tertentu serta dimulainya peremajaan armada kendaraan umum. Dengan bertambahnya armada transportasi umum yang dimodernisasi, yang kemudian berujung pada terbentuknya JakLingko, maka jumlah penumpang per hari pada tahun 2019 bisa mencapai 1.000.0000 orang. Di awal tahun 2020 layanannya mencakup 82% wilayah Jakarta.

    Dampak positif yang diberikan TransJakarta tidak hanya dirasakan oleh pengguna, tetapi juga mendorong Jakarta yang awalnya masuk dalam lima besar kota paling macet di dunia, kini turun ke posisi 30 di Tom Tom Traffic Index. Berkurangnya kemacetan lalu lintas dan kendaraan umum yang tidak layak pakai telah berdampak pada perbaikan kondisi lingkungan Jakarta.

    TransJakarta merupakan contoh yang menarik tentang transformasi sosial dan ekonomi melalui layanan publik. Lalu, bagaimana dengan bisnis kita sendiri? Di level mana kita berada saat ini? Apakah mungkin untuk mencapai level 4? Jawabannya tentu bisa menjadi renungan kita bersama.

    Leave a Comment

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    Scroll to Top