Toblerone dan Konsistensi Merek

ukms.or.id – Kasus Toblerone dan Konsistensi Merek , Brand appearance bukan melulu
artistik, namun harus bisa menunjukkan konsistensi. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari cara konsumen mengenali merek dengan elemen diferensiasi merek tersebut.


Merek coklat terkemuka dunia Toblerone sedang berada di persimpangan Setelah memutuskan memindahkan pabriknya dari Swiss ke Slovakia yang akan dilakukan akhir tahun ini, Toblerone diminta untuk tidak lagi menggunakan ikan gunung Matterhorn yang konik di kemasannya. Ounung yang berada di kota Zermatt yang mereka gunakan dalam kemasannya ini pun memang begitu unik karena bentuknya lancip dan simetris.

Sebegitu uniknya kon ini membuat banyak pihak khawatir akan dampak yang mungkin terjadi katika gunung ikonik ini dihilangkan dari semua materialnya.


Beberapa pengamat marketing dunia kut sumbang pendapat mengenal dampak yang akan diciptakan oleh dihilangkannya ikon ini. Setidaknya ada dua kubu sejauh ini, yang satu yang berpendapat bahwa hal ini akan berbahaya bagi Toblerone, mengingat bagaimana mereka sudah diasosiasikan dengan gunung ikonik ini.

Namun kelompok kadua juga tidak kalah karas berpendapat, maraka yakin perubahan ini tidak akan berdampak sama sekali pada bisnis Toblerone. Mereka berpendapat bahwa alasan mengapa orang membeli Toblerone bukanlah karena ada gambar Matterhorn dan maka dari itu tidak akan berbahaya sama sekali


Untuk membahas dampak dari hilangnya Matterhorn dari kemasan Toblerone, baiknya kita mengerti dulu bagaimana otak manusia bekerja, dan bagaimana konsumen memproses kemasan. Pengetahuan ini bukan sekadar bisa diaplikasikan pada kasus toblerone, tapi juga pada bagaimana kita mendesain kemasan dan logo kita sehari-harinya.


Selain seek pleasure dan avoid pain, otak manusia juga punya ketertarikan yang besar untuk menghemat tenaga. Setiap otak memproses sebuah informasi secara Intensif, dibutuhkan energi yang besar untuk memproses ini. Karena itu, cara untuk otak menghemat energi adalah dengan lebih banyak menggunakan mode autopilot atau yang sering disebut sebagai System 1 oleh Daniel Kahneman dalam bukunya Thinking Fast and Slow.


Mode autopilot ini bekerja dengan cara “mengotomatis tindakan dengan mengandalkan database atau ingatan yang sudah tersimpan. Otomatisasi di sini artinya mindless action atau berpikir tanpa banyak memproses secara sadar di otak. Dalam percakapan sehari-hari ini, kita sebut dengan “melakukannya di luar kepala. Ketika kita melakukan sesuatu di luar kepala, maka kita bisa melakukannya dengan cepat, dan hemat energi dan maka dari itu tujuan untuk menghemat energi tercapai Syarat untuk mode autopilot ini bisa dilakukan adalah ketika sudah adanya memori yang tersimpan terhadap hal itu. Memori di sini bukan hanya mamori otak, bahkan dalam banyak hal juga termasuk memori otot.

Misalnya, ketika kita belajar bahasa asing, maka di tahap awal kita tidak punya memori untuk berkata-kata dalam bahasa tersebut. Lalu kita mulai belajar tata bahasanya. Menariknya. bahkan ketika tata bahasa sudah dihafal, yang artinya kita sudah bisa dikatakan memiliki memori terhadap tata bahasa, belum tentu kita bisa berbicara dengan lancar dengan bahasa itu.

Karena berbicara dengan bahasa asing juga membutuhkan muscle memory pada lidah dan mulut kita. Bahkan ketika otak kita menyimpan memori tentang tata bahasa, tapi mulut kita tidak memiliki muscle memory, dan pada saat itu mode autopilot belum bisa dijalankan. Kita bisa berbicara dengan lancar “di luar kepala hanya koska muscle memory dari mulut kita sudah terbentuk.


Mode autopilot bekerja dengan cara memprediksi keseluruhan informasi dari hal-hal yang datang ke hadapan kita dengan potongan-potongan informasi yang sudah berhasil kita cara lebih dahulu. Dengan cara itu, kalimat di bawah yang salah penulisan dan tidak cocok dengan memori yang sudah disimpan di benak kita pun bisa dengan mudah kita cama Kinerja Dtak


Marketing adalah sebuah disiplin mu yang tidak bala dilepaskan dan disipin mu lain.” Sebegitu hebatnya otak kita sehingga dengan mudah bisa tetap mencema kalimat dengan banyak kesalahan tulisan di dalamnya, yaitu karena otak kita memprediksi tulisan tersebut dengan mempertimbangan probabatasmys pada database yang sudah tersimpan.

Otak melakukan prediksi-prediksi ini setiap sat bukan hanya pada saat membaca kalimat yang salah ketik, tapi juga apa pun. Misalnya, kita bisa mengendarai mobil tanpa bertabrakan karena kita juga membaca pergerakan mobil lain dan memprediksi ke mana arah mobil lain tersebut sehingga kita bisa menghindarinya.


Hal yang sama juga kita lakukan dalam proses yang berhubungan dengan merek Sebuah penelitian yang dilakukan oleh sebuah perusahaan bernama Signs, manemukan bahwa manusia walaupun punya memori tentang sebuah logo tapi ternyata akurasi dari logo di dalam benaknya tidak selalu sempurna. Ini terlihat pads bagaimana rendahnya akurasi logo ketika mereka diminta untuk menggambarnya secara ulang.


Hal ini terjadi karena memori secara sebagian atau keseluruhan seringkali diterima secara subliminal dan kemudian disimpan dalam otak juga dengan cara yang sama. Sehingga walaupun kita bisa mengingatnya namun ingatan tersebut hanya ingatan gans besarnya saja.

Sebab itu, katika diminta untuk menggambar secara presisi setiap detailnya, maka tidak semua orang bisa melakukannya dengan sempurna. Hal ini pula yang membuat kita bisa tetap mengenal karkatur wajah orang lan, bahkan ketika karikatur tersebut purs detail yang berbeda dengan photographic memory yang tersimpan. Ini terjadi karena tak tetap bisa memanggil kembali ingatan tentang informasi tersebut ketika memiliki kesamaan esensi dan garis besarnya, bahkan katika detailnya berbeda.


Bagaimana otak bekerja ini bisa berpengaruh kepada bagaimana kita harus menjaga konsistensi dari penampakan merek. Kabar baiknya, kecerdasan otak manusia yang tetap bisa mengenal sesuatu yang tidak persis sama tapi memiliki kesamaan asensi dan garis besar memberikan merek ruang untuk bermain- main dan terus mengembangkan tampilannya secara dinamis.

baca juga

    Namun hal ini dibatasi pada gambar besar yang disajikan. Apakah produk kita dikenali atau tidak bergantung bukan pada level detailnya, tapi pada level gambar besarnya. Dan, hal ini bisa berdampak besar pada penjualan. Mode autopilot jugalah yang seringkali digunakan konsumen untuk berbelanja di supermarket.


    Kita memilih banyak produk disupermarket “di luar kepala dengan memindai cepat dan berusaha mengenali kemasan produk yang kita cari dari bagaimana tampilan yang diproses secara cepat dan tidak sempurna itu bisa dikenali.

    Bayangkan berapa banyak waktu yang akan kita habiskan di supermarket ketika kita memilih produk di supermarket secara pot satu per satu dengan akurasi tinggi Otak pun tidak akan menyukainya karena bertentangan dengan prinsip menghemat energi yang selalu diprioritaskannya.


    Merek Tropicana merasakan bagaimana kajamnya mode autopilot konsumen ketika mereka mengubah kemasannya tanpa menyisakan benang merah atau gambar besar yang konsisten. Walaupun secara artistik kemasan baru terkesan lebih modern, namun karena gagal dikenali oleh mode autopilot yang berusaha memprediksi dengan memindai capat, maka penjualan Tropicana jatuh. Hal yang sama juga berlaku pada peremajaan logo.

    Setiap marak boleh saja meremajakan logo perusahaan, namun tetap dengan mempertahankan benang merah dan gambar besarnya. Beberapa contoh yang baik bisa kita temui dari transformasi logo-logo. Mereka mempertahankan kesan keseluruhan yang masih konsisten sehingga mode autopilot konsumen tetap bisa mengenali


    Bukan sebatas Artistik

    Berdasarkan penjelasan ini, maka Toblerone harus berhati-hati menghilangkan ikon Matterhom di kemasannya. Jika saya adalah brand director Toblerone, maka saya akan melakukan riset terlebih dahulu untuk melihat bagaimana kon Matterhom direkam oleh otak konsumen. Apakah sebagal detall pendukung saja, atau jangan-jangan ini menjadi komponen utama yang menjadi pembentuk benang merah dan gambar besarnya.


    Alasannya memori ini juga melibatkan otak bawah sadar maka metode yang harus digunakan adalah biometrik dengan menggunakan eye tracker dan juga implicit association test untuk menggali reaksi autopilot dengan lebih akurat.

    Jika Matterhom hanya sebagai detal pendukung, maka Toblerone bisa berlega hati menanggalkannya. Tapi, jika ternyata Matterhorn menjadi identitas utama untuk membentuk gambar besarnya, maka mereka harus melakukan segala cara untuk bisa membangun ulang gambar besar tersebut tanpa kehadiran Matterhom.

    Berbaga dukungan dari kampanye transformasi merek pun akan dibutuhkan agar hal yang sama yang terjadi pada Tropicana tidak terjadi pada mereka.

    Kesimpulannya, penampakan merak bukan melulu soal mana yang lebih artistik dan mana yang tidak, tapi juga mengenai konsistensi dan bagaimana ini bisa dikenali oleh mode autopilot konsumen yang bekerja dengan menangkap potongan awal informasi tentang penampakan mereknya dan membuat prediksi tentang keseluruhan penampakan mereknya.

    Dan, ini tidak terbatas hanya pada logo dan kemasan saja. Tapi juga apa pun yang akan ditangkap oleh otak konsumen pada setiap eksposur terhadap merek tersebut, termasuk tone & manner communication, overall mood, dan berbagai hal-hal subliminal lainnya.

    Penampakan merek bukan melulu soal mana yang lebih artistik dan mana yang tidak, tapi juga mengenai konsistensi dan bagaimana ini bisa dikenali oleh mode autopilot konsumen.

    Leave a Comment

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    Scroll to Top