Brand Storytelling

Brand Storytelling Metode bercerita menjadi senjata ampuh merek dalam menyampaikan pesan. Era digital saat ini menyuguhkan aneka teknologi sebagai enabler yang membuat brand story lebih imersif, viral, dan berdampak. 

Di era persaingan konten yang superkompetitif, merek harus bisa standout dan memiliki diferensiasi yang jelas. Selain itu, saat ini, sekadar hadir dan muncul ke publik saja tidaklah cukup bagi merek. Merek harus bisa membangun brand story yang kuat sekaligus berdampak. Apalagi time span atau rentang waku manusia untuk memperhatikan sesuatu hanya delapan detik. 

Secara sederhana, brand storytelling dimengerti sebagai upaya pemanfaatan cerita untuk menyampaikan pesan-pesan pemasaran dari sebuah merek. Ini merupakan sebuah seni menciptakan engagement dengan pelanggan melalui cerita yang menyentuh dalam rangka menyampaikan pesan, karakter, visi-misi, atau nilai-nilai merek tersebut. 

Metode bercerita ini cukup populer karena memiliki keunggulan dibanding dengan model komunikasi pemasaran lainnya. Cerita, misalnya, memiliki kemampuan untuk menggerakkan orang karena mampu menyentuh sisi emosionalnya. 

Robert McKee, dalam buku terlarisnya Story: Substance, Structure, Style, and the Principle of Screenweiting (Harper-Collins, 1997) mengatakan cerita mampu memenuhi kebutuhan manusia yang mendalam untuk memahami pola kehidupan. Tak hanya menyentuh sisi intelektual, tetapi dalam pengalaman yang sangat pribadi dan emosional.

Selain itu, seorang psikolog Jerome Bruner menemukan fakta bahwa manusia 22 kali lebih mampu mengingat pesan yang dikomunikasikan melalui cerita ketimbang dalam bentuk fakta-fakta atau angka-angka. Oleh karena itu, saat ini dalam dunia jurnalisme dan marketing, mengemas data dan angka menjadi signifikan – populer dikenal dengan jurnalisme data.

Proses pembuatan brand story tidak ada bedanya dengan proses membuat cerita. Di dalamnya selalu ada penokohan atau karakter, latar peristiwa atau setting, permasalahan atau konflik, dan penyelesaian atau resolusi. Elemen-elemen ini melekat erat dalam cerita. 

Pakem Bercerita

Boleh dibilang membuat brand storytelling itu gampang-gampang susah. Tidak segampang yang dibayangkan namun juga tidak sesusah yang dikhawatirkan. Oleh karena itu, agar tidak terjebak pada kesalahan, ada beberapa pakem yang sebaiknya diperhatikan oleh pemasar saat membuat brand story. Di edisi ini, kami sampaikan pula beberapa cerita 

Pertama,  cerita harus autentik dan orisinal. Cerita merek yang bagus dan kuat selalu berangkat dari sesuatu yang autentik yang menjadi ciri dan karakter merek tersebut. Di sini, elemen kejujuran disematkan. Artinya, pesan cerita bukan mengada-ada yang tidak bisa dipenuhi oleh merek. Selain itu, ceritanya tidak boleh menjiplak merek lain karena akan mengaburkan diferensiasi yang dimiliki. Cerita harus mencerminkan DNA merek tersebut. 

Kedua, menjadikan merek sebagai pahlawan atau hero dalam brand story. Salah kaprah yang sering dilakukan oleh pemasar adalah memosisikan pelanggan pihak atau objek yang ditolong dan merek mereka sebagai sang pahlawan. Dalam buku Building Story Brand (HaperCollins, 2017), Donald Miller mengingatkan bahwa dalam cerita, the customer is the hero, not your brand. 

Hero yang dimaksud adalah menjadikan konsumen sebagai tokoh utama atau protagonis. Dalam cerita, sang tokoh kemudian menemui kesulitan atau masalah yang diposisikan sebagai musuh. Dalam konflik dengan musuh – atau untuk mengalahkah musuh itu – sang tokoh membutuhkan senjata dan panduan. Di sini, posisi merek dalam cerita adalah pihak yang mempersenjatai. Dengan senjata itu, sang tokoh bisa mengalahkan musuh-musuhnya dan cerita berakhir dengan happy ending

Merek yang baik adalah merek yang ingin memberi solusi atas permasalahan konsumennya. Ada merek gula sehat, misalnya, menghadirkan produk pemanis yang menggantikan gula dan tidak membahayakan orang yang rentan sakit diabetes. Demikian juga merek minuman berenergi yang ingin menjawab persoalan konsumen yang mudah loyo saat bekerja dengan memberi tenaga ekstra melalui minuman tersebut. 

Ketiga, menunjukkan brand personality. Di sini, merek perlu memperjelas kepribadiannya selayaknya manusia di depan konsumen. Ketika merek memiliki sifat-sifat manusiawi, konsumen bisa mengenal merek tersebut dengan kepribadian tertentu, seperti suka menolong, ringan tangan membantu, mendengarkan, dan sebagainya. 

    Psikolog asal Swiss Carl Gustav Jung mendaftar pola dasar (archetype) kepribadian manusia yang bisa diadopsi oleh merek dalam membangun brand personality. Ada beberapa tipe, seperti caregiver, creator, sage, explorer, dan sebagainya. Tipe-tipe kepribadian ini bisa diangkat dalam brand story agar konsumen semakin mengenal merek lebih dalam. Grafik 1. 

    Keempat, menentukan brand purpose dan values. Di era di mana masyarakat dunia semakin sadar akan keberlanjutan, purpose dan values harus menjadi pertimbangan para pelaku bisnis. Melalui narasi, merek menunjukkan diri sebagai entitas yang memiliki komitmen pada pencapaian kehidupan yang lebih baik. Ia bisa terlibat gerakan sosial penyelamatan bumi maupun pelestarian lingkungan. Ia juga bisa terlibat dalam pemberdayaan perempuan, ekonomi lokal, dan sebagainya.

    Menurut riset Nielsen bertajuk Trust in Advertising Study 2021, konsumen saat ini lebih percaya cerita merek yang mengedepankan brand values atau apa yang diperjuangkan oleh merek untuk kehidupan yang lebih baik. Menurut Nielsen, konsumen akan lebih percaya pada merek yang mampu menunjukkan nilai-nilai merek yang kuat. Iklan produk tembakau menjadi iklan yang paling tidak dipercaya. Sementara, iklan makanan menjadi iklan yang paling dipercaya secara keseluruhan. Menurut Cathy Heeley, International Media Analytics Lead, Nielsen dalam siaran pers, menegaskan bila brand promise dan brand experience bersinergi dengan baik, maka angka penjualan akan meningkat singnifikan. Artinya, purpose, values, bisa dikonversi ke dalam penjualan. 

    Kelima, menjadikan data dan angka sebagai bahan storytelling. Saat ini sedang berkembang narasi data atau jurnalisme data. Di sini, data-data dikemas dan dijadikan bahan utama dalam narasi sehingga lebih menarik dan mudah dipahami audiens. Merek pun bisa melakukan storytelling with data. Data ini bisa berupa angka yang bisa dikemas dalam bentuk narasi atau infografik. Kontennya bisa berupa data pertumbuhan, trafik, jumlah outlet, jumlah pelanggan, pangsa pasar, dan sebagainya. 

    Tema Kekinian

    Pada edisi ini, redaksi juga menyajikan sepuluh tema brand storytelling yang bisa dipakai sebagai alternatif konten cerita. Tema-tema ini kami kumpulkan dari berbagai laporan riset media dan konten hiburan belakangan ini.

    Setidaknya ada sepuluh tema yang bisa diangkat. Tema pertama adalah lokalitas. Selaras dengan salah satu nilai berita, kedekatan atau proximity, konten lokal selalu diminati oleh segmen tertentu karena relevan dengan kehidupan mereka. Lalu, tema-tema komedi atau humor. Tema ini mau menegaskan bahwa marketing itu tidak melulu dibawakan secara serius, tetapi bisa dengan sentuhan jenaka. Ada pula tema David melawan Goliath yang mengusung cerita pihak kecil sukses melawan pihak besar. Konten how to atau live hack juga sangat diminati di era sekarang. Termasuk cerita personal, tema-tema yang menjual mimpi dan kebahagiaan, tema anti-mainstream, tema spiritual, dan kisah testimoni. 

    Teknologi Digital

    Di era digital, merek-merek dimanjakan dengan aneka teknologi, baik perangkat maupun platform, yang menjadikan konten brand story semakin canggih, imersif, engage, dan viral. Storyline yang bagus bisa dipadukan dengan teknologi multimedia yang membuat audiens bisa menikmati cerita secara lebih experiential dan pesan bisa tersampaikan dengan lebih baik.

    Sementara itu, platform media sosial bisa menjadikan cerita tersebut lebih gampang viral dan menjangkau lebih banyak audiens. Belum lagi teknologi metaverse yang bisa menciptakan brand story lebih canggih. Cerita merek yang imersif juga bisa diwujudkan dengan menggabungkan elemen fisik seperti teater, pentas musik, pantomim, dengan teknologi virtual. 

    Akhirnya, brand storytelling bisa diwujudkan dengan baik tergantung dari kreativitas para pemasar dalam menyusun rencana dan mengeksekusinya. Semoga edisi ini menginspirasi Anda dalam membuat kisah merek yang memikat sekaligus berdampak. Selamat membaca. 

    Image or Photo Marketeers Max

    Leave a Comment

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    Scroll to Top