BUSTING MYTHS OF THE WOMEN’S MARKET

ukms.or.id– BUSTING MYTHS OF WOMEN MARKET , Merek-merek harus memahami secara benar apa yang menjadi hasrat dan kegalauan perempuan. Tidak lagi terjebak pada mitos-mitos dan prasangka sosial lama yang keliru. Merek pun dituntut menunjukkan brand values mereka di mata konsumen.

Perempuan merupakan pasar potensial besar di dunia, khususnya di Indonesia. Mereka tidak hanya menjadi subjek sasaran, tetapi juga menjadi pendorong (driver) dari pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, meski kesetaraan gender sudah lama sekali digaungkan dan dibangun, prasangka dan stereotipe berbasis gender masih muncul hingga hari ini. Fenomena ini masih terjadi di ranah bisnis dan pemasaran. Oleh karena itu, pemasar perlu lebih dalam memahami apa yang menjadi hasrat dan kegalauan segmen perempuan di berbagai industri. Termasuk meluruskan pandangan- pandangan umum yang keliru seputar pelanggan perempuan ini.


Di tengah masih adanya prasangka atau stereotipe berbasis gender, segmen perempuan saat ini mengusung banyak potensi. Perempuan merupakan konsumen cerdas dan berpengaruh. Salah satu studi terkait dengan pengeluaran. perempuan menyumbang lebih dari US$ 31,8 triliun dalam pengeluaran secara global. Di negara maju seperti Amerika Serikat, perempuan memiliki daya kontrol pada lebih dari 85% pembelian di banyak kategori.


Salah satu mitos yang perlu dibongkar adalah bahwa berinvestasi pada perempuan itu merupakan upaya yang tidak akan membuahkan hasil Forum Ekonomi Dunia pada tahun 2017 menegaskan bahwa justru upaya menutup kesenjangan gender akan meningkatkan GDP global. Laporan McKinsey Global Institute mengatakan bahwa jika perempuan memainkan peranan yang identik dalam pasar tenaga kerja dengan peran laki- laki, sebanyak US$ 28 triliun atau 26% dapat ditambahkan ke GDP tahunan global pada tahun 2025


Memang tidak mudah menghilangkan stereotipe mengingat stereotipe ini merupakan buah konstruksi sosial yang sudah lama tertanam di benak masyarakat. Namun, patut disambut gembira upaya-upaya membongkar mitos dan persepsi keliru ini sudah cukup mengglobal dari tingkat yang paling kecil seperti keluarga, organisasi dan perusahaan, hingga tingkat negara.


Stereotipe di Ragam Industri


beberapa stereotipe dan mitos seputar segmen perempuan yang masih muncul di beberapa industri. Salah satu industri yang sangat kentara stereotipenya adalah otomotif. Saat ini, masih muncul asumsi bahwa otomotif merupakan dunia laki-laki. Sementara, fakta mengatakan bahwa perempuan memiliki daya beli kuat untuk mendapatkan kendaraan yang sesuai dengan preferensi mereka sendiri.


Sebuah survel yang dikutip dari Insider mengatakan bahwa perempuan memesan kendaraan pihak ketiga sebanyak 68,2%, sementara pria hanya 54,5%. Bahkan, gap ini sangat mencolok di antara konsumen yang lebih muda di mana 78,2% perempuan berusia 21-30 tahun meminta pemeriksaan kendaraan dari pihak ketiga, sementara hanya 42,3% laki-laki di usia yang sama melakukannya. Dan, jangan heran, perempuan ini lebih aktif mengajukan pertanyaan tentang sejarah kecelakaan mobil, performa keselamatan, dan fungsionalitasnya ketimbang pria.


Riset tersebut senada dengan hasil survei platform cjponyparts pada Desember 2022. Riset ini mengatakan laki-laki lebih mengedepankan image, sementara perempuan justru lebih berorientasi pada kegunaan ketika memilih sebuah kendaraan.


Terkait desain, perempuan juga tak mau kalah dengan desain kendaraan yang tampil maskulin. Yulian Karfili, PR & Digital Strategy Senior Manager PT Honda Prospect Motor
(HPM), mengatakan meskipun desain mobil tidak dirancang sesuai selera gender tertentu. justru banyak konsumen perempuan yang juga menyukai desain mobil yang lebih gagah dan terkesan kuat.

Hal yang sama juga terjadi di industri kecantikan. Berkat perkembangan kesadaran gender dan kepemilikan independen tubuh manusia, definisi kecantikan pun sudah lama bergeser, meski stereotipe-stereotipe lama masih sering muncul hingga hari ini. Pemasar harus menyadari bahwa telah terjadi redefinisi kecantikan.

Kecantikan tidak lagi disetir oleh logika lama pasar bahwa cantik itu kulit putih, rambut lurus, kulit lembut, dan sebagainya. Kecantikan, dalam perkembangan kesadaran manusia, didefinisikan dengan kautentikan. hak penuh kepemilikan tubuh perempuan oleh perempuan itu sendiri, kemerdekaan dalam mengekspresikan diri sendiri, kebebasan bergaya, dan sebagainya.

Nilai-nilai baru tersebut sudah diadopsi oleh beberapa merek dalam kampanye pemasaran mereka. L’Oréal Indonesia, misalnya, sepakat bahwa tidak ada satu tipe kecantikan untuk semua. Melanie Masriel, Chief Corporate Affairs, Engagement, & Sustainability Officer L’Oréal Indonesia mengatakan pergeseran makna kecantikan tersebut selaras dengan prinsip L’Oréal, yakni create beauty that moves the world. L’Oréal percaya bahwa kecantikan itu harus bertanggung jawab dan inklusif.


Hal sama dikampanyekan oleh Dove. Lewat kampanye Rambutku Mahkotaku, Dove ingin
mendobrak makna kencantikan dari gaya rambut tertentu. Dove mengkampanyekan kebebasan perempuan dengan rambut mereka, apa pun warna dan bentuknya. Putri Paramita, Beauty & Wellbeing Marketing Lead Unilever Indonesia mengatakan, Dove berkomitmen mendukung semua perempuan Indonesia untuk bebas berekspresi, termasuk dalam hal gaya rambut. Kampanye ini terbilang sukses karena berhasil menjawab hasrat dan kegalauan perempuan Indonesia.


Di industri game juga sama – sebuah dunia yang selama ini dipersepsi sebagai dunianya laki-laki. Saat ini, pemain e-sports perempuan semakin banyak jumlahnya. Bahkan, dalam kejuaran-kejuaran tingkat dunia, nama-nama perempuan turut mengisi jajaran juara dan pemain pro. Di Agate, perusahaan Indonesia yang mengembangkan game, peran perempuan dalam komunitas game semakin besar. Tidak sekadar sebagai pemain, tetapi juga pengembang game itu sendiri. Bahkan, di salah satu game besutannya, Memories, jumlah pemain perempuan jauh lebih banyak, sebesar 80%, ketimbang pemain laki-laki.


Perempuan dan Herstory
Sejarah hampir secara umum didominasi oleh kaum laki-laki. Oleh karena itu, klaim. ini sering dilekatkan dengan kata history yang dimengerti sebagai sejarah dan bukan herstory. Kenapa ini terjadi karena posisi-posisi kepemimpinan lebih banyak dipegang oleh laki-laki. Sebagai pemegang kekuasaan, mereka bisa menentukan story-nya sendiri. Kabar gembiranya, di dunia bisnis, banyak perempuan yang sudah menempati posisi-posisi CEO. Meski belum seimbang bila dibanding laki-laki , tetapi para pemimpin perempuan ini punya peranan besar dalam “mencerahkan industri


Di Indonesia, banyak perempuan Indonesia yang menjadi pemimpin perusahaan. Bahkan, perusahaan yang bergerak di sektor yang selama ini dipersepakan sebagai sektor laki-laki. O industri transportasi, misalnya, ada Noni Pumamo yang sekarang menjabat sebagai Presiden Komisaris PT Blue Bird Tbk la dikenal sebagai salah satu pembangun pla transformasi digitaldi raksa transportasi berlogo burung biru itu “Saya yakin bahwa setiap individu memiliki feminine side dan masculine side. Ini yang saya sadari dalam kepemimpinan saya,” kata Noni


Di Agate, ada Shiny Aprilia sebagai Chief Executive Officer (CED) pertama dari kalangan perempuan, Bukan tanpa alasan, pemilihan Shiny dilakukan lantaran kompetensiya terhadap pengembangan game sudah sangat balk.

Demikian juga di Unilever Indonesia, ada Ira Novarti sebagai Presiden Direktur dan d
Sintesa Group ada Shinta Widjaja Kamdani sebagai CEO. Kedus nama terakhir dikenal di tingkat global dan menjadi petinggi forum bisnis 820. Dengan makin banyaknya pemimpin bisnis perempuan, pasar pun semakin egalitar dan mengarah pada keberlanjutan.

Kenapa? Pada dasarnya, salah satu karakter perempuan adalah berpikir jangka panjang atau jauhka masa depan. Mereka memikirkan kehidupan yang lebih sustainable demi generasi masa depan.

Menegaskan Brand Values
Dari mitos mitos atau stereotipe berbasis gender tersebut, salah satu yang bisa dilakukan merek adalah mempertagas brand values mereka di mata konsumen Merek sebaiknya memosisikan diri sebagai bagian dari gerakan pencerahan, selain tentunya melakukan strategi yang benar-benar menjawab hasrat dan kegalauan konsumen perempuan


Laporan Nielsen pada tahun 2001 berjudul Trust in Advertising Study, menunjukkan bahwa masyarakat konsumen saat ini akan lebih percaya merek bila mereka menunjukkan nilai-nilai autentik yang kuat. Cathy Healey International Media Analytics Lead Nielsen menegaskan bahwa temuan tersebut menjadi refleksi bisnis yang menarik dalam situasi kehidupan saat ini. Menurutnya, orang-orang tertank pada upaya merek yang membawa manfaat bagi dunia, tidak sebatas menawarkan kegunaan dari sebuah produk


Narasi dari iklan telah berubah dan di seluruh dunia konsumen mencari tentang apa itu makna dari brand values, apa yang mereka perjuangkan dan bagaimana hal tersebut diterapkan,” kat Cathy
Dalam konteks pasar perempuan, merk merek setelah memahami hasrat dan kegalauan perempuan, bisa mengambil peran dalam gerakan pemberdayaan. Hal ini bisa diwujudkan dalam bentuk produk dan layanan yang dikomunikasikan dengan kampanye pemasaran yang lebih mengedepankan brand values. Bagaimana dengan merak Anda?

baca juga

    Berdaya di Sektor Maskulin

    Berdaya di Sektor Maskulin , Para perempuan di Indonesia tidak hanya peduli pada kecantikan. Mereka mampu bersaing dengan para pria. Sehingga banyak mitos dan stigma tentang perempuan yang terbantahkan , tidak sedikit orang Indonesia masih terbelenggu dengan Klasifikasi perempuan itu feminin dan laki-laki Identik dengan maskulinitas ,

    Sekat sekat tersebutlah yang membuat anggapan berkembang bahwa perempuan Indonesia merupakan pasar yang terbatas untuk bisnis. Seolah-olah perempuan hanya tertarik dengan urusan domestik, kecantikan, fesyen, dan perawatan tanpa melirik fungsi bidang lainnya. Padahal, jika ditah lebih jauh lagi semua hal tersebut hanyalah mitos


    Mitos bahwa perempuan di Indonesia bukanlah pasar yang berharga bagi bisnis berakar pada stereotip budaya dan peran gender tradisional Secara historis, perempuan di Indonesia diharapkan untuk memprioritaskan peran mereka sebagai tri dan ibu daripada karier atau kepentingan pribadi mereka. Hal ini menyebabkan persepsi bahwa perempuan bukanlah konsumen yang aktif dan tidak memiliki daya bel yang signifikan


    Namun, belum banyak orang indonesia menyadari bahwa perlahan-lahan persepsi ini berubah dalam beberapa dekade terakhir. Saat ini, perempuan di Indonesia semakin terdidik mandiri secara finansial, dan terlibat secara polsk.

    Mereka juga semakin tertarik dengan berbagai macam produk dan layanan yang tergolong maskulin yang merupakan pasar atau ranah laki-laki, seperti teknologi, olahraga, game, sampai sains.

    Artikel ini akan mengupas beberapa mitos yang paling umum tantang pasar perempuan dan mengeksplorasi realitas di baliknya.


    Mitos #1: Perempuan Gagap Digital dan Buta Produk Teknologi

    Nilai dari sebagian besar barang dan jasa teknologi Informasi dan komunika (TIK) yang cenderung lebih maskulin merupakan salah satu penyebab kesenjangan digital yang terkait gender.

    Padahal, kenyataannya di lapangan, banyak leader leader di departemen teknologi khususnya di perusahaan-perusahaan besar memiliki ahli teknologi perempuan.


    Perusahaan ridehating raksasa Indonesia. Gojek, merah UN Women 2021 Asia-Pacific Women Empowerment Principles (WEPs) Perusahaan ini terpilih karena berhas menunjukkan kerangka akuntabilitas dan mengimplementasikan aspek keberagaman (diversity), kesetaraan (equity), dan inklusivitas Inclusion) atau DEI. Adapun menurut data terakhir, 31% pemimpin Gojek marupakan
    perempuan.


    Lalu di Asensum, sebagai perusahaan yang bergerak di bidang Al & performance marketing, memiliki tim performance marketing yang sekitar 70%-nya merupakan perempuan perempuan hebat di bidangnya. Mereka mengisi posisi stal hingga manajer. Kemampuan mereka juga tidak perlu diragukan. Sebagai performance marketer, tentu sudah melewat berbagai sertifikasi teknologi dari Meta, TikTok Twitter, dan platform digital lainnya.


    Semakin banyak perempuan yang berdaya di dunia teknologi, membuktikan perempuan sesungguhnya memiliki kapabilitas untuk mengerti seluk-beluk produk teknologi. Hal ini diperkuat oleh data survel konsumen elektronik yang menunjukkan sekitar 61% pembelan barang elektronik konsumen, diprakarsai atau melibatkan perempuan dalam proses keputusan pembelian.

    baca juga


      Mitos #2: Perempuan Hanya Tertarik dengan Produk Fesyen dan Kecantikan


      Salah satu mitos yang paling bertahan lama tentang pasar perempuan adalah para
      perempuan hanya tertarik pada produk fesyen dan kecantikan Stereotip ini sering
      kal diperkuat dalam klan yang sering kali menggambarkan perempuan terobsesi dengan penampilan mereka dan terus berjuang untuk kesempumaan


      Namun kenyataannya, perempuan juga tartarik pada berbagai macam produk dan layanan, sama seperti pria. Sehingga perempuan merupakan bagian dari pasar yang signifikan untuk produk-produk yang secara tradisional “ditujukan untuk pria, seperti teknologi, otomotif dan peralatan olahraga Menurut sebuah studi dan Fona, 50% produk yang biasanya dipasarkan untuk pria dibel oleh perempuan.

      Studi dari Boston Consulting Group juga menemukan bahwa perempuan di Indonesia menguasai sekitar 40% pendapatan rumah tangga di Indonesia dan daya beli mereka diperkirakan akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang.


      Mitos #3: Perempuan Indonesia Tidak Paham Game dan Olahraga


      E-sports tak hanya sebatas olahraga video game yang dikhususkan untuk pria saja. Perempuan yang memiliki kemampuan dan jiwa kompetitif juga mampu menjadi atlet e-sports Saat ini, pasar gamer perempuan di dunia semakin berkembang, termasuk Indonesia Beberapa nama seperti Alice, Mute, Babyla, dan lainnya merupakan orang-orang yang kompon di bidang e-sports


      Adapun atlet olahraga lain seperti rene di bidang catur, Siti Aminah sebagai pelatih perempuan pertama di liga basket profesional putra, Indonesian Basketball League (BL), dan dibentuknya tim sepak bola putri menunjukkan bahwa di era sekarang perempuan semakin dekat dengan dunis olahraga. Artinya, pasar perempuan di bidang olahraga juga semakin besar segmentasiny


      Mitos #4: Perempuan Hanya Menanggapi Iklan yang Feminin


      Mitos umum lainnya tentang perempuan dalam pemasaran, yakni hanya menanggapi pesan yang berwarna merah muda, lembut, dan terlalu feminin. Stereotip ini sering kali diperkuat dengan penggunaan takak pemasaran yang berbasis gender, seperti menggunakan kemasan berwarna merah muda atau menambahkan desain bunga pada produk


      Namun, penelitian menunjukkan bahwa perempuan tidak tertarik dengan pemasaran yang terlalu bias gender dan lebih memilih pesan yang autentik, relevan, dan inklusif. Pada studi Kantar menemukan bahwa iklan yang menampilkan penggambaran positif tentang perempuan dan menghindari stereotip gender lebih efektif dalam mendorong keuk terhadap merak dan niat membeli daripada iklan yang mengandalkan pesan gender.


      Beberapa iklan yang dijalankan sem juga tidak selalu berkonsep girly. Mengusung konsep yang sporty dan basic justru ramai disukai olah passar perempuan


      Hadiya pasar perempuan yang semakin rasional dan inklusif ini, merupakan sinyal bagi perusahaan untuk tidak mengabaikan pasar perempuan yang berpotensi tumbuh di sektor yang sering dianggap maskulin. Sesungguhnya, kengganan dalam menantang peran gender tradisional bisa menimbulkan konsekuens serius bagi bisn


      Penting bagi perusahaan untuk mengaku pentingnya pasar dan daya beli perempuan di Indonesia tanpa mengkotak-kotakkan area feminin atau maskulin. Perusahaan harus objektif dalam memahami kebutuhan dan preferensi spesifik perempuan di Indonesia Untuk itu, harus melakukan riset pasar atau kumpulkan data tentang kebiasaan belanja


      perempuan di berbagai wilayahdi Indonesia Untuk mendukung reset ini, Asensum menggunakan artificial intelligence (AD) tool yakni Luckyaku Lab yang dikembangkan oleh Asensum sendin


      Dengan memahami apa yang dinginkan dan dibutuhkan oleh perempuan di indonesia, perusahaan dapat menyesuaikan produk dan layanan untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan tepat. Jika ingin tahu lebih mengenai LuckyLaku Lab, bisa kunjungi asensum.com.



      Saat ini, perempuan di Indonesia semakin terdidik, mandiri secara finansial, dan terlibat secara politik. Mereka juga semakin tertarik dengan berbagai macam produk dan layanan yang tergolong maskulin yang merupakan pasar atau ranah laki-laki, seperti teknologi, olahraga, game, sampai sains.

      Leave a Comment

      Your email address will not be published. Required fields are marked *

      Scroll to Top