Community Marketing
Pemasaran berbasis komunitas menjadi cara ampuh merek dalam menyampaikan pesan-pesan pemasaran kepada konsumennya. Di era sekarang, pemasaran ini tidak lagi bergaya top down, tetapi horizontal. Merek yang berperan mengembangkan kehidupan anggota komunitaslah yang akan sukses dengan strategi pemasaran ini.
Saat ini, pendekatan komunitas mulai kembali marak dilakukan oleh banyak merek, baik komunitas secara fisik maupun daring. Pemasaran berbasis komunitas atau community marketing ini memang bukan strategi baru. Namun, di masa sekarang, pendekatan ini mengusung sisi penyegaran atau kebaruan yang ditandai dengan tren kehidupan phygital (fisik dan digital) dari masyarakat konsumen. Dengan tren tersebut, pemasaran berbasis komunitas ini dilakukan secara omni.
Mengapa community marketing masih ampuh hingga hari ini? Karena advokasi lebih mudah terjadi di dalam komunitas konsumen. Hal ini tidak lepas dari customer path yang muncul sejak kehadiran internet dan media sosial, yakni 5A – Aware, Appeal, Ask, Act, dan Advocate. Dari tahap perjalanan baru konsumen ini, advokasi atau rekomendasi menjadi tingkat paling tinggi apresiasi konsumen kepada merek. Bukan lagi repeat buying seperti di customer path lama. Dan, komunitas menjadi tempat di mana advokasi muncul sangat kuat mengingat sebelum melakukan pembelian, biasanya konsumen akan meminta pendapat, ulasan, hingga persetujuan dari komunitasnya.
Bukan Segmentasi Tradisional
Seturut konsep pemasaran baru, strategi community marketing atau populer juga dengan sebutan komunitisasi ini telah menggeser pemahaman lama dari segmentasi. Sebelum era internet, segmentasi merupakan upaya top down perusahaan membagi-bagi konsumen dalam segmen-segmen berdasar geografi, demografi, dan sebagainya. Komunikasi ke konsumen dalam segmentasi bersifat vertikal dan satu arah. Sementara, komunitisasi lebih bersifat horizontal baik dari sisi pendekatan maupun komunikasinya. Merek bisa melebur dalam komunitas itu dengan posisi sejajar antaranggota dan terlibat dalam percakapan (conversation). Lalu, segmentasi cenderung high budget high impact karena harus melakukan riset pasar atau membeli laporan lebih dulu. Sedangkan komunitisasi mengusung low budget high impact marketing karena tinggal tap-in asal dengan cara yang benar.
Seperti tertuang dalam Grafik 1, segmentasi melihat konsumen sebagai individu, sedangkan komunitisasi melihatnya sebagai mahkluk sosial. Segmentasi tradisional telah bergeser ke komunitisasi yang tak lain merupakan upaya memandang konsumen sebagai komunitas yang anggotanya peduli sama lain, memiliki tujuan bersama (purpose), saling berbagi nilai (values), dan identitas bersama (identity).
Terkait tujuan, segmentasi dan komunitisasi cukup berbeda. Segmentasi tradisional bertujuan memetakan konsumen ke dalam grup-grup berdasarkan pada kemiripan karakter di mana masing-masing grup menjadi target penawaran. Dalam komunitisasi, tujuan perusahaan tak lain adalah berkolaborasi dengan anggota komunitas yang memiliki tujuan dan nilai yang sama dengan perusahaan. Indikatornya tidak sebatas homogenitas di antara pelanggan, melainkan interaksi antara komunitas dengan perusahaan.
Di era digital sekarang ini, komunitas bisa dibangun dan dipelihara secara online dan offline. Menurut buku Marketing 2030, Menuju SDGs, Gen Z, dan Metaverse (Erlangga, 2022) yang ditulis oleh Hermawan Kartajaya, komunitisasi ini bisa dipelihara dengan beberapa cara, yakni mendengarkan apa saja yang dibicarakan dalam komunitas (listening), membangun percakapan dengan mereka (talking), membantu anggota komunitas (helping), serta memberdayakan mereka (energizing) dan merangkulnya (embracing).
Jenis-jenis Komunitas
Menurut Fournier, komunitas di bagi menjadi tiga jenis, yakni pools, hubs, dan webs (Grafik 2). Pools merupakan jenis komunitas paling organik dan natural. Mereka berkumpul membentuk komunitas karena kesamaan nilai, minat, hobi, aktivitas, hingga pilihan produk atau merek. Relasi antaranggota di komunitas ini lemah dan cenderung sporadis. Tak punya relasi kuat antara anggota. Contohnya, komunitas Vespa, iPhone, Kindle, Samsung, pecinta drama korea (drakor), komnitas sepeda atau gowes, dan sebagainya.
Hubs merupakan jenis komunitas yang terbentuk lantaran kekaguman anggota komunitas pada individu atau kelompok tertentu. Misalnya, pada artis, penulis, grup musik atau klub olahraga tertentu. Kelemahan jenis komunitas ini terletak pada ketergantungan pada sosok atau klub perekat itu. Artinya, bila ikon pujaan itu meredup popularitasnya, meredup pula ikatan antaranggota atau bahkan bisa bubar. Contoh, komunitas Oprah Winfrey, Slankers, pencinta NOAH, Manchester United Fans Club, dan sebagainya. Di komunitas jenis ini, perusahaan ditantang mampu menjaga komunitas tetap kuat dengan cara menjaga pamor ikon-ikon komunitas tersebut.
Webs merupakan bentuk komunitas paling kuat dan stabil. Relasi antaranggota sangat kuat karena satu sama lain saling kenal dan mendukung. Biasanya komunitas ini didukung platform yang memungkinkan komunikasi berjalan intensif, seperti Facebook, WhatsApp, Telegram, dan sebagainya. Contoh, komunitas penderita kanker, esports, komunitas sosial, dan sebagainya. Di sini, biasanya anggota komunitas bergabung secara suka rela dengan misi sosial tertentu dan berkontribusi secara nyata pada komunitasnya. Mereka tidak hanya saling berinteraksi secara online tetapi biasanya memiliki agenda ketemuan secara offline, termasuk menggelar aktivasi fisik.
Secara teknis terbentuknya, komunitas secara umum terbagi dua, yakni komunitas independen atau dibentuk oleh masyarakat konsumen (customer-run communities) dan komunitas yang sengaja dibentuk oleh perusahaan atau merek (company-run communities). Edisi yang sedang Anda baca ini mengangkat kedua jenis komunitas berdasarkan cara terbentuknya tersebut.
Segudang Manfaat
Pemasaran dengan pendekatan komunitas ini mengusung beberapa manfaat bagi merek. Pertama, cost efficiency alias low budget high impact. Merek tidak perlu susah payah merogoh bujet dalam-dalam untuk melakukan segmentasi dengan segala riset pasar yang mahal, serta menguras tenaga dan waktu. Kedua, lebih mudah mendapatkan advokasi. Merek bisa dengan mudah mendapatkan advokasi dari anggota komunitas yang memberikan testimoni positif. Ketiga, testimoni positif atau rekomendasi gampang menyebar di antara anggota komunitas tersebut.
Keempat, merek bila sudah diterima di komunitas tersebut akan dengan mudah melakukan engagement melalui percakapan. Kelima, menumbuhkan sense of belonging komunitas pada merek atau brand community. Keenam, dari rasa memiliki itu, tumbuh brand loyalty di mana anggota komunitas memiliki relasi emosional dengan merek. Ketujuh, merek memiliki ‘pasukan pembela’ bila merek mendapat serangan black campaign dari pihak lain seperti kompetitor. Kedelapan, komunitas bisa dikonversi menjadi media untuk mendatangkan leads penjualan atau affiliate marketing.
Yang perlu diperhatikan oleh merek adalah tidak otomatis merek dengan leluasa masuk ke sebuah komunitas. Perusahaan harus mengindentifikasi bentuk-bentuk pemodelan komunitas untuk menciptakan afilisasi (pools, hubs, atau webs) dan karakteristik khusus merejka (purpose, value, dan identity). Untuk bisa masuk ke komunitas, perusahaan atau merek perlu melakukan konfirmasi.
Di edisi ini, Marketeers akan mengulas community marketing dari berbagai industri, seperti otomotif, olah raga dan esport, komunitas perempuan khususnya ibu rumah tangga, komunitas pelajar, budaya populer, hingga komunitas kreator konten dalam affiliate marketing. Masing-masing industri memiliki pendekatan yang sedikit berbeda mengingat karakter kominitas yang berbeda pula. Selain itu, kami tidak hanya mengangkat dari prespektif merek saja, melainkan juga prespektif komunitas pada merek-merek yang ingin berafiliasi dengan mereka.