Dama Kara Tak Melulu Mengejar Untung
Membangun bisnis yang berorientasi kepada profit memang menjadi pakem dari banyak usaha. Namun, merek kini tak cuma dituntut profit, tapi juga membangun bisnis yang bermakna bagi banyak orang.
Berbisnis seyogyanya mencari keuntungan. Tidak ada yang salah dari tujuan tersebut dalam membangun usaha. Namun, bisnis sejatinya memiliki makna lebih baik untuk pelaku dan orang-orang di sekitarnya.
Inilah yang diyakini oleh pasangan suami-istri Nurdini Prihastiti dan Bheben Oscar. Nurdini, yang akrab disapa Dini, merupakan lulusan S1 Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dan S2 Administrasi Bisnis dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada awal tahun 2020, di tengah pandemi COVID-19, Dini bersama suaminya merintis Dama Kara.
Keputusan ini diambil setelah mengalami kerugian besar dari bisnis konveksi sebelumnya, di mana barang-barang yang mereka kirim terbakar di laut. Pengalaman tersebut menjadi momentum bagi Dini dan suami untuk memikirkan bisnis yang bukan hanya menguntungkan tetapi juga membawa manfaat bagi orang banyak. Candanya, musibah tersebut karena ia kurang beramal.
“Setelah mengalami musibah itu, kami merasa perlu membangun bisnis dengan niat yang lebih bermakna. Kami ingin menciptakan lapangan kerja dan mendukung komunitas yang membutuhkan, termasuk penyandang disabilitas,” ungkap Dini.
Dama Kara merupakan merek fesyen yang mengangkat teknik tradisional pada setiap koleksi sandang seperti batik, ikat, jumput, bordir dan jahit jelujur untuk terus melestarikan budaya Indonesia dengan merangkul para pengrajin dan penjahit rumahan. Merek ini menghadirkan karya sandang dengan motif yang unik, sederhana, namun sarat makna dengan menggunakan warna-warna khas.
Dini dan Bheben memiliki visi yang unik dalam menciptakan desain batik yang bisa dikenakan sehari-hari. Mereka ingin mengubah stigma bahwa batik hanya untuk acara formal atau kondangan. Dengan menyajikan motif simpel namun sarat makna, Dama Kara berharap batik bisa diterima untuk berbagai kegiatan. Misalnya, jalan-jalan, nongkrong, atau mengantar anak ke sekolah.
“Batik bisa dipakai kapan pun, di mana pun. Kami bercerita tentang makna hidup dan semangat mencintai diri sendiri melalui motif yang kami rancang,” jelas Dini.
Untuk menjaga agar harga tetap terjangkau dan terdistribusi dengan baik, Dama Kara mengelola seluruh rangkaian produksi sendiri, mulai dari desain hingga penjualan. Mereka menggunakan teknik batik cap, yang memungkinkan produksi massal tanpa mengurangi estetika motif khas Dama Kara. Produk yang dibuat beragam mulai dari busana perempuan, laki-laki, anak-anak, dan aksesori dengan harga mulai Rp 20.000 hingga Rp 605.000.
Mengedepankan nilai inklusivitas, Dama Kara bekerja sama dengan beberapa organisasi sosial yang berfokus pada komunitas disabilitas, termasuk Our Dreams Indonesia dan Art Therapy Center Widyatama.
Melalui Our Dreams Indonesia, Dama Kara membuka kelas menggambar untuk anak-anak dengan autisme. Gambar-gambar hasil karya mereka diangkat menjadi motif batik dalam koleksi Dama Kara. Tak hanya itu, anak-anak tersebut mendapatkan royalti dari hasil penjualan produk yang menggunakan gambar mereka, memberikan manfaat berkelanjutan bagi keluarga mereka.
Selain itu, Dama Kara juga menjalin kemitraan dengan Art Therapy Center Widyatama dengan memfasilitasi program magang bagi penyandang disabilitas. Program ini diharapkan dapat mengasah keterampilan mereka, sehingga nantinya bisa lebih mandiri. Melalui Dama Kara Foundation yang baru dibentuk, Dini juga berharap bisa lebih banyak merangkul teman-teman berkebutuhan khusus. Dama Kara Foundation menyediakan ruang terapi gambar khusus bagi anak-anak autis. Hasil karya mereka diwujudkan menjadi koleksi batik, seperti Jalin dan Rona Bian, yang memiliki makna mendalam.
Dama Kara tidak hanya peduli dengan komunitas disabilitas, tetapi juga dengan lingkungan. Sebagai bentuk tanggung jawab, mereka memanfaatkan kain sisa produksi untuk menciptakan produk fashion lain, seperti sepatu, sandal, dan aksesori. Potongan kain ini dikolaborasikan dengan merek lokal lainnya dan kampus-kampus dengan jurusan desain fesyen menghasilkan produk dengan nilai yang lebih tinggi. Salah satu koleksi yang dihasilkan dari kolaborasi ini adalah Bhumi Karuna, sepatu yang dibuat dengan bahan kain sisa batik dari Dama Kara.
Dama Kara terus berupaya mengurangi limbah dan memanfaatkan bahan baku secara bertanggung jawab, sejalan dengan tren sustainability dalam industri fashion. Hal ini juga menjadi daya tarik bagi konsumen yang semakin sadar akan pentingnya membeli produk yang ramah lingkungan.
Berdiri di tengah pandemi, Dama Kara tak asing dengan manis pahitnya bisnis. Baru lahir sudah terpaksa beradaptasi dengan situasi sulit. Menjual batik secara daring menjadi tantangan tersendiri, terutama ketika permintaan konsumen meningkat signifikan. Dalam waktu singkat, pesanan bisa mencapai ratusan hingga ribuan dalam satu waktu. Namun, penjualan online justru menjadi kekuatan bagi Dama Kara. Pada tahun kedua, mereka mencatat kenaikan penjualan sebesar 220% dibandingkan tahun pertama.
“Awalnya sulit, kami harus kelola satu per satu pakai media sosial dan WhatsApp. Awal-awal memang kewalahan, karena harus membalas pesan satu per satu. Tapi, seiring waktu, kami belajar untuk lebih terorganisir,” cerita Dini.
Sebagai bisnis yang mengandalkan motif batik eksklusif, Dama Kara tak lepas dari isu plagiarisme. Beberapa motif karya mereka kerap ditiru oleh pihak lain tanpa izin. Menghadapi tantangan ini, Dama Kara berupaya mendaftarkan motif batik mereka sebagai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan terus meningkatkan kesadaran masyarakat akan keunikan desain mereka. Dengan adanya perlindungan HKI, mereka berharap dapat menjaga keaslian dan nilai dari setiap karya yang dihasilkan.
Seiring berkembangnya bisnis, Dama Kara berhasil menembus panggung internasional. Mereka sempat berpartisipasi di Jakarta Modest Fashion Week (JMFW) dan IN2MF Goes to Paris, membawa batik ke tingkat global. Pada Agustus 2024, Dama Kara tampil di panggung fashion COEX, Korea Selatan, dalam kolaborasi dengan seorang desainer tuna rungu bernama Salma. Kolaborasi ini turut didukung oleh Kementerian Perdagangan Indonesia sebagai upaya mempromosikan budaya lokal di kancah internasional.
Koleksi yang dibawa Dama Kara ke Korea Selatan berhasil menarik minat warga setempat, terutama karena motif-motif simpel dan elemen handmade yang melekat pada produk mereka. Berkat respons positif, Dama Kara mendapatkan pesanan dalam jumlah besar dari Korea Selatan, setelah sebelumnya hanya mengekspor beberapa potong pakaian ke negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Australia.
Merek yang punya toko fisik di Jl. Gandapura No. 40 Bandung dan Jl. Cihapit No. 33 Bandung, berharap untuk terus berkembang dengan mempertahankan konsep inklusivitas, pemberdayaan, dan kelestarian lingkungan. Selain memajukan produk lokal, melalui Dama Kara Foundation, Dini dan Bheben berharap dapat terus memberikan dampak positif dan menjadi inspirasi bagi bisnis-bisnis lain. Mereka meyakini bahwa bisnis yang baik adalah bisnis yang membawa manfaat tidak hanya bagi pemiliknya, tetapi juga bagi lingkungan dan masyarakat.
Dama Kara telah menjadi contoh bagaimana sebuah usaha batik lokal bisa berkembang dengan inovasi, sentuhan sosial, dan kesadaran lingkungan. Dengan berbagai pencapaian yang diraih sejauh ini, Dama Kara bertekad untuk terus berkarya dan memberikan inspirasi bagi masyarakat Indonesia serta memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia ke seluruh dunia.