Insentif Pajak Penghasilan untuk UMKM

Insentif Pajak Penghasilan untuk UMKM

ukms.or.id – Pemerintah Bantah Rencana Penurunan Batas Insentif Pajak Penghasilan untuk UMKM

Jakarta. Pemerintah membantah laporan media pada hari Kamis bahwa mereka berencana untuk memotong ambang batas pajak penghasilan final untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia.

Pemerintah baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka akan memperpanjang insentif pajak penghasilan final 0,5% hingga 2025. Insentif ini seharusnya berakhir pada tahun 2024.

Namun, kantor-kantor berita lokal melaporkan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan untuk menurunkan ambang batas untuk UMKM yang memenuhi syarat untuk mendapatkan pajak penghasilan final 0,5% meskipun ada perpanjangan.

Laporan-laporan menyatakan bahwa pemerintah akan menurunkan batasan dari Rp 4,8 miliar ($293.898) menjadi Rp 3,6 miliar. Dengan kata lain, hanya UMKM yang memiliki omzet tidak lebih dari Rp 3,6 miliar yang bisa mendapatkan tarif PPh final 0,5%.

“Tidak ada rencana untuk menurunkan ambang batas. Pemerintah saat ini sedang fokus untuk memberikan berbagai macam stimulus, termasuk yang didedikasikan untuk UMKM. Jadi kami sedang mengerjakan perubahan-perubahan pada peraturan-peraturan yang ada sehubungan dengan hal itu,” Febrio Kacaribu, seorang pejabat senior di Kementerian Keuangan, dikutip dalam sebuah pernyataan pers.

Susiwijono, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, juga membuat pernyataan serupa.

“Pemerintah benar-benar fokus untuk menyediakan berbagai macam paket stimulus ekonomi, terutama untuk UMKM kita. Kami juga akan menindaklanjuti paket-paket ini dengan merevisi peraturan pemerintah atau peraturan menteri yang ada. … Paket yang baru saja diumumkan hanya berfokus pada perpanjangan insentif pajak penghasilan final 0,5%. Tidak ada perubahan lain,” katanya.

Pemerintah juga membebaskan UMKM yang beromzet kurang dari Rp 500 juta per tahun dari kewajiban membayar pajak penghasilan.

Insentif Pajak Penghasilan untuk UMKM

Cukai minuman manis Indonesia diperkirakan akan menghasilkan pendapatan pajak sebesar $385 juta


Jakarta. Indonesia berencana untuk memberlakukan cukai pada minuman yang mengandung etil alkohol (MBDK), yang diproyeksikan akan menghasilkan pendapatan sebesar Rp 6,25 triliun ($ 385,24 juta), menurut Telisa Aulia Falianty, seorang Tax Consultant Jakarta dari Universitas Indonesia.

Pajak ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2024, yang mengimplementasikan UU No. 17/2023 tentang Kesehatan.

Telisa mengatakan berbagai usulan telah dibuat untuk tarif cukai. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan tarif cukai sebesar 2,5 persen. Sementara itu, pemerintah mengusulkan tarif tetap: Rp 1.500 per liter untuk minuman manis dalam kemasan seperti minuman ringan, teh dalam kemasan, dan minuman berenergi, dan Rp 2.500 per liter untuk konsentrat atau ekstrak, seperti sirup.

Telisa menyoroti pentingnya pajak ini bagi kesehatan masyarakat, terutama dalam mengatasi prevalensi diabetes yang terus meningkat, yang menimbulkan beban kesehatan dan ekonomi yang signifikan bagi negara.

“Diabetes semakin banyak menyerang populasi yang lebih muda, sehingga menjadi ancaman serius bagi masa depan bangsa,” ujarnya.

Pemerintah belum mengumumkan kapan pajak ini akan diberlakukan. Gabungan Tax Consultant Indonesia mendesak kejelasan mengenai jadwal pemberlakuan pajak ini agar upaya-upaya kesehatan masyarakat dan produsen minuman memiliki waktu persiapan yang memadai.

“Pabrik-pabrik perlu waktu untuk menyesuaikan proses produksi mereka,” jelasnya.

Telisa juga menyarankan agar pajak tersebut tidak diterapkan pada awal tahun 2025, mengingat rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari. Ia mengusulkan penerapan cukai pada tahun 2026 untuk memastikan transisi yang lebih lancar dan persiapan yang cukup.

baca juga

Perluasan PPN di Indonesia Menyasar Barang Premium, Kritikus Peringatkan Ketegangan Ekonomi

Jakarta. Rencana Pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai Januari 2025 akan berlaku untuk hampir semua barang kena pajak, dengan daftar yang diperluas yang sekarang mencakup barang-barang yang sebelumnya bebas PPN. Menurut Muhammad Andri Perdana, Direktur Riset Bright Institute, peraturan baru ini menambah jumlah barang yang terkena pajak, bukannya mengurangi.

Andri menjelaskan bahwa barang-barang kebutuhan pokok, seperti beras dan transportasi umum, dibebaskan dari PPN berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 2022. Namun, kebijakan baru ini mengklasifikasikan beberapa barang yang sebelumnya tidak dikenai pajak, seperti beras premium, ikan salmon impor, kamar rumah sakit VIP, dan layanan pendidikan swasta tingkat tinggi, sebagai barang yang dikenai pajak dengan tarif 12 persen.

Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 2022 membagi barang tidak kena pajak menjadi dua kategori: barang kena pajak (BKP) tertentu yang dibebaskan dari PPN dan barang yang tidak dikenai PPN atau PPnBM. Contoh BKP yang dibebaskan dari PPN antara lain vaksin polio dan COVID-19, buku pelajaran, kitab suci, dan jasa konstruksi tempat ibadah. Sementara itu, BKP yang tidak dikenai PPN adalah barang kebutuhan pokok seperti sembako (tidak termasuk minyak goreng), hasil laut, hewan ternak, mesin industri, dan listrik di bawah 6.600 VA. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan pada hari Senin bahwa kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayuran, dan susu akan tetap dibebaskan dari PPN.

“Barang-barang ini telah dibebaskan dari PPN selama bertahun-tahun, sejak Peraturan Pemerintah No. 146 tahun 2000,” kata Andri.

Namun, revisi kebijakan pemerintah mengklasifikasikan kembali barang dan jasa premium tertentu yang sebelumnya berstatus tidak kena pajak. Barang dan jasa tersebut antara lain beras premium, ikan salmon, listrik berkapasitas tinggi di atas 3.500 VA, kamar rumah sakit VIP, dan layanan pendidikan swasta. Di bawah aturan baru, barang-barang ini sekarang akan dikenakan pajak sebesar 12 persen, sementara hanya kategori non-premium yang tetap bebas PPN.

Andri mengkritik framing kenaikan PPN yang dilakukan oleh pemerintah yang menyasar barang-barang mewah, dengan alasan bahwa hal tersebut membebani barang-barang yang sudah lama bebas pajak.

Perluasan cakupan PPN menimbulkan kekhawatiran di kalangan analis, yang memperingatkan bahwa hal ini dapat membebani anggaran rumah tangga dan meningkatkan inflasi. Para kritikus telah meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali peraturan tersebut atau memberikan langkah-langkah yang lebih jelas untuk meminimalkan dampaknya terhadap konsumen.

Untuk meringankan beban ekonomi dari kenaikan PPN, Pemerintah telah menyiapkan paket stimulus senilai Rp 827 triliun ($51,65 miliar) yang menyasar berbagai sektor, termasuk rumah tangga, pekerja, usaha kecil, dan industri padat karya. Rumah tangga akan menerima bantuan pangan dan potongan tagihan listrik, sementara pembebasan PPN akan diterapkan pada tepung terigu, gula industri, dan minyak goreng bersubsidi. Pekerja akan ditawarkan akses ke skema perlindungan kehilangan pekerjaan untuk mengurangi risiko PHK. Usaha-usaha kecil diharapkan mendapatkan keuntungan dari perpanjangan tarif PPh final 0,5%, sementara industri padat karya akan menerima insentif pajak upah, bantuan pembiayaan, dan subsidi untuk asuransi kecelakaan kerja.

Pemerintah juga akan memperkenalkan insentif PPN untuk kendaraan listrik dan hibrida untuk mempromosikan pilihan transportasi yang lebih bersih. Di sektor perumahan, pembebasan PPN akan berlaku untuk rumah dengan harga antara Rp 2-5 miliar, meskipun pembeli masih harus membayar PPN pada bagian yang melebihi Rp 2 miliar.

Scroll to Top