Kakao Olahan Pemasaran Global Kakao Olahan
Indonesia menargetkan bisa menjadi negara eksportir produk kakao terbesar di dunia. Proses hilirisasi yang didukung dengan melimpahnya pasokan menjadi jalan mencapai target.
Sebagai negara khatulistiwa dengan iklim tropis di dalamnya, kakao tumbuh subur di Indonesia. Buah yang dihasilkan berkualitas tinggi dan bisa dijumpai di seluruh wilayah. Hal ini perlu dimanfaatkan petani dan juga negara untuk menambah pundi-pundi rupiah.
Putu Juli Ardika, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian menuturkan, saat ini Indonesia masih menjadi negara pengolah kakao ketiga terbesar di dunia. Adapun produk turunannya adalah pasta/liquor, cocoa cake, cocoa butter dan cocoa powder. Sebagian produk tersebut diolah lebih lanjut di dalam negeri sekitar 20%, dan selebihnya diekspor ke lebih dari 96 negara di lima benua.
“Ekspor produk intermediate tersebut telah menjadikan Indonesia sebagai pemasok rantai global dengan kontribusi sekitar 9,17% dari kebutuhan dunia,” ujar Putu.
Menurutnya, peningkatan nilai ekspor kakao olahan didukung oleh sejumlah investasi perusahaan multinasional. Dari investasi tersebut, semula kapasitas terpasang industri pengolahan kakao sebesar 560 ribu ton per tahun, naik menjadi 739 ribu ton per tahun. Adapun ekspor biji kakao pada tahun 2013 sebesar 188,4 ribu ton senilai US$ 446 juta, merosot jadi 24.603 ton senilai US$ 64 juta pada 2022.
Sebaliknya, volume ekspor produk olahan kakao meningkat dari 196,3 ribu ton senilai US$ 654 juta pada tahun 2013 menjadi 327 ribu ton senilai US$ 1,1 miliar tahun 2022. “Sejak tahun 2015, ekspor kakao olahan kita selalu di atas US$ 1 miliar. Bahkan, Indonesia sudah menjadi pemain global kakao olahan, dengan posisi ekspor cocoa butter kita nomor dua di dunia setelah Belanda,” ujarnya.
Putu menambahkan lima tahun lalu komposisi ekspor kakao olahan antara intermediate product sebesar 85%, dan 15% diproses lebih lanjut di dalam negeri. Tujuannya untuk diolah menjadi produk akhir atau finished good berupa makanan dan minuman berbasis coklat. Saat ini, komposisi produksi olahan cokelat di dalam negeri telah meningkat menjadi 20%.
“Artinya produk kakao olahan di dalam negeri mengalami penguatan atau terjadi hilirisasi lebih lanjut,” ucapnya.
Sejauh ini, produk cokelat sebagian besar masih diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Konsumsi cokelat per kapita di dalam negeri meningkat dari 0,37 kilogram (kg) per kapita pada tahun 2018 menjadi 0,49 kg per kapita tahun 2022. Ekspor produk cokelat juga mengalami peningkatan dari US$ 45 juta pada 2018 menjadi US$ 77 juta tahun 2022 atau naik rata-rata 14,65% per tahun.
Salah satu produk cokelat yang berkembang adalah cokelat artisan bean to bar atau yang sering juga dikenal sebagai craft chocolate. Hingga sekarang, terdapat 31 perusahaan atau produsen cokelat artisan dengan kapasitas 1.242 ton per tahun.
“Produk craft chocolate sangat digemari oleh wisatawan mancanegara dan kalangan menengah atas di dalam negeri, karena menghasilkan produk dengan rasa yang unik yang didukung dengan cerita tertentu yang berasal dari daerah tertentu,” tutur Putu.
Dari pihak swasta tak mau kalah membidik manisnya bisnis kakao di Indonesia. Mondelez International, perusahaan food and beverage (F&B) sejak tahun 2020 telah berusaha membangun pusat penelitian dan pengembangan kakao di Pasuruan, Jawa Timur. Selain meningkatkan potensi bisnis, pusat penelitian ini bertujuan pula untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Maurizio Brusadelli, Executive Vice President Mondelez International mengatakan, sebagai perusahaan pengguna kakao terbesar di dunia, keberlanjutan pasokan kakao merupakan kunci pertumbuhan jangka panjang. Pasuruan Cocoa Technical Centre (PCTC) ini merupakan bagian dari jaringan pusat penelitian Mondelez International yang telah tersebar di berbagai wilayah di seluruh dunia.
Pusat penelitian di Pasuruan ini juga sebagai tempat untuk memenuhi permintaan biji kakao untuk produk Mondelez International mengingat kakao sebagai bahan utama coklat permintaannya terus meningkat. Adapun alasan dibangunnya pusat penelitian di tanah air lantaran Indonesia sebagai penghasil biji kakao terbesar ketiga di dunia memiliki sektor kakao yang bertumbuh pesat. Terutama dalam 30 tahun terakhir seiring dengan meningkatnya jumlah petani kakao kecil.
Kendati demikian, pertanian kakao Indonesia masih dihadapkan pada tantangan rendahnya rata-rata hasil panen per hektar bila dibandingkan rata-rata global. “Pusat penelitian ini tidak hanya bertujuan untuk meneliti, tetapi juga mengembangkan praktik pertanian kakao yang efektif dan ramah lingkungan. Sehingga dapat menghasilkan panen berkualitas baik serta menciptakan sektor kakao berkelanjutan,” ungkap Maurizio.
PCTC menggabungkan fasilitas penelitian dan pengembangan yang ditunjang laboratorium serta area pascapanen dengan fasilitas agronomi. Ini meliputi area pembibitan dan modul penanaman seluas lima hektar. Nantinya, para ilmuwan dapat meneliti cara-cara pembudidayaan kakao yang paling optimal. Praktik dan teknologi yang dihasilkan dari pusat penelitian kakao ini dapat diterapkan oleh para petani kakao yang tergabung dalam Cocoa Life, sebuah program pemberdayaan petani kakao secara global dari Mondelez International.
Di Indonesia sendiri, program Cocoa Life telah berlangsung sejak tahun 2013 dan saat ini telah memberdayakan lebih dari 43.000 petani kakao di delapan kabupaten yang tersebar di empat provinsi atau sekitar 25% dari total petani kakao di seluruh dunia yang menjadi bagian dari program tersebut.
“Fokus PCTC pada ilmu tanaman kakao dan solusi teknis yang mendorong praktik pertanian yang memberikan hasil panen tinggi, berkelanjutan, serta berketahanan. Ini juga menjadi wujud komitmen perusahaan untuk memasok 100% kebutuhan kakao untuk produksi cokelat,” tutup Maurizio.