Jam Tangan pada dasarnya dipakai sebagai penunjuk waktu di kala berada di luar ruangan. Seiring dengan perkembangan zaman, jam tangan pun bertransformasi sebagai aksesoris untuk memperlengkapi penampilan.
Terlanjur identik dengan Swiss sebagai negara penghasil jam tangan terbaik di dunia, Ibu Rizki Febriana tak gentar untuk memproduksi jam tangan kualitas tinggi yang diproduksi di Indonesia.
Dengan mengusung nama Kaywoodwatch, Rizki Febriana mencoba mempelopori industri jam tangan kayu eksotis dari sebuah kampung di Pandeglang.
Bermula dari Workshop pribadi
Pengalaman Ibu Rizki Febriana di dunia jam tangan memang tidak main-main. Bersama dengan almarhum suaminya, Rizki Febriana telah berpengalaman menerima pesanan pembuatan jam tangan milik brand lain.
Beberapa brand jam tangan lokal seperti Matoa, Woodka dan Pala Nusantara pernah menjadi klien dari workshop milik Rizki dan almarhum suaminya.
Bertekad untuk memiliki bisnis jam tangan eksotis sendiri, sang almarhum suami bersikukuh untuk merancang prototype jam tangan.
Tak sempat selesai karena sang suami tutup usia, Rizki kemudian bertekad untuk menyelesaikan prototipe jam tangan tersebut.
Didorong motivasi untuk meneruskan permintaan terakhir sang suami, Rizki beserta dengan staf workshop-nya berhasil menyelesaikan prototype tersebut. Prototype jam tangan tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal daripada Kaywoodwatch nantinya.
Demi memodali pendirian Kaywoodwatch, Rizky menyempatkan diri untuk menerima pesanan jam tangan brand lain.
Untuk penyempurnaan produksi, Rizky juga membangun program Computer Numerical Control sebagai penggerak mesin jam tangan.
Bu Rizky juga rela memindahkan workshopnya yang berada di Bandung menuju kampungnya yang berada di Pandeglang. Di Pandeglang inilah Kaywoodwatch resmi memulai produksinya.
Sebagai produk yang dimaksudkan untuk pasar premium, Kaywoodwatch pun melakukan penyesuaian di bahan baku.
Untuk bahan baku kayu sebagai material utama dari jam tangan, Ibu Rizki hanya menggunakan jenis kayu yang terbilang langka seperti Jati, Sonokeling, hingga kayu Maple.
Sebelumnya bu Rizki juga menjadikan kayu Eboni sebagai salah satu bahan utama, namun dihentikan karena kesulitan mendapat barang.
Selain memproduksi jam tangan kayu untuk memenuhi kebutuhan pasar, Kaywoodwatch juga melayani pembuatan jam kustom.
Beberapa layanan kustom yang dapat dipenuhi oleh Kaywoodwatch mencakup pembuatan grafir nama, logo, bahkan hingga wajah sang pemesan.
Disenangi oleh Turis Mancanegara
Menyadari daerah Pandeglang bukan pasar yang cocok untuk jam tangan kayu premiumnya, Bu Rizky pun mengandalkan penjualan dan pemasaran secara daring.
Namun justru keputusan Bu Rizky untuk fokus pada kanal daring berbuah manis. Faktanya, jam tangan Kaywoodwatch justru menjadi tersohor hingga di kalangan pejabat.
Selain pejabat, karya Rizki Febriana nyatanya juga turut disenangi oleh kalangan artis nasional, “Pernah diboyong juga sama A’a Irfan Hakim dan Teh Deswita (Maharani)”.
Di luar pemesan dari kalangan pejabat dan artis, jam tangan ini sudah pernah dipesan dari seluruh wilayah Indonesia kecuali Aceh dan Papua.
Yang lebih membanggakan, Jam tangan kayu Kaywoodwatch juga berhasil menarik minat kolektor jam kayu yang berasal dari Afrika.
Para kolektor jam kayu tersebut bahkan langsung mendatangi galeri Kaywoodwatch untuk melakukan pemesanan. Tidak hanya kolektor asal Afrika, jam tangan Kaywoodwatch juga menjadi buruan dari penyuka kerajinan asal Korsel, Jepang, dan Belanda.
Persaingan Ketat sebagai Salah Satu Kendala
Seperti contoh jam tangan kayu dengan merek Bobo Bird asal Tiongkok hanya dibanderol seharga 500 ribu rupiah saja.
Meski telah berhasil mengekspor jam tangan kayu hingga ke Afrika, bukan berarti Kaywoodwatch tidak menghadapi kendala. Salah satu kendala yang dihadapi oleh Rizki dalam menjalankan Kaywoodwatch adalah gempuran para pesaing.
Diakui oleh Rizki, salah satu pesaing terberat dalam industri ini berasal dari China. Merek asal negeri tirai bambu yang mengadopsi strategi pricing agresif turut mempengaruhi volume penjualan Kaywoodwatch.
Bahkan demi menjaga kualitas agar tidak terpengaruh, Rizki Febriani terpaksa mengubah strategi penjualan dari berbasis massal menjadi berbasis pesanan.
Selain menghadapi persaingan keras, Rizki juga mengaku dipusingkan dengan belum memadainya tenaga kerja yang tersedia.
Menurut Rizki, kualitas tenaga kerja lokal masih belum dapat memenuhi standar produksi jam tangan kayu miliknya. Oleh karena itu Ia berharap bantuan pemerintah dan otoritas UKM untuk membantunya dalam hal pelatihan SDM.
Perkembangan Usaha Kaywoodwatch dan Jam Tangan Kayu Secara Keseluruhan
Sebetulnya banyak yang memprediksi bahwa jam tangan kayu tidak akan berkembang menjadi industri yang menguntungkan.
Diperkirakan bahwa perkembangan teknologi berupa jam digital hingga smartwatch akan menggerus habis eksistensi jam tangan analog. Bahkan ada studi yang mengatakan bahwa jam tangan analog akan bernasib sama dengan Compact Disc.
Namun faktanya jam tangan kayu justru mendapat apresiasi dari masyarakat luas. Dengan mengusung kesan yang eksotis jam tangan kayu justru dapat membalikkan prediksi bahwa masa jam tangan analog telah habis.
Jurnal Sains dan Seni Institut Seni Surabaya Volume 5 no 2 tahun 2016 karya Adit Widya Pradipta dan Baroto Tavip menuliskan bahwa jam tangan kayu bahkan turut merambah kelompok generasi X dan generasi Z yang banyak bersinggungan dengan gawai modern.
baca juga
Untuk Kaywoodwatch sendiri dengan banderol mulai dari 700 ribu hingga 1 juta rupiah, Kaywoodwatch mampu melakukan penjualan hingga 30 buah perbulannya.
Hanya saja angka ini jauh lebih kecil dibandingkan ketika workshop Kaywoodwatch masih berada di Bandung.
Meski begitu, Rizki tetap optimis industri ini memiliki celah untuk tumbuh. Kesan luwes dan hangat yang ditampilkan oleh jam tangan kayu diharapkan akan menjadi daya tarik bagi pemakainya.