Minimize Budget, Maximize Impact , Low Budget High Impact
Kreativitas pemasar di era sekarang diasah untuk mensiasati minimnya bujet marketing untuk menghasilkan dampak yang besar. Apa saja yang pantas diperhatikan?
Membuat marketing plan merupakan sebuah seni tersendiri bagi pemasar. Lantaran dunia marketing merupakan dunia kreatif, biasanya orang marketing leluasa dalam merancang strategi. Mengeluarkan ide-ide out of the box itu sah-sah saja. Namun, rencana kreatif tersebut haruslah realistis dengan bujet yang terbatas. Dalam keadaan seperti itu, justru orang-orang marketing ditantang untuk lebih kreatif. Di era sekarang dengan teknologi yang semakin canggih, orang marketing bisa lebih mudah mengeksekusi strategi low budget high impact marketing. Artinya, dengan bujet seminim mungkin, merek mampu memperoleh dampak sebesar mungkin.
Biasanya, pihak yang berperan mengontrol bujet adalah bagian keuangan. Bila perencanaan marketing ini dinilai over-budget, orang keuangan pasti akan memberikan peringatan. Karena itu, daripada menghabiskan energi untuk berselisih tentang bujet ini, orang marketing sebaiknya memiliki kecakapan dalam menyusun anggaran pemasaran.
Secara umum, marketing budget melingkupi beberapa aspek, seperti advertising dan communication, teknologi pendukung, sumber daya manusia, hingga penjualan dan distribusi. Biasanya, alokasi bujet pemasaran ini terbagi ke dua tipe besar aktivitas, yakni pull marketing sebagai upaya membangun merek sehingga orang tertarik membeli produk atau layanan. Tipe kedua, push marketing yang merupakan upaya mendorong terjadinya penjualan langsung.
Namun, masing-masing perusahaan memiliki alokasi bujet marketing yang berbeda-beda. Ini ditentukan oleh sedikitnya tiga faktor. Pertama, cost structure atau kemampuan perusahaan mengeluarkan anggaran dengan besaran tertentu. Kedua, state of brand. Bila mereknya sudah terkenal, biasanya tidak perlu anggaran besar. Ketiga, level of competition. Bila jumlah kompetitor semakin banyak, jumlah anggaran juga harus kompetitif.
Strategi low budget high impact cocok di saat terjadi pemangkasan bujet pemasaran. Hal ini nampak jelas di saat pandemi COVID-19 atau sesudahnya. Tren pemangkasan biaya marketing terpotret pada hasil riset dari MarkPlus, Inc. bertajuk Leading Through Change A Marketing Guide for H2-2024 and Beyond. Dalam laporan tersebut, pemangkasan sudah mulai terjadi sejak tahun 2016 yang dilakukan merek lintas industri. Diawali pada tahun 2016 ketika rata-rata merek masih mengalokasikan budget marketing sebesar 12,1% dari total revenue.
Kemudian dua tahun berturut-turut turun menjadi 11,3% dan 11,2% walaupun saat itu tidak terjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Tren penurunan masih terjadi hingga tahun 2019 sebelum merebaknya wabah menjadi 10,5% dan kembali di level 11% setahun berselang. Namun, wabah membawa penurunan biaya marketing di level terendah, yaitu 6,4%.
Pada tahun 2022 hingga 2023 ketika pandemi sudah mulai terkendali, merek mulai banyak yang menaikkan anggarannya di level 9,5% dan 9,1% atau dengan kata lain masih belum menyentuh level sebelum pandemi. Selanjutnya memasuki tahun politik 2023 dan 2024, merek kembali menurunkan biaya di level 7,1% lantaran masih wait and see dinamika ekonomi yang terjadi. (Grafik 1).
Fenomena tersebut terjadi pula pada industri properti dan fast moving consumer goods (FMCG). Dalam melakukan efisiensi, merek bahkan tak tanggung-tanggung memangkas anggaran mulai dari produksi, operasional, dan pemasaran hingga 10% per tahun menyesuaikan kondisi. Sehingga uang yang dikeluarkan harus berbanding lurus dengan penjualan.
baca juga
Frans Surjadi, Direktur Astra Properti menjelaskan, secara umum ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya pemotongan cost, di antaranya seperti inflasi, kenaikan harga bahan baku, hingga penurunan nilai tukar rupiah. Beban-beban tersebut tidak serta-merta bisa diberikan kepada konsumen dengan cara menaikkan harga jual unit propertinya. Sebab, upaya tersebut sangat sensitif lantaran bisa menurunkan penjualan.
Oleh karena itu, sambung Frans, jalan keluar menjaga pertumbuhan adalah dengan cara terus melakukan inovasi agar biaya semakin menurun. Misalnya, dari sisi pengerjaan proyek yang melibatkan konsultan, karyawan internal diberi waktu terbatas. Setelah itu, karyawan harus bisa mengerjakan sendiri tanpa ada pihak ketiga.
Dari sisi penggunaan pekerja proyek, Astra Properti berusaha menggunakan seminimal mungkin tenaga kerja. Sehingga dalam memilih pekerja proyek, perusahaan cenderung menggunakan orang-orang yang multitasking agar bisa mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus. Dengan kata lain, kelincahan perusahaan sangat diperlukan dalam kondisi seperti ini.
Sedangkan untuk menghadapi kenaikan harga bahan baku atau kenaikan harga jasa konsultan, Frans menyebut, pemasar harus lihai dalam bernegosiasi. Menurutnya, dari sisi bahan baku biasanya selalu terjadi kenaikan setiap tahun. Jumlahnya bervariasi tergantung dari jenis, ketersediaan pasokan, hingga jumlah permintaan.
Kendati demikian, kenaikan harga bisa saja terjadi melebihi persentase penurunan cost. Apalagi untuk barang-barang yang harus diimpor cenderung lebih mahal. Hal ini karena nilai tukar rupiah yang saat ini terus melemah.
Negosiasi tersebut memiliki tujuan, seperti untuk menjaga harga bahan baku tetap terjaga atau pemasar bisa melakukan pembelian dengan cara kontrak payung bersama dengan pengembang lain. Sehingga barang yang dibeli bisa dalam jumlah besar dan dibagi dengan pengembang lain sesuai dengan kebutuhan.
Sedangkan untuk barang-barang yang harus diimpor, biasanya pemasar membayar uang muka dengan jumlah yang lebih besar dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya agar pelemahan di masa depan tidak terlalu menyebabkan pembengkakan biaya pengadaan barang. Ini selaras dengan upaya meminimalisir bujet dan memaksimalkan dampak.