Omnichannel Marketing dan Established Companies , Startup menunjukkan bentuk hubungan antara customer dan company yang lebih horizontal dibandingkan dengan yang terjadi pada established companies.
Sekitar lima sampai sepuluh tahun yang lalu, kata disrupsi banyak dibicarakan di mana-mana. Kemunculan berbagai startup menimbulkan disrupsi dan mengancam established companies. Ada yang saat itu sempoyongan antara lain karena bukan hanya tidak punya aplikasi tapi juga tidak siap memanfaatkan media sosial untuk berbagai kegiatan marketing.
Meski sempat khawatir, tapi beberapa established companies di sejumlah industri mulai melakukan perubahan cepat digitalisasi. Mereka membuat apps yang bagus, seperti yang dilakukan startups companies. Selain itu, mereka juga memperbaiki kemampuan bermedia sosial.
Yang paling penting adalah perubahan budaya. Di sejumlah established companies yang semakin besar ukurannya, maka muncul birokrasi dan hierarki. Ini yang kemudian membuat customers sering kali menjadi kesulitan menyampaikan feedbacks atau keluhan manakala ada gangguan service delivery.
Startup yang memang mulai dari kecil dan kemudian membesar antara lain didukung media sosial, secara rata-rata lebih cepat berinteraksi di media sosial. Memang tidak semua keluhan langsung ada solusinya. Tapi, mereka menunjukkan bentuk hubungan antara customer dan company yang lebih horizontal dibandingkan dengan yang terjadi pada established companies.
Karena itu, ketika kata disrupsi muncul di mana-mana, salah satu kelompok yang begitu peduli adalah established companies. Mereka pun mencoba melakukan pengembangan aplikasi dan mencoba untuk misalnya menggabungkan call center-nya ke dalam aplikasi. Ini misalnya yang dilakukan Blue Bird.
Ketika misalnya ada gangguan dengan aplikasi My Blue Bird, ada opsi menghubungi call center Blue Bird. Jadi, meski apps-nya masih mengalami pengembangan dan perbaikan, dan mungkin ada gangguan dalam service delivery, tapi ada alternatif. Di sisi lain, karena ada sejumlah pelanggan lama yang nomer telepon rumahnya terdaftar dalam sistem Blue Bird termasuk untuk dihubungi dengan call center-nya, maka proses installing apps menjadi lebih unik.
Sehingga ketika melakukan pemesanan, maka apps akan lebih akurat mengarahkan titik jemput. Ini tentu beda dengan startup yang tidak punya data base lama pelanggan, yang sering memunculkan akurasi titik jemput. Akibatnya, sering muncul masalah service delivery yang dipicu masalah akurasi titik jemput.
Hal lain yang menarik adalah kemampuan Blue Bird menjaga ciri khas taksinya. Ini bukan hanya modelnya seragam, tapi juga tingkat kebersihan dan kerapian serta seragam yang dikenakan pengemudinya. Selain itu, para pengemudi juga terkoneksi satu sama lain terkait dengan alternatif rute yang bisa dipilih kalau misalnya ada keraguan dengan arahan dari Google Maps.
Kelak ketika apps-nya semakin membaik dan didukung dengan aktivitas media sosial, semua hal tersebut membuat Blue Bird punya omnichannel marketing yang lain dari yang lain. Ini bukan hanya apps, media sosial, call center, kantor atau pangkalan taksi, tapi taksi dan pengemudinya itu sendiri. Semua point of contacts atau channels seperti memberikan experience yang beda.
Itulah sebabnya, meski secara harga bisa lebih mahal dibandingkan dengan layanan taksi startup, masih banyak pengguna yang memilih karena experience yang berbeda. Porsi pelanggan wanita yang tertarik dengan Blue Bird lebih tinggi dibandingkan pria karena terkait dengan anxieties dan desires dalam bidang keamanan. Khususnya karena ada call center dan reputasi yang terjaga untuk mengembalikan barang yang ketinggalan di taksi dengan segera.
Tentu ini bukan hal yang mudah melakukan orkestrasi servis melalui omni channel. Pengemudi taksi yang mesti keliling, dan kadang-kadang butuh istirahat dan makan, sering kali tidak mendapatkan tempat yang nyaman. Tentu tidak mudah buat mereka menjaga penampilan.
baca juga
Entah bagaimana caranya, dari pengalaman menggunakan Blue Bird dari berbagai kota, para pengemudi tetap bisa menjaga penampilan. Selain itu taksinya terjaga rapi dan punya aroma yang enak. Sehingga di salah satu titik omnichannel-nya Blue Bird, dan bisa jadi salah satu yang terpenting, pelanggan bisa tetap mendapatkan experience yang bagus.
Blue Bird bukan satu-satunya established companies yang dengan agile merespons potensi disrupsi. Ada beberapa established companies yang me-leverage traditional channels dan melakukan integrasi dengan apps. Inilah yang misalnya terjadi pada sejumlah bank besar, termasuk bank BUMN, yang pada awalnya diramalkan akan menjadi korban disrupsi. Ini dipicu budaya kerja yang dianggap tidak compatible dengan budaya kerja baru yang dipicu startup companies.
Ternyata mereka tidak kaku dengan budaya kerja yang ada. Apalagi ketika ada kebijakan pemegang saham untuk memprioritaskan talent muda untuk naik karier lebih cepat, termasuk ke posisi tinggi. Sesuatu hal yang di mana meski sudah dilakukan di masa silam, tapi tidak berpengaruh ke perubahan budaya kerja.
Dengan kata lain, ancaman disrupsi bisa menjadi faktor penting pengembangan omnichannel beberapa bank BUMN. Kantor cabang dan call center serta ATM yang selama ini menjadi channel untuk interaksi dengan nasabah kemudian ditambah dengan apps dan media sosial. Selain itu, sejumlah kantor cabang diubah menjadi digital branch dan dilengkapi self service tambahan seperti pencetakan buku tabungan.
Yang menarik, terjadi sejumlah perubahan budaya kerja yang berpengaruh pada service blueprint. Di digital branch mandiri, petugas bank akan siap membantu nasabah yang agak gagap teknologi (gaptek) menggunakan service blueprint enabler sehingga nasabah bisa merasa tahu-tahu sudah beres sambil duduk dengan nyaman. Karena, digital branch-nya bukan hanya didesain padat teknologi digital tapi juga friendly. Yang terakhir ini dalam bentuk tempat duduk yang nyaman.
Bisa jadi ini menjadi salah satu strategi untuk mendorong orang mau ke kantor cabang bank. Mereka harus punya first impression dan experience yang bagus agar mau kembali ke kantor cabang. Yang lebih penting lagi ada aspek human touch yang kuat.
Begitu mereka datang ke digital branch yang dilengkapi sejumlah televisi, maka mereka pun akan terpapar dengan promosi secara digital dari berbagai produk bank. Kalau mereka sudah merasa nyaman dan merasa petugas bank memberikan servis yang bagus, maka mereka pun akan bertanya-tanya lebih lanjut untuk produk yang dilihatnya di layar televisi bank. Dengan kata lain, experience baru melalui channel yang diperbarui bisa meningkatkan kemungkinan cross selling dan up-selling.
Tentu biaya yang dikeluarkan bank untuk mengembangkan digital branch besar. Tentu bank perlu bisa segera mengembalikan investasi yang dikeluarkan. Dengan menciptakan situasi yang nyaman yang didukung dengan teknologi digital, maka ada cara baru impulse buying dan harapannya bisa membantu ke upaya pencapaian target, termasuk pengembalian investasi pembuatan digital branch.
Salah satu hal yang menarik ketika melihat implementasi omnichannel marketing yang dilakukan established companies seperti Blue Bird dan Mandiri bukan hanya punya kontribusi dalam meningkatkan experience dan menjaga engagement, tapi juga mendukung pencapaian target bisnis. Karena itu, sejak ada perbaikan dan penguatan omnichannel marketing, kinerja keuangan Blue Bird ataupun Mandiri tumbuh jauh lebih di atas angka pertumbuhan ekonomi, dengan tumbuh double digit yang tinggi. Itulah sebabnya wajar ketika Blue Bird melakukan penyegaran armada atau dalam kasus Mandiri menambah digital branch yang dikembangkan.
Tentu saja dalam kasus Mandiri, apps kemudian menjadi titik sentral omnichannel marketing. Karena itu perbaikan yang dilakukan kemudian bisa menjadi channel bukan hanya layanan perbankan, tapi juga non-perbankan seperti kartu kredit. Karena itu, QRIS Mandiri bisa digunakan dengan sumber dana dari tabungan atau kartu kredit yang secara tidak langsung menunjukkan Mandiri sebagai perusahaan keuangan terintegrasi dan bisa langsung dalam genggaman tangan nasabah.
Call center maupun layanan penjualan atau servis melalui telepon juga terintegrasi dengan apps. Ini juga berguna meningkatkan experience yang terkait dengan keamanan. Soalnya, seiring dengan digitalisasi perbankan, muncul juga berbagai upaya penyalahgunaan berbasis digital.
Mandiri bahkan merasa perlu meng-address isu keamanan dengan membuat beberapa video pendek, termasuk dengan konteks lokal dan disebarkan di media sosial. Sehingga integrasi perlindungan nasabah juga dilakukan dengan menggunakan omnichannel Mandiri.