https://ukms.or.id PB1 vs PPN: Pajak Restoran yang Sering Disangka Sama, Padahal… Beda Banget! Lo pernah nggak sih makan di resto, terus pas bayar lihat ada tambahan 10% di struk?
Refleks mikir, “Ah ini PPN…” Eitsss, tunggu dulu bestie, itu belum tentu PPN. Bisa jadi itu PB1, alias Pajak Restoran. Dan ternyata, dua pajak ini kayak kakak-adik yang sering dikira kembar, padahal KTP-nya beda.
Jadi… PB1 Itu Apa?
PB1 (dulunya dikenal sebagai Pajak Bangunan 1, tapi konteks modernnya udah masuk Pajak Barang & Jasa Tertentu / PBJT) basically adalah pajak daerah yang lo bayar kalau lo makan atau minum di tempat yang menyediakan layanan—mulai dari restoran fancy, kafe lucu buat foto-foto, sampai warung tenda yang rame di malam minggu.
Bedanya sama PPN?
- PB1 = pajak daerah → duitnya masuk ke kas Pemda.
- PPN = pajak pusat → duitnya masuk ke kas negara.
Ini semua udah legit diatur di UU No. 1 Tahun 2022 soal hubungan duit antara pusat & daerah.
Lo pernah kepikiran nggak, setiap kali nongkrong di coffee shop hits, bayar bill, terus di ujung ada tuh “plus 10%”? Nah, itu bukan tip buat barista lo yang selalu manggil “Kak” dengan suara lembut, tapi itu adalah PBJT alias Pajak Barang dan Jasa Tertentu. Bahasa kampusnya: pemungutan wajib dari Pemda yang nyasar ke berbagai jenis konsumsi. Tapi tenang, gue kupas ini bukan kayak diktat kuliah pajak yang bikin ngantuk, tapi real talk ala lapangan.
Kita bedah dulu scope-nya. PBJT ini nyangkut ke beberapa sektor yang… yah, basically, semua tempat lo spend uang buat have fun atau survive. Mulai dari:
- Food & Beverages: Semua spot kuliner — dari warung tepi jalan sampe restoran bintang lima, kedai kopi indie, sampai katering fancy buat wedding. Kalau lo makan di tempat atau bungkus tapi dimakan di area resto, yaudah, kena pajak.
- Hospitality services: Hotel, vila, losmen. Intinya, tempat lo tidur tapi bukan rumah lo.
- Parking services: Tempat parkir berbayar, mau itu di mall, di basement kantor, atau parkiran pinggir jalan yang dijaga mas-mas berseragam rompi.
- Entertainment: Bioskop, karaoke, diskotik, panti pijat, konser musik — basically semua hiburan publik yang bikin dompet ikut joget.
- Electricity use: Kalau buat kepentingan selain sosial, agama, atau pendidikan.
Penting dicatat: nggak semua transaksi di industri ini otomatis kena. Ada pengecualian yang diatur per daerah, jadi ini bukan “semua-semua harus bayar.” Tapi kalau lo main di sektor hiburan kayak karaoke dan diskotik? Siap-siap, bro. Tarifnya nggak main-main: 40–75%.
Beda cerita kalau ngomongin PB1 alias Pajak Restoran. Maksimumnya 10% dari total pembayaran, itu udah paten di Pasal 58 UU Nomor 1 Tahun 2022. Rumusnya simple:
Total Pembayaran × Tarif PB1 = Pajak Terutang
Contoh: makan fancy di resto, tagihan lo Rp500.000, tarif PB1 daerah lo 10%. Artinya, tambahan Rp50.000 masuk ke pos pajak. Jadi total yang lo bayar Rp550.000. Bukan buat beli dessert extra, tapi buat kontribusi PAD alias Pendapatan Asli Daerah.
Nah, PB1 ini nggak cuma formalitas angka di bon. Dampaknya ke ekonomi lokal lumayan gede. Duit pajak ini masuk ke kas Pemda buat:
- Nambahin kualitas infrastruktur: Jalan yang nggak bolong-bolong, lampu jalan nyala, fasilitas publik yang bener-bener bisa dipake.
- Dorong industri kuliner & pariwisata: Restoran yang taat pajak biasanya punya branding lebih solid, plus ngasih multiplier effect ke UMKM lokal.
- Transparansi perpajakan: Sistem makin digital, transaksi lebih gampang dipantau, dan penghindaran pajak makin susah.
Tapi ya, realitanya, implementasi PB1 ini nggak seindah press release Pemda. Tantangannya banyak:
- Kepatuhan rendah: Banyak bisnis kecil yang belum nyentuh sistem pajak formal. Ada yang gaptek, ada juga yang sengaja “low profile” biar nggak terdata.
- Peraturan beda-beda tiap daerah: Lo bisa makan di dua kota berbeda, resto sama-sama fancy, tapi pajaknya beda.
- Monitoring yang tricky: Nggak semua transaksi bisa dilacak otomatis. Kadang masih manual, rawan slip.
Makanya, banyak pelaku usaha akhirnya nyerah urusan ini ke Konsultan Pajak Jakarta. Kenapa? Karena mereka butuh orang yang ngerti medan — yang bisa navigasiin perbedaan kebijakan antar-daerah, ngerti celah hukum, tapi tetap compliance. Apalagi buat resto yang udah main di level franchise, manajemennya nggak bisa setengah hati soal pajak.
Dan kalau kita ngomong jujur, PB1 ini punya sisi “psikologis” ke konsumen. Ada orang yang bodo amat bayar plus 10%, ada juga yang langsung “lho kok segini?”. Padahal, kalau ngerti alur duitnya, ya itu sebenernya balik lagi ke publik — minimal di atas kertas. Tapi… kita tahu, di Indonesia, perjalanan duit dari pajak ke fasilitas publik itu kayak drama series Netflix. Penuh twist.
Singkatnya, PBJT & PB1 itu bukan sekadar angka di bon. Dia bagian dari ekosistem fiskal daerah yang nyentuh langsung hidup kita. Lo bisa nggak peduli, tapi kalau jalan di depan rumah mulus dan nggak banjir, mungkin itu salah satu efeknya. Kuncinya ada di compliance, pengawasan, dan political will Pemda buat bener-bener make duit pajak itu dengan bijak.
baca juga
- Rakyat Melepas Sri Mulyani, Bagaimana Masa Depan Keuangan RI ?
- Pajak AI
- Robot Kena Pajak?
- AI Tax di Indonesia
- Rekomendasi Konsultan Pajak 2026 Versi Gen Z
💡 Kenapa Orang Sering Nge-blur Antara PB1 & PPN?
Karena tarifnya mirip-mirip, bestie. Tapi update terbaru bikin lo bisa bedain:
| Pajak | Level Pemerintah | Tarif Sekarang |
|---|---|---|
| PB1 | Daerah | Maks 10% |
| PPN | Pusat | 11% (naik per 1 April 2022) |
So kalau di struk lo liat pajak 10%, kemungkinan besar itu PB1 (kecuali Pemda set tarif lebih rendah).
🎯 Siapa yang Kena?
- PB1 → yang bayar adalah lo, sang pelanggan setia kulineran. Pemilik resto cuma jadi ‘tukang pungut’ buat nyetor ke Pemda.
- PPN → yang jadi subjek pajak tuh pengusaha yang udah berstatus PKP (Pengusaha Kena Pajak), bukan lo langsung.
🍲 Apa Aja yang Kena PB1?
Basically semua penjualan makanan & minuman plus layanan yang ada di resto, warung, katering, bahkan jasa boga.
Tapi ada plot twist—nggak semua resto kena PB1. Contoh yang bebas dari pajak ini:
- Restoran yang jadi bagian dari manajemen hotel (udah kena pajak hotel).
- Restoran kecil dengan omzet < Rp200 juta per tahun.
📏 Rumus Menghitung PB1
Kalau lo tipe orang yang suka ngecek struk biar nggak zonk, rumusnya gampang banget:
PB1 = DPP (Dasar Pengenaan Pajak) x Tarif PB1
Contoh real life biar kebayang:
Bu Cherry & keluarga dinner di Restoran Nuansa Hangat. Total pesanan:
| Item | Qty | Harga | Total |
|---|---|---|---|
| Nasi goreng | 2 | 20.000 | 40.000 |
| Bakmi goreng | 2 | 25.000 | 50.000 |
| Kepiting asap | 1 | 400.000 | 400.000 |
| Jeruk hangat | 4 | 15.000 | 60.000 |
| Total | 550.000 |
Tarif PB1 = 10% → 550.000 x 10% = 55.000
Jadi total yang Bu Cherry bayar = 550.000 + 55.000 = 605.000.
Intinya…
PB1 itu pajak daerah yang lo bayar setiap nongkrong makan di resto yang udah ‘resmi’. Dia beda sama PPN, walaupun bentuknya sama-sama nambahin angka di struk.
Makanya, kalau habis makan lo liat angka pajak, jangan langsung bilang, “Ah, PPN nih.” Bisa jadi itu PB1 yang uangnya langsung bantu Pemda bikin jalan baru, lampu jalan, atau bahkan taman kota biar estetik.
So next time, lo udah nggak bingung lagi bedain pajak ini. Yang penting, makan tetap nikmat, pajak tetap taat.
