ukms.or.id ROYALTI: Duit Nge-flow dari Ide yang Lo Punya. Pernah nggak sih lo bikin sesuatu — lagu, buku, desain, formula rahasia ala Indomie — terus tiba-tiba duit masuk terus tiap bulan walaupun lo lagi rebahan? Nah, itu dia yang dinamain royalti. Uang yang ngikutin karya lo, bukan lo yang ngejar uang.
Gue inget banget, waktu itu ada temen gue, si Arga, musisi indie. Dia cuma modal gitar akustik dan sedikit bumbu patah hati, bikin lagu, upload ke Spotify. Nggak lama, ada sinetron lokal pake lagunya buat soundtrack. Boom! Royalti ngalir. Si Arga udah kayak dapet THR tiap bulan, padahal lagunya cuma direkam sekali.
Jadi… Royalti itu apa sih?
Kalau buka KBBI, jawabannya formal banget: “uang jasa yang dibayarkan orang lain atas sesuatu yang diproduksi pihak yang punya hak paten atau hak cipta”. Tapi kalau bahasa tongkrongan: duit respect yang lo terima karena karya atau properti intelektual lo dipake orang lain.
Lo bikin, orang pake, mereka bayar. Simple.
Biasanya royalti dihitung dari persentase pendapatan yang dihasilkan dari karya lo. Bisa dari penjualan langsung, lisensi, atau hak penggunaan. Yang penting, ada perjanjian yang jelas di awal biar nggak ada drama di belakang.
Kalau ada jurus bisnis yang bisa bikin lo tidur nyenyak tapi rekening tetep terisi, itu namanya royalti.
Bukan trik sulap, bukan investasi crypto abal-abal, tapi sistem legal yang udah dipake sejak zaman nenek moyang industri kreatif — dari musisi, penulis, sampai pengusaha franchise.
Royalti itu sederhananya gini: lo punya karya atau hak kekayaan intelektual (HAKI) — bisa musik, buku, film, desain, merek dagang, resep rahasia, atau software — terus lo kasih izin ke orang lain buat pake, dan mereka bayar lo.
Udah. Sesimpel itu.
Dan yang paling keren, lo tetep punya hak kepemilikan atas karya itu. Jadi meskipun orang lain makai, lo nggak kehilangan otoritas.
Dasar Hukumnya? Bukan Main-main
Di Indonesia, skema royalti udah diatur di Pasal 4 UU No. 36 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Di situ dijelasin kalau royalti itu termasuk hak cipta di bidang seni, sastra, ilmu pengetahuan, merek dagang, desain, sampai rahasia dagang. Bahkan penggunaan spektrum radio komunikasi atau motion picture buat TV pun dihitung royalti.
Gue nemuin pas riset, ada satu kasus di Jogja, seorang fotografer nuntut sebuah brand minuman karena fotonya dipake di billboard tanpa izin. Endingnya? Brand itu harus bayar royalti plus kompensasi. Jadi, ini bukan sekadar teori, bro.
Jenis-jenis Royalti yang Bikin Kantong Tebal
- Royalti Waralaba (Franchise)
Lo buka cabang KFC, Starbucks, atau M Chicken (iya ada, serius), lo nggak cuma bayar biaya awal. Ada ongoing royalty yang harus lo setorin tiap bulan, biasanya persentase dari omzet.
Contoh: Buka M Chicken, biaya awal Rp7 juta. Tiap bulan lo setor royalti 5-10% dari omzet ke pusat. Mereka kasih lo brand, resep, SOP — lo kasih mereka uang. Fair kan? - Royalti Pertunjukan (Performance Royalty)
Kalau lagu lo diputer di radio, café, bioskop, atau konser, lo berhak terima royalti. Ini yang bikin musisi senior kayak Iwan Fals atau Dewa 19 masih cuan walau nggak rilis lagu tiap tahun. - Royalti Paten
Buat inventor yang punya produk atau teknologi unik. Misal lo nemuin formula obat, terus perusahaan farmasi pake paten lo, mereka harus bayar royalti. Bisa eksklusif atau non-eksklusif, tergantung perjanjiannya. - Royalti Buku
Penulis tuh hidup dari sini. Lo nulis novel, penerbit jual 10.000 eksemplar, tiap buku lo dapet 10% dari harga jual. Lo cuma nulis sekali, duitnya ngalir setiap buku kejual. - Royalti Mineral & SDA
Kalau lo punya tanah yang dipake perusahaan tambang buat ngambil batu bara, emas, atau minyak, lo dapet royalti sesuai persentase hasil tambang. Udah ada aturannya di UU Minerba.
Pajak Royalti: Negara Pun Ikut Cicip
Di Indonesia, royalti nggak lepas dari pajak. Pemerintah masuk lewat PPh Pasal 23 (buat subjek pajak dalam negeri) dan Pasal 26 (buat subjek luar negeri).
PPh Pasal 23
- Tarifnya 15% dari penghasilan bruto buat yang punya NPWP.
- Kalau nggak punya NPWP, bisa naik sampai 30% atau bahkan 100% dari tarif normal.
PPh Pasal 26
- Buat subjek luar negeri, tarifnya 20% dari bruto, kecuali ada perjanjian P3B sama negara asal si penerima royalti.
Contoh Kasus Nyata
Mayang, musisi lokal, punya lagu “Sekolah” yang viral di TikTok. Spotify bayar royalti Rp50 juta. Karena Mayang punya NPWP, dia kena PPh 23 sebesar 15%:
Rp50 juta × 15% = Rp7,5 juta.
Kalau dia nggak punya NPWP? Bisa melonjak sampai Rp15 juta. Kalau dia tinggal di luar negeri, tarifnya jadi 20%.
Kenapa Royalti itu Krusial?
- Lindungi Karya Lo: Tanpa sistem royalti, orang bisa seenaknya pake karya lo tanpa bayar.
- Passive Income: Lo bikin sekali, hasilnya bisa selamanya.
- Dorong Kreativitas: Orang jadi semangat bikin karya kalau ada imbalan jelas.
Masalah di Lapangan
Di Indonesia, masalah royalti sering muncul karena:
- Kurangnya Edukasi: Banyak kreator nggak tau hak mereka.
- Perjanjian Nggak Jelas: Akhirnya ribut di belakang.
- Sistem Monitoring Lemah: Sulit ngukur penggunaan karya, terutama musik.
Makanya banyak yang ujung-ujungnya manggil konsultan pajak atau lawyer HKI buat ngurus semua legal dan hitungan pajaknya.
Royalti itu bukan cuma angka di kontrak, tapi cermin dari nilai karya lo. Lo bisa miskin secara finansial tapi kaya secara ide, dan kalau ide itu lo kelola bener, negara pun nggak bakal protes lo tajir. Cuma ingat, aturan mainnya jelas, pajaknya harus beres, dan jangan mau dibodoh-bodohin pihak yang mau pake karya lo gratisan.
baca juga
- Rakyat Melepas Sri Mulyani, Bagaimana Masa Depan Keuangan RI ?
- Pajak AI
- Robot Kena Pajak?
- AI Tax di Indonesia
- Rekomendasi Konsultan Pajak 2026 Versi Gen Z
Royalti: Cuan Tanpa Keringetan, Brand Makin Melejit
Sekarang kita bedah pelan-pelan kenapa royalti ini jadi ultimate weapon buat dapetin penghasilan tanpa capek-capek ngurus operasional tiap hari.
1. Penghasilan Pasif: Duit Jalan, Lo Santai
Lo pernah nggak liat musisi yang udah vakum bertahun-tahun tapi lagunya tetep diputar di radio, TikTok, atau Spotify, dan dia tetep dapet duit?
Itulah passive income dari royalti.
📌 Contoh real di Indonesia
- Lagu “Bento” Iwan Fals yang udah rilis dari tahun 1991, masih aja diputer di berbagai platform. Setiap kali lagu itu diputar, ada cuan yang masuk.
- Penulis novel kayak Andrea Hirata, walaupun nggak terbitin buku tiap tahun, tetep dapat royalti dari Laskar Pelangi yang laris manis dan difilmkan.
Buat pebisnis non-kreatif, konsepnya sama. Misal lo punya desain kemasan minuman unik, terus ada brand minuman kekinian yang mau pake desain itu, lo kasih lisensi dan tiap bulan mereka bayar royalti.
Lo nggak perlu ikut ngitung bahan baku, nggak perlu hire kasir, tapi duit tetep ngalir.
2. Ekspansi Bisnis: Karya Lo Jalan ke Mana-Mana
Royalti juga jadi jalan ninja buat memperluas bisnis tanpa harus buka cabang sendiri.
Ini yang dipake sama franchise besar kayak McDonald’s, KFC, sampai brand lokal kayak Es Teh Indonesia atau Kopi Kenangan.
Mereka nggak buka semua gerai sendiri, tapi kasih lisensi atau franchise ke pihak lain.
Pihak itu yang modalin, urus operasional, dan bayar royalti ke pemilik merek.
📌 Case Study Lokal
- Bakso Boedjangan: Mereka mulai dari satu outlet di Bandung, sekarang udah ada puluhan di berbagai kota. Rahasianya? Sistem franchise + royalti.
- Kopi Kenangan: Meski sebagian besar outlet dikelola sendiri, mereka juga buka peluang kemitraan dengan model royalti. Jadinya brand cepat melebar tanpa harus keluar modal besar untuk semua cabang.
Manfaatnya jelas: jangkauan brand lo makin luas, tapi lo nggak perlu pusing urus SDM di tiap cabang. Lo fokus aja di branding, inovasi produk, dan jaga kualitas merek.
3. Naikin Value Brand: Dari Biasa Jadi Ikonik
Ini efek samping paling manis dari sistem royalti: brand lo naik kelas.
Semakin banyak pihak yang pake merek atau karya lo (secara resmi), semakin besar eksposur yang lo dapat.
Lama-lama, brand lo punya perceived value yang tinggi.
Misalnya, dulu ada brand minuman lokal yang cuma terkenal di satu kota. Begitu mereka kasih lisensi ke kota lain, namanya makin dikenal. Media mulai liput, influencer mulai nyebut, bahkan kadang muncul di acara TV.
Nilai brand naik bukan cuma di mata konsumen, tapi juga di mata investor.
📌 Contoh Global
- Disney: Karakter-karakter mereka kayak Mickey Mouse, Frozen, Marvel, itu semua dijual lisensinya ke mainan, baju, bahkan peralatan makan. Nilai brand Disney jadi triliunan dolar gara-gara strategi lisensi + royalti ini.
Kenapa Royalti Jadi Senjata Rahasia Pengusaha & Kreator
Karena ini win-win solution. Lo nggak kehilangan hak milik, pihak lain bisa berkembang pake karya lo, dan lo dapet bayaran rutin.
Dan yang bikin makin mantap, royalti itu nggak kenal batas geografis.
Lo bisa lisensiin karya lo ke luar negeri tanpa harus buka kantor di sana.
Buat anak muda Gen Z yang kreatif, ini peluang emas.
Lo bikin musik? Upload di platform yang punya sistem royalti.
Lo jago desain? Jual lisensi di marketplace desain.
Lo punya brand minuman? Buka peluang kemitraan dengan sistem royalti.
Tantangan & Tips Main di Dunia Royalti
Nggak ada sistem yang tanpa tantangan. Di dunia royalti, yang sering kejadian adalah:
- Masalah legal: Kalau perjanjian nggak jelas, bisa bikin rugi.
- Pembayaran macet: Ada pihak yang telat atau nggak bayar royalti.
- Pelanggaran lisensi: Karya lo dipakai tanpa izin.
💡 Tips biar aman & cuan maksimal:
- Selalu bikin perjanjian tertulis yang jelas.
- Gunakan jasa konsultan HAKI atau pengacara bisnis.
- Monitor penggunaan karya atau brand lo secara berkala.
- Pilih partner yang kredibel dan punya track record bagus.
Kesimpulan: Royalti = Cuan Tanpa Drama
Royalti itu ibarat mesin ATM pribadi yang nggak ada di mal, tapi ada di hukum.
Selama lo punya karya atau merek yang kuat, dan lo mainnya pinter, lo bisa dapetin penghasilan pasif sambil fokus ke hal lain.
Buat Gen Z & Milenial yang udah akrab sama dunia kreatif dan bisnis digital, ini kesempatan emas.
Jangan cuma puas bikin karya sekali lalu berhenti — pikirin gimana karya itu bisa dipake berkali-kali, di banyak tempat, dan tetep bikin saldo lo gendut.
Lo tau gak, ada satu sumber cuan yang literally bisa bikin lo duduk santai sambil saldo rekening tetap gerak naik? Yap, namanya royalti. Konsepnya sih udah tua, tapi cara mainnya bisa dibikin sekeren brand fashion hypebeast kalau lo ngerti strateginya.
1. Penghasilan pasif
Gini, bayangin lo bikin satu lagu tahun ini. Terus, lagu itu diputar di radio, dipake di iklan, masuk playlist kafe, atau bahkan dipake jadi backsound TikTok anak-anak SMA. Lo gak perlu repot datangin mereka satu-satu, gak perlu produksi ulang tiap bulan, tapi duitnya tetep ngalir. Itulah pasif income model kelas atas. Saking nyamannya, beberapa seniman besar di Indonesia sampai bisa survive cuma dari royalti tanpa harus keluar rumah, kayak band yang lagunya udah jadi anthem nasional.
2. Ekspansi bisnis
Nah, ini bagian yang bikin royalti jadi senjata bisnis multi-level — tapi bukan MLM murahan, bro. Lo punya merek atau karya? Dengan lisensi, lo bisa ngelepas izin pakai ke pihak lain, tapi kepemilikannya tetep di lo. Kayak franchise kopi kekinian — cabangnya di mana-mana, tapi yang punya resep dan brand tetep satu orang. Jadi lo gak cuma dapet fee dari penjualan, tapi nama lo makin sering disebut. Bahkan kalau lo mainnya pinter, lo bisa masuk pasar luar negeri tanpa ribet bikin pabrik atau hire tim baru di sana.
3. Nilai merek meningkat
Ini bagian yang sering disepelein. Lisensi itu bukan cuma soal bagi-bagi izin. Kalau dilakukan strategis, brand lo bisa naik kelas. Misalnya, dulu cuma dikenal di Jakarta, tapi gara-gara lisensi produk lo dipake di Bali, Jogja, dan Medan, exposure-nya meledak. Akhirnya, harga jual merek lo naik, investor melirik, bahkan ada yang siap beli haknya di angka yang gak masuk akal. Di dunia korporasi, ini sering kejadian pas mereka main akuisisi.
Tapi, di balik cerita manis ini, dunia royalti juga punya sisi “lapor pajak atau kena batunya”. Yes, royalti adalah objek pajak yang serius di mata DJP. Banyak yang males urus dokumennya, ujung-ujungnya kena audit. Gue pernah denger kasus musisi lokal yang kaget pas tau penghasilan dari Spotify-nya ternyata dianggap penghasilan kena pajak di Indonesia, padahal dia pikir itu cuma “uang receh dari luar negeri”.
Makanya, main di jalur ini gak bisa cuma modal karya dan optimisme. Lo butuh strategi legal yang rapih, perhitungan pajak yang on point, dan pemahaman lisensi yang jelas. Kalo enggak, cuan yang harusnya ngalir malah bocor ke denda dan penalti.
Sekarang kita ngomong serius tapi santai: royalti itu manis, tapi pajaknya bisa pahit kalau lo gak ngerti jalurnya. Di Indonesia, royalti itu termasuk penghasilan yang langsung kena PPh, baik lo perorangan atau badan usaha. Gak peduli itu duit masuk dari dalam negeri atau dari luar, DJP tetep ngeliatnya: “Oh ini penghasilan lo? sini laporin.”
Gue pernah ngobrol sama salah satu temen yang kerja di label musik besar. Dia cerita, ada musisi indie yang tiba-tiba kaget pas dapet surat cinta dari pajak. Kenapa? Soalnya penghasilan Spotify dan YouTube Music dia udah numpuk selama 3 tahun, tapi gak pernah masuk SPT. Si musisi pikir, “Ah, kan itu duitnya dari luar, kecil-kecil pula.” Padahal, sistem perpajakan kita udah main global basis income — artinya, asal lo WNI atau punya NPWP di sini, semua penghasilan global lo kena hitung.
Nah, ini yang bahaya kalau lo main di jalur royalti tapi gak punya game plan. Lo pikir cuan aman, tapi di mata pajak, lo udah minus karena ada potensi denda 2% per bulan plus bunga. Sakit gak tuh?
Cara biar aman main di dunia royalti
- Pisahin akun keuangan
Lo jangan campur duit royalti sama duit jualan atau gaji. Bikin satu rekening khusus biar gampang tracking. Ini bikin lo gampang nyusun laporan dan gak pusing pas ada audit. - Pahami tarif PPh royalti
Buat orang pribadi, PPh finalnya bisa kena tarif progresif sampai 35% kalau penghasilan lo udah nembus bracket atas. Kalau badan usaha, biasanya masuk objek PPh Badan dengan tarif flat. Bedanya? Perencanaan pajak lo harus beda, bro. - Gunakan jasa konsultan pajak yang ngerti industri kreatif
Percaya atau enggak, gak semua konsultan pajak ngerti cara nyusun laporan untuk penghasilan royalti. Yang ngerti biasanya punya klien dari musisi, penulis, atau developer software. Mereka tau celah legal buat optimasi, misal potongan biaya produksi atau perjanjian lisensi internasional. - Main di lisensi lintas negara
Kalau lo udah level internasional, pastikan lo ngerti perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Ini yang bikin royalti lo dari luar negeri gak kena potong pajak dua kali.
Gue pernah liat kasus nyata: satu brand fashion lokal lisensiin desainnya ke Singapura. Di awal dia asal bikin kontrak, gak mikir klausul pajak. Akhirnya, tiap kali dapet royalti dari sana, kena potong pajak di Singapura dan di Indonesia. Kalau aja dari awal dia pake P3B dan atur wording kontraknya bener, potongannya bisa ditekan jauh.
Moral of the story: royalti itu game dua sisi — satu sisi bikin lo santai tapi duit ngalir, sisi lain bikin lo harus waras di pajak biar gak bocor. Dan kalau lo mainnya rapi, bukan cuma cuan yang aman, tapi brand lo bisa naik kelas, punya valuasi tinggi, dan siap masuk level “gue jual merek gue kayak startup unicorn jual saham”.
Top 10 Konsultan Pajak di Indonesia yang paham banget urusan royalti & industri kreatif
1. PConsulting – Jakarta
Spesialisasi: Pajak royalti, lisensi merek, industri kreatif digital.
Keunggulan: Timnya ngerti banget P3B, terutama buat klien yang punya pasar di ASEAN. Gak cuma nyusun laporan, mereka juga bantu nyari strategi kontrak biar potongan pajak minim.
Range Harga: Mulai 15 juta per tahun, tergantung kompleksitas.
Lama Beroperasi: ±10 tahun.
Popularitas: Tinggi di kalangan startup SaaS dan label musik indie.
2. TGS AU Partners – Tangerang Selatan
Spesialisasi: Perencanaan pajak lintas negara.
Keunggulan: Punya jaringan internasional, cocok buat kreator yang main di Spotify, Netflix, atau marketplace luar.
Range Harga: Mulai 20 juta per tahun.
Lama Beroperasi: ±12 tahun.
Popularitas: Kuat di lingkaran creative agency dan game developer.
3. Artha Raya Konsultan – Bandung
Spesialisasi: Pajak UMKM kreatif, lisensi desain, dan royalti franchise.
Keunggulan: Jago edukasi klien biar ngerti konsep pajak, bukan cuma kasih laporan.
Range Harga: Mulai 8 juta per tahun.
Lama Beroperasi: ±8 tahun.
Popularitas: Populer di komunitas fashion streetwear lokal.
4. MUC Consulting – Jakarta
Spesialisasi: Perencanaan pajak korporasi kreatif.
Keunggulan: Pengalaman ngurusin brand besar, bahkan sampai ke IPO.
Range Harga: Mulai 25 juta per tahun.
Lama Beroperasi: ±20 tahun.
Popularitas: Terkenal di korporasi besar dan brand FMCG yang punya lisensi global.
5. KAP Agus Utoyo & Rekan – Surabaya
Spesialisasi: Audit pajak royalti & lisensi software.
Keunggulan: Kuat di analisis data & pembuktian transfer pricing.
Range Harga: Mulai 18 juta per tahun.
Lama Beroperasi: ±15 tahun.
Popularitas: Banyak dipakai perusahaan teknologi dan software house.
6. PKF Hadiwinata – Jakarta
Spesialisasi: Perencanaan pajak royalti lintas negara.
Keunggulan: Jaringan global PKF, ngerti banget mekanisme pajak double taxation.
Range Harga: Mulai 30 juta per tahun.
Lama Beroperasi: ±25 tahun.
Popularitas: Digunakan oleh artis besar dan perusahaan film.
7. EY Indonesia (Ernst & Young)
Spesialisasi: Royalti multinasional, entertainment, dan sport.
Keunggulan: Kapasitas global + legal advisory.
Range Harga: Mulai 100 juta per tahun.
Lama Beroperasi: ±40 tahun.
Popularitas: Top tier, kliennya raksasa industri hiburan.
8. DDTC – Danny Darussalam Tax Center
Spesialisasi: Edukasi & riset perpajakan royalti.
Keunggulan: Bukan cuma jasa, tapi juga training pajak kreatif.
Range Harga: Mulai 12 juta per tahun.
Lama Beroperasi: ±15 tahun.
Popularitas: Sering jadi rujukan media dan seminar pajak.
9. KPMG Indonesia
Spesialisasi: Pajak internasional & pengaturan lisensi brand global.
Keunggulan: Raksasa global, resource gede.
Range Harga: Mulai 80 juta per tahun.
Lama Beroperasi: ±50 tahun.
Popularitas: Dipakai oleh brand sport dan entertainment internasional.
10. TaxPrime – Jakarta
Spesialisasi: Pajak kreatif, manajemen kontrak lisensi.
Keunggulan: Punya tim yang ngerti industri digital dan startup.
Range Harga: Mulai 18 juta per tahun.
Lama Beroperasi: ±10 tahun.
Popularitas: Naik daun di kalangan e-commerce brand dan YouTuber.
Kalau lo liat list ini, keliatan jelas kalau gak semua konsultan pajak cocok buat main di jalur royalti. Ada yang fokusnya di internasional, ada yang jago di UMKM kreatif. Jadi sebelum milih, pastiin lo ngerti dulu model penghasilan lo dan skema pajak yang paling efisien.
