Storytelling that Moves the World , Belasan tahun lalu, kami pernah mengadakan workshop untuk para eksekutif selama dua hari mengenai pentingnya storytelling di dunia pemasaran. Ada banyak contoh kasus menarik yang diangkat terkait dengan penerapan storytelling di dunia pemasaran, service maupun merek. Ingat, saat itu penggunaan media sosial masih belum semasif saat ini.
Salah satu inspirasi dari program tersebut adalah sebuah artikel lawas yang diterbitkan di Harvard Business Review pada tahun 2003. Judulnya “Storytelling that Moves People”. Artikel tersebut berargumen bahwa kekuatan cerita dapat mempengaruhi orang secara emosional dan membuat mereka lebih terkesan dengan ide yang disampaikan. Kekuatan cerita bahkan diklaim bisa mengalahkan data. Kenapa? Tentu saja karena manusia itu bukan makhluk yang murni rasional! Kita ini makhluk yang emosional!
Penulis artikel tersebut adalah Robert McKee. Seorang penulis, pengajar, dan konsultan yang terkenal dengan program “Story Seminar”, yang dikembangkannya ketika dia menjadi Profesor di University of Southern California.
McKee sendiri lahir pada tahun 1941 dan memulai kariernya di teater sejak usia sembilan tahun. Masa remaja yang dihabiskannya di kota kelahirannya, Detroit, Michigan, juga tidak lepas dari dunia teater. Setelah menerima beasiswa, dia melanjutkan pendidikannya di University of Michigan dan meraih gelar sarjana dalam bidang Sastra Inggris.
McKee memulai karier dunia teaternya pada akhir tahun 1960-an di New York. Dia kemudian menjadi konsultan cerita untuk beberapa film terkenal seperti Forrest Gump, Braveheart, dan The Silence of the Lambs. Sebagai akademisi dan konsultan, dia juga telah melahirkan beberapa buku tentang storytelling, di antaranya Story: Substance, Structure, Style serta The Principles of Screenwriting.
Dari kisah hidup di atas, tidak heran jika kemudian McKee dikenal sebagai “pendukung fanatik” storytelling sebagai alat untuk mempengaruhi orang dan menggerakkan orang lain. Menariknya, kini dia juga percaya bahwa storytelling dapat membantu pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Dengan kata lain, sebagaimana judul artikel saya ini, McKee percaya bahwa storytelling bisa mengubah dunia!
WHY: THE POWER OF STORYTELLING
Apa sebenarnya kekuatan yang ada di balik sebuah cerita? Dalam beberapa kasus, kenapa kekuatannya bahkan bisa lebih efektif dibandingkan tumpukan data dan angka-angka? Saya mencatat setidaknya ada 4 kekuatan tersembunyi dari storytelling.
- Cerita membuat informasi lebih mudah diingat.
Cerita yang menarik dapat membantu audiens untuk mengingat informasi dengan lebih baik daripada hanya mendengarkan fakta atau data yang disajikan apa adanya. Hal ini karena cerita memiliki struktur yang jelas dan mudah diikuti, sehingga lebih mudah diingat oleh otak.
- Cerita bisa membangkitkan emosi
Cerita yang baik dapat membangkitkan memori dan membuat orang lebih terlibat secara emosional. Hal ini dapat membantu audiens untuk lebih memahami dan merasakan pentingnya pesan yang disampaikan.
- Membuat pesan lebih relevan
Cerita yang tepat dapat membuat pesan lebih relevan dengan kehidupan kita. Hal ini dapat membantu orang untuk lebih memahami dan merasakan pentingnya pesan yang disampaikan.
- Meningkatkan keterlibatan.
Cerita yang baik dapat meningkatkan keterlibatan audiens dalam pesan yang disampaikan. Hal ini dapat mendorong mereka untuk lebih terlibat dalam tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan si pembuat cerita.
Singkatnya, storytelling menjadi sangat powerful karena kita hidup di dunia yang emosional. Tren ini sebenarnya sudah saya sadari sejak lama. Sekitar 20 tahun yang lalu, saya bahkan sudah menulis terkait fenomena ini di dalam buku Marketing in Venus. Buku ini menjadi best seller secara nasional waktu itu.
Namun kemudian saya menyadari adanya potensi “penyalahgunaan pemasaran” lewat ide di dalam buku tersebut. Para pemasar yang serakah bisa saja membombardir pelanggan dengan pesan-pesan yang menyentuh emosi sehingga mereka tergerak untuk melakukan pembelian tanpa pertimbangan rasional yang matang. Karena itulah saya segera menulis buku berikutnya. Judulnya Marketing 3.0: From Products to Customers to the Human Spirit.
![Image or Photo Marketeers Max](https://d34xrgodg8x0lt.cloudfront.net/uploads/article/content-images/Figure%20Maestro2.png)
Di luar dugaan, buku saya bersama Profesor Philip Kotler yang diterbitkan oleh Wiley di Amerika ini sukses besar! Sejak diterbitkan pada tahun 2020, buku ini sudah diterjemahkan ke dalam 27 bahasa.
Ide utama buku ini sudah sering saya bahas di berbagai forum dan tulisan. Intinya, Marketing 3.0 membawa pesan tentang pentingnya menyatukan misi bisnis dan misi sosial di dalam pemasaran. Produk serta bisnis yang kita jalankan harus bisa memberikan profit bagi perusahaan, namun pada saat yang sama bisa memberikan dampak positif terhadap masyarakat dan lingkungan.
Lewat buku ini, saya ingin menyampaikan pesan kepada para marketer agar tidak hanya mengeksploitasi emosi pelanggan semata-mata demi keuntungan perusahaan. Gunakanlah strategi dan taktik yang menyentuh emosi, termasuk lewat storytelling, secara baik dan benar. Bahkan, lewat spirit marketing 3.0, sesungguhnya para pemasar juga bisa membantu penyebaran cerita yang bisa mengubah wajah dunia menjadi lebih baik.
WHAT: FROM MDGs TO IDG
![Image or Photo Marketeers Max](https://d34xrgodg8x0lt.cloudfront.net/uploads/article/content-images/Figure%20Maestro3.png)
Di dalam artikel-artikel sebelumnya, saya sudah sering mengatakan bahwa di tahun 2030 nanti Sustainable Development Goals (SDGs) akan jadi isu utama. Tren tersebut sebenarnya sudah bisa dilihat dari sekarang. Munculnya generasi Z yang memiliki kesadaran tinggi terhadap isu-isu sosial dan lingkungan mendorong para pelaku bisnis untuk memberikan perhatian lebih besar terhadap hal tersebut.
Kalau dirunut ke belakang, sebenarnya kita sudah lebih dulu mengenal istilah Millennium Development Goals (MDGs). MDGs adalah delapan tujuan pembangunan internasional yang ditetapkan setelah Millennium Summit pada tahun 2000. Setiap tujuan memiliki target pencapaian yang spesifik. Bagi saya, motor penggerak utama dari MDGs ini adalah pemerintah di berbagai negara.
Sebelum pelaksanaan MDGs berakhir, pada UN Summit on MDGs 2010 telah dirumuskan agenda pembangunan dunia pasca 2015. Di sinilah muncul kesepakatan baru yang dikenal dengan Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs bentuknya lebih komprehensif karena melibatkan lebih banyak negara, baik negara maju maupun berkembang. DGS juga memperluas sumber pendanaan serta melibatkan lebih banyak stakeholder di luar pemerintahan. Di dalamnya termuat 17 tujuan dan sasaran global yang ingin diraih tahun 2030 nanti. Saya beranggapan bahwa aktor utama SDGs adalah kolaborasi antara pemerintah dan pelaku bisnis.
Sekarang saya justru sedang tertarik dengan tren berikutnya. Itulah Inner Development Goals (IDGs). Berbeda dengan MDGs dan SDGs, IDGs fokus pada aspek individu. Para penggagasnya berargumen bahwa perubahan-perubahan besar di tingkat global harus tetap dimulai dari perubahan yang bersifat personal.
Kerangka kerja IDGs terdiri dari lima dimensi yang mencakup 23 keterampilan. Berikut adalah lima dimensi dari IDGs:
Being – Hubungan dengan diri sendiri
Dimensi ini fokus pada pengenalan diri sendiri melalui hubungan yang lebih dalam dengan pikiran, perasaan, dan tubuh kita. Hal ini membantu kita untuk memiliki kesadaran lebih tinggi, bertindak dengan tujuan yang jelas, dan tidak bereaksi secara berlebihan ketika menghadapi situasi yang rumit.
Thinking – Keterampilan kogniti
Dimensi ini fokus pada mengembangkan keterampilan kognitif seperti berpikir kritis, kreativitas, dan pemecahan masalah. Hal ini membantu kita untuk berpikir lebih jelas, membuat keputusan yang lebih baik, dan beradaptasi dengan perubahan.
Relating – Peduli pada orang Lain
Dimensi ini fokus pada pengembangan kecerdasan emosi, seperti empati, kasih sayang, dan kebaikan hati. Hal ini membantu kita untuk membangun hubungan yang lebih baik, berkomunikasi dengan lebih efektif, dan bekerja secara kolaboratif.
Collaborating – Bekerja dengan orang Lain
Dimensi ini fokus pada pengembangan keterampilan terkait bekerja dengan orang lain, seperti komunikasi, kolaborasi, dan penyelesaian konflik. Hal ini membantu kita untuk membangun dan mempertahankan tim yang efektif, bekerja lintas budaya, dan mengelola konflik secara konstruktif.
Acting – Membuat perbedaan
Dimensi ini fokus pada mengembangkan keterampilan terkait membuat perbedaan di dunia, seperti kepemimpinan, tanggung jawab sosial, dan pengambilan keputusan etis. Hal ini membantu kita untuk mengambil tindakan, menciptakan perubahan positif, dan berkontribusi pada kebaikan yang lebih besar.
HOW: STORYTELLING FOR GOOD
Meskipun IDGs mungkin baru akan diadopsi sebagai program global di tahun 2030, saya merasa bahwa gerakannya harus dimulai sekarang juga. Alasannya sederhana. Perubahan besar yang dilakukan pemerintah maupun perusahaan hakikatnya digerakkan oleh individu-individu di dalamnya. People matters!
Di sinilah relevansi storytelling sebagai katalisator perubahan dunia. Dengan kemampuannya untuk menyentuh dan menggerakkan emosi manusia, storytelling akan menjadi teknik yang efektif untuk mengkampanyekan isu-isu terkait sustainability. Inilah salah satu tools yang powerful untuk mencapai Inner Development Goals.
Kesadaran di tingkat personal memang bisa muncul lewat sajian angka-angka kemiskinan maupun statistik kerusakan hutan. Namun sebagaimana telah saya singgung di awal, penggunaan cerita akan bisa memberikan dampak yang lebih besar.
Masih ingat dengan film An Inconvenient Truth?
Ini adalah sebuah film dokumenter Amerika yang disutradarai oleh Davis Guggenheim dan dirilis pada tahun 2006. Film ini menampilkan presentasi multimedia dari mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, Al Gore, yang membahas tentang pemanasan global dan dampaknya terhadap planet kita.
Film ini menunjukkan bagaimana perubahan iklim telah mempengaruhi lingkungan dan mengancam keberlangsungan hidup manusia di masa depan. Film ini juga memberikan saran tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dan pemerintah untuk mengurangi dampak pemanasan global.
Ternyata pesan yang disampaikan lewat cerita semacam ini bisa memberikan dampak luar biasa. An Inconvenient Truth mendapat sambutan positif dari kritikus dan memenangkan beberapa penghargaan, termasuk Academy Award untuk Dokumenter Fitur Terbaik pada tahun 2007. Film ini juga menjadi film dokumenter terlaris di Amerika Serikat pada tahun 2006.
An Inconvenient Truth dianggap menjadi film yang sangat berpengaruh dalam memperkenalkan isu perubahan iklim kepada masyarakat luas dan memotivasi banyak orang untuk bertindak dalam mengurangi dampak pemanasan global.
Inilah contoh betapa kekuatan cerita bisa kita manfaatkan untuk kebaikan dunia. Sebagai pemasar Anda pun bisa melakukannya. Terapkanlah prinsip Marketing 3.0! Gunakanlah cerita untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan yang bisa memberikan dampak positif terhadap masyarakat dan lingkungan, sekaligus tetap bisa memberikan kontribusi terhadap perusahaan.