AI dan Diferensiasi
Tantangan yang dihadapi merek di era kecerdasan buatan (AI) adalah membangun dan memperkuat diferensiasi di tengah kompetisi sengit. Elemen inti pemasaran tetap harus dikedepankan.
Kalau anda melakukan googling AI Marketing, maka akan diperoleh sejumlah hasil pencarian yang isinya hampir mirip, meski sumber informasinya beda-beda. Jika hanya melihat sekilas, maka bisa muncul kesimpulan instan kalau AI bisa membuat diferensiasi sulit dilakukan. Kesimpulan semacam itu juga didukung dengan keberadaan generative AI yang bahkan bisa membuat siapa pun secara teoritis membuat produk digital baru.
Mengapa isu diferensiasi ini penting? Ketika meluncurkan konsep marketing komprehensif yang pertama pada tahun 1994, Conceptual Marketing Plus 2000, inti dari konsep tersebut adalah tiga elemen, yaitu positioning, differentiation dan branding. Tiga elemen tersebut menjadi bagian dari nine core elements of marketing.
Agar memudahkan banyak orang memahami konsep tersebut, pada tahun 1995 Hermawan membuat serial tulisan sebanyak 144 yang dimuat setiap hari kerja di koran Bisnis Indonesia. Salah satu tulisan yang cukup visioner saat itu adalah mengenai situasi persaingan chaotic yang dipicu oleh information technology. Padahal jangankan AI, internet saat itu belum banyak dikenal.
Namun, saat itu yang namanya teleshopping bisa menjadi pesaing supermarket karena kemampuan bersaing dengan memangkas jarak dan waktu. Tentu yang namanya teleshopping saat itu untuk ukuran sekarang masih tradisional. Meski secara teoritis bisa menawarkan banyak pilihan, tapi tidak mudah bagi teleshopping provider untuk menyediakan sebanyak mungkin daftar pilihan barang.
Meski banyak keterbatasan, tapi fenomena teleshopping itu sudah dianggap sebagai sebuah ancaman yang bisa mengancam kelangsungan usaha supermarket. Karena itu salah satu supermarket besar di Jakarta, setelah mengetahui “kelemahan” teleshopping saat itu adalah menawarkan tempat belanja yang luas dengan pilihan produk dan merek yang banyak. Pelanggan bisa memilih berbagai alternatif produk dengan mudah.
Tapi sebesar-besarnya supermarket tetap akan ada batasan jumlah yang bisa ditawarkan. Selain itu biaya penyediaan alternatif produk dan merek yang banyak juga tidak murah. Belum lagi masalah pengecekan produk dan merek yang laris dan tidak laris.
Saat Hermawan mulai membuat serial tulisan di harian Bisnis Indonesia pada tahun 1995, Amazon belum genap setahun beroperasi. Saat itu, Amazon bahkan hanya berbisnis penjualan buku secara online. Padahal Jeff Bezos sebagai pendiri Amazon bukannya tidak tahu fenomena teleshopping.
Pada masa itu, Jeff Bezos memang sudah percaya bahwa yang namanya teleshopping untuk buku mesti punya diferensiasi. Ini bukan hanya mesti menawarkan pilihan buku yang jauh lebih banyak dari toko buku, tapi juga mesti bisa dikirimkan kemana pun dengan cepat dan harga yang terjangkau. Ini butuh learning by doing yang tidak mudah bukan hanya di Amazon, tapi juga berbagai pelaku usaha yang masuk dalam value chain penjualan buku secara online. Semuanya mesti merasakan kenyamanan yang lebih baik dan memang bisa menghasilkan produktivitas yang lebih baik.
Yang menarik, meski terminologi AI belum digunakan pada saat itu, pada praktiknya, konsep dan prinsip AI sudah digunakan Jeff Bezos untuk terus menerus menampilkan pilihan buku yang lebih banyak. Di mana yang muncul bukan hanya daftar buku yang banyak, tapi juga mengenai buku-buku yang sudah dibeli pelanggan. Yang menarik, Jeff Bezos sudah mulai merintis buku kedua dan ketiga yang juga dibeli pelanggan setelah membeli salah satu buku.
Artinya, prinsip penting AI mengenai pemetaan pola sudah mulai digunakan pada tahun-tahun awal Amazon ketika masih sebagai startup yang kecil. Prinsip tersebut sebenarnya diilhami oleh pendekatan yang dilakukan Alan Turing sewaktu bertugas untuk pemerintah Inggris menghadapi kelompok NAZI Jerman dalam Perang Dunia kedua. Saat itu, meski jumlah negara yang masuk dalam kelompok NAZI Jerman sedikit, mereka secara teknologi sangat kompetitif.
Waktu itu Inggris kerepotan menghadapi berbagai serangan NAZI Jerman. Karena itu tugas utama untuk Alan Turing dan teman-temannya adalah bagaimana cara mematahkan berbagai serangan NAZI Jerman. Seperti yang bisa dilihat di film The Imitation Game, Alan Turing kemudian menemukan pola serangan masif yang dilakukan armada pesawat tempur NAZI Jerman.
Apa polanya? Serangan dilakukan di pagi hari di jam yang sama setiap hari. Dan begitu tahu pola serangan itu, ada kejadian menarik di film tersebut.
Salah satu anggota tim Alan Turing ingin menghubungi saudaranya yang naik sebuah kapal, yang mengacu pada pola serangan NAZI Jerman akan menjadi target serangan. Pimpinan tim dan Alan Turin melarang upaya tersebut. Ini dilakukan agar NAZI Jerman tidak tahu bahwa pola serangan sudah terbaca.
Berbagai langkah yang diambil Alan Turing untuk mematahkan serangan NAZI Jerman tersebut kemudian dianggap sebagai awal penerapan AI. Alan Turing bahkan kemudian dikenal sebagai bapak AI. Padahal IT yang dipakai di masa Perang Dunia sangat ketinggalan untuk ukuran sekarang.
Yang dilakukan Jeff Bezos 50 tahun setelah Alan Turing merintis AI, bukan sekadar membuat pola, tapi bagaimana membuat mesin bisa meningkatkan produktivitas penjualan. Artinya AI sudah digunakan dalam marketing, dengan melihat selling sebagai bagian nine core elements of marketing. Dan untuk memudahkan pelanggan mengambil keputusan, selain menampilkan pola pembelian buku kedua dan ketiga, juga ditampilkan review dari buku kedua dan ketiga.
Ternyata, penerapan AI Marketing pada tahun-tahun awal Amazon membuat orang percaya bahwa teleshopping menjadi fenomena masa depan. Tentu kesuksesan Amazon kemudian mengundang munculnya pesaing di industri yang sama. Karena paham akan mendapatkan saingan, Jeff Bezos kemudian terus memperluas penerapan AI di Amazon.
Langkah tersebut membuat diferensiasi Amazon menjadi semakin kuat. Karena itu yang tertarik menjadi pelanggan bukan hanya berasal dari Amerika, tapi dari seluruh dunia. Ternyata semakin banyaknya pelanggan mendorong Amazon terus memperbaiki service berbasis AI sehingga memudahkan pelanggan untuk mengecek keberadaan dari buku yang telah dibeli sejak keluar dari gudang penjualan.
Karena itu, setelah mengetahui pola langkah Jeff Bezos selanjutnya dalam penerapan AI Marketing adalah melakukan replikasi. Karena sudah sukses dengan buku, maka Amazon pun kemudian masuk ke kategori produk lain. Ini yang kemudian membuka jalan machine learning process dengan jumlah data yang begitu besar dan pada saat ini menjadi dasar penggunaan large language model untuk AI pada era sekarang.
Proses panjang yang dilalui Amazon membuatnya bisa menjadi salah satu dari 3 besar pemain AI dunia selain Microsoft dan Google. Yang menarik, berbeda dengan Microsoft dan Google, Amazon sebetulnya belum merupakan perusahaan global kalau melihat persebaran jumlah pelanggan. Produk Microsoft dan Google bukan hanya digunakan pelanggannya dari berbagai seluruh penjuru dunia dan dengan jumlah pengguna yang begitu besar.
Dengan ketat memperhitungkan diferensiasi, Amazon merintis praktek AI-nya yang bahkan pada saat ini menghasilkan produk turunan yang begitu luas. Artinya Amazon menjadi salah satu penghasil produk AI yang besar di dunia. Semuanya bersumber dari penerapan AI dalam bisnis untuk melayani ratusan juta pelanggan secara cepat dan mudah.
Hanya saja, punya diferensiasi yang kuat tidak berarti Amazon menjual AI products paling banyak. Soalnya pembeli produk AI adalah manusia. Mereka butuh channel dan bahkan orang yang bisa mereka tanya.
Microsoft atau Google bukan hanya punya pelanggan yang tersebar di seluruh dunia, tapi juga punya kantor dan orang yang tersebar di seluruh dunia. Keberadaan channel dan orang tersebut membantunya untuk memperkenalkan AI products-nya ke calon pelanggan. Calon pelanggan pun tidak peduli apakah itu dihasilkan dari dapur Microsoft atau Google, yang penting mereka tahu ke siapa dan di mana mereka akan menghubungi untuk mendapatkan bantuan.
Belajar dari pengalaman Amazon ini, maka siapa pun juga tidak boleh sekadar menjadi pengguna, tapi juga mesti memikirkan diferensiasi. Hanya saja, setelah punya diferensiasi yang solid, maka core elements marketing lainnya juga mesti diperhitungkan. Ini bukan hanya positioning dan branding, tapi juga service dan process lalu sebetulnya juga marketing mix dan selling.