AI, Good News or Bad News Bagi Pemasar?

AI, Good News or Bad News Bagi Pemasar?

Teknologi baru biasanya hadir membawa kemudahan yang tidak ditemukan di periode sebelumnya. Namun demikian, kebaruan ini biasanya disertai dengan risiko. Bagaimana dengan kecerdasan buatan atau AI? 

Beberapa puluh tahun yang lalu ketika semua pintu tol tidak lagi menyediakan opsi membayar dengan uang cash dan berpindah menggunakan kartu uang elektronik pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana nasib penjaga pintu tol? Apa mereka masih akan mempunyai pekerjaan? 

Hal yang sama terjadi ketika perusahaan pengelola parkir yang dulu di setiap pos masuk dan keluar selalu dijaga oleh petugas, kini nihil petugas dan digantikan oleh teknologi di mana pengunjung hanya perlu menekan tombol untuk mengambil karcis dan menempelkan kartu uang elektronik untuk membayar biaya parkir. 

Sebelumnya kita juga sudah menyaksikan bagaimana era industrialisasi di mana program padat karya digalakkan. Semua pabrik berlomba-lomba untuk mempekerjakan ribuan buruh untuk merakit apapun produk yang mereka ciptakan. Sayangnya, perlahan namun pasti, tenaga buruh itu mulai terganti oleh mesin-mesin. Dan, jika kita berkaca pada negara-negara maju di mana outlet-outlet ritel, seperti departemen store dan supermarket mulai meminimalisir tenaga manusia dan menggantikannya dengan teknologi di mana pembeli bisa melakukan pembayaran barang-barang yang mereka beli tanpa bantuan kasir.

Teknologi dengan kecepatan dan kestabilannya memberikan kepastian pada para pengusaha. Bahkan, walaupun investasi yang dibutuhkan untuk mengadakan berbagai macam mesin ini tidak murah, namun dengan segala kepastian yang diberikan membuat pengusaha bisa memperhitungkan berapa produktivitas dan return of investment yang bisa didapat. 

Jika hitung-hitungan jangka menengah dan jangka panjangnya masih masuk, maka mulailah satu per satu tenaga manusia tersingkir. Kecanggihan teknologi ini pun terus berkembang, mulai dari mesin yang bisa diprogram untuk melakukan hal yang sama berulang-ulang, menjadi tenaga komputer yang mengembangkan kemampuan mesin jadi lebih canggih lagi, dan kini muncul teknologi yang bernama artificial intelligence, alias kecerdasan buatan. 

Di satu sisi, ini membawa kabar baik untuk kemanusian karena AI menjanjikan efisiensi waktu dan ketepatan. Bukan hanya untuk pekerjaan-pekerjaan mekanik tanpa berpikir yang monoton seperti bagaimana mesin e-toll card dan mesin parkir bisa digunakan, tapi bahkan pekerjaan-pekerjaan yang dulu hanya bisa dikerjakan oleh manusia dengan bantuan pikiran.

    Kini, guru dan dosen di institusi pendidikan punya tugas tambahan untuk mendeteksi apakah tugas yang dikumpulkan murid hasil karya sendiri atau hasil karya mesin kecerdasan buatan. Tapi di sisi lain, para manajer yang sibuk dan kurang beruntung karena tidak punya asisten atau sekretaris, merasa terbantu karena bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dulu hanya bisa dilakukan dengan bantuan manusia yang memiliki kemampuan tertentu seperti membalas email, membuat notulen rapat, hingga mempersiapkan presentasi. 

    Kecerdasan buatan memang begitu mencengangkan bagi banyak orang, baik secara positif maupun negatif. Di satu sisi, saya berhemat waktu dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan di atas, tapi di sisi lain, ada semakin banyak orang yang seharusnya khawatir mengenai keberlangsungan pekerjaan mereka. 

    Kecerdasan buatan mampu melakukan banyak hal yang selama ini hanya bisa dilakukan oleh manusia, bahkan dengan waktu yang lebih cepat dan akurasi lebih baik. Tidak hanya itu, kini kita tidak lagi perlu memiliki nilai IELTS 8 atau 9 untuk bisa berkorespondensi melalui email dengan partner bisnis di negara lain. Tinggal minta bantuan ChatGPT atau tools kecerdasan buatan sejenis, maka email pun siap dengan kualitas level kefasihan berbahasa yang sangat baik. 

    Sebagian pekerjaan pemasar pun jadi salah satu area di mana fitur kecerdasan buatan bisa dilibatkan untuk meningkatkan produktivitas. Mulai dari membuat draft template marketing plan, hingga melayani proses brainstorming. Walaupun teknologi yang satu ini belum bisa berjalan 100% sendiri tanpa bantuan manusia untuk pekerjaan-pekerjaan kreatif, namun bayangkan berapa banyak waktu yang bisa dihemat ketika kita memperlakukan ChatGPT sebagai teman diskusi untuk memberi kita asupan ide-ide, termasuk ide nama merek, ide tagline, hingga script promosi untuk produk yang sedang kita kerjakan. 

    Tidak matang 100% mungkin, namun dengan adanya asupan-asupan tadi maka otak kita tidak perlu memulainya dari nol, dan bahkan amat sangat terbantu dengan ide-ide yang bisa menjadi trigger untuk otak menemukan ide final yang lebih baik. Di sisi kreatif, tidak sedikit perusahaan yang sudah mulai menggunakan kecerdasan buatan ini untuk menciptakan visual produk, iklan dan bahkan video untuk keperluan promosi. Kualitasnya pun bisa diatur sedemikian rupa bahkan bisa lebih kompleks dari apa yang bisa dilakukan oleh teknik fotografi konvensional.

    Pertanyaan yang lalu muncul, apakah ini akan juga mengancam profesi-profesi marketing? Untuk menjawab hal ini kita perlu mengkaji beberapa hal. Pertama, marketing adalah tentang manusia. Marketing berasal dari kata market yang artinya pasar, jadi marketing adalah soal memasarkan produk yang tentunya kepada manusia. Karena itu, pekerjaan marketing membutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah, termasuk yang kadang muncul dengan konteks berbeda sebelum akhirnya datang dengan rekomendasi. 

    Tapi manusia juga punya dua sisi yang berbeda, di satu sisi manusia adalah mekanik yang cenderung mengulang sesuatu yang sudah nyaman dilakukan. Ini sejalan dengan program dasar otak manusia untuk selalu menghemat energi. Mengulang hal yang sudah terbukti nyaman untuk kita adalah salah satu caranya. Karena itu, kita memiliki kecenderungan untuk kembali menaiki kendaraan yang sama hampir setiap harinya ketika kita berangkat kerja. Karena berganti-ganti kendaraan dan rute setiap hari adalah hal yang menghabiskan energi kita, dan itu tidak disukai otak. 

    Di sisi lain, manusia juga punya sifat reaksi seperti kimia, di mana konteks yang bahkan sedikit berbeda bisa mengubah perilaku kita. Lihatlah bagaimana diskon yang sama setelah berulang-ulang jadi tidak menarik lagi. Makanan yang sama ketika sudah terlalu sering jadi tidak lezat lagi. Bahkan, temperatur dan kelembaban udara yang berbeda bisa membuat jumlah order ojol bisa berubah. Hal-hal semacam ini tidak semudah itu bisa dikenali oleh kecerdasan buatan, kecuali ada manusia yang “membisiki”nya. Manusia memang konsisten sekaligus tidak konsisten bergantung pada konteksnya, dan tidak mengherankan ketika marketing disebut sebagai contextual science, ilmu yang bisa dihitung dan diprediksi ketika konteksnya bisa dimengerti. Tapi tetap saja, mengerti konteks itulah jadi bagian yang cukup menantang dari marketing.

    Di sisi lain, marketing juga direncanakan dan diimplementasikan oleh manusia. We’re not thinking machines that feel, we are feeling machines that happen to think also. Kecenderungan kita lebih banyak untuk merasa ketimbang berpikir, baik sebagai konsumen yang menjadi target para pemasar, dan juga sebagai pemasar yang merencanakan strategi untuk menyasar konsumen. Kita sebagai pemasar pun tidak lantas terbebas dari bias yang juga dimiliki oleh konsumen. We see the world not as it is, but as we are. Kita melihat dunia bukan seperti apa adanya, tapi seperti apa kita. 

    Penilaian kita terhadap berbagai macam hal yang terekspos ke otak kita tidak lepas dari framing kita, dan framing itu subjective bias. Ini pula yang membuat Toyota yang sama dinilai berbeda oleh dua orang yang berbeda, yang satu memujanya, yang satu tidak menginginkannya. Jika Toyota dan segala penilaian tentangnya tidak subjektif maka semua orang akan melihat hal yang sama. Begitu juga dengan Apple, ada yang memuja-muja hingga rela bergantung dari layanan pinjol semata-mata untuk bisa tampil keren dengan iPhone terbaru, namun orang lain ada yang bahkan tidak rela membelinya meskipun ketika memiliki uang yang lebih dari cukup untuk membeli iPhone satu toko. Ini karena kita melihat segala sesuatunya dengan framing yang ada di otak kita yang sering kali kita tidak sadari. 

    Bayangkan jika framing itu ikut terbawa ketika kita sedang merencanakan strategi bisnis dan marketing kita? Berapa banyak uang yang kita pertaruhkan di sana yang ternyata bukanlah keputusan akurat karena ada conformity bias, availability bias, self serving bias, selective attention bias dan berbagai bias berbasis ego yang bermain dan membuat bagaimana kita melihat fakta-fakta market, konsumen, produk tidak dengan kacamata yang jernih dan obyektif. Dan di situlah, kecerdasan buatan bisa ikut ambil peran, yaitu meminimalisir ikut campurnya berbagai macam bias yang bisa membawa strategi kita ke kegagalan. Itu pun jika orang yang bersangkutan punya kedewasaan dan kebesaran hati yang cukup untuk mengakui bahwa mereka memiliki bias dan mau menerima apa yang direkomendasikan oleh kecerdasan buatan sebagai sesuatu yang bias-free. Di situlah tantangan paling besar dari seorang marketer. 

    Kesimpulannya, kecerdasan buatan yang ditawarkan teknologi tidak selayaknya membuat kita takut untuk tergeser dan terganti. Alasannya, pekerjaan kita masih berhubungan dengan manusia yang dinamis, yang tidak konsisten namun juga konsisten, yang logis sekaligus emosional, dan yang terkadang bersikap seperti mekanik namun terkadang seperti zat kimia. 

    Manusia berperilaku didorong bukan hanya oleh faktor fisiologis mekanis, namun juga fisiologis chemical melalui berbagai macam hormon dan neurotransmitter yang membuat kita sebegitu dinamisnya. Sementara, kecerdasan buatan tidak dibangun dengan kandungan kimiawi. Setidaknya masih butuh bisikan manusia untuk kecerdasan buatan bisa mengerti hal tersebut. Artinya, kita masih memiliki peran sentral dalam strategi marketing. Dengan catatan kita benar-benar mengerti manusia. 

    Sebaliknya, ketika apa yang kita lakukan di marketing hanya hal-hal yang berdasar pada daftar panjang “apa yang harus dikerjakan” tanpa disertai pemahaman tentang “mengapa dan bagaimana ini bisa berdampak”, maka kita amat sangat layak dan sepantasnya untuk khawatir. Terlebih kita yang kontribusinya hanya mencatat dan mengirimkan notulensi, men-draft email dan presentasi, mungkin sudah waktunya untuk upgrade kemampuan agar kita tidak terganti. 

    Leave a Comment

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    Scroll to Top