Pijak Bumi Sepatu Ramah Lingkungan

Pijak Bumi Sepatu Ramah Lingkungan , Tutup dan bangkrut dalam berbisnis sepatu menyadarkan pria ini akan pentingnya identitas merek yang jelas serta pentingnya keberlanjutan.

Keberlanjutan menjadi isu yang kini digandrungi oleh banyak merek. Tak cuma merek yang sudah mapan, merek-merek perintis pun kini mulai mendirikan usaha dengan mengusung nilai tersebut. Meskipun belum terlalu ramai, pelaku usaha yang sudah mulai menjajakan produknya dengan mengusung nilai keberlanjutan semakin bertumbuh.

Alasannya, kini masyarakat mulai paham bahwa keberlanjutan diperlukan untuk menjaga bumi pertiwi. Hal tersebut juga mengubah pola belanja konsumen. Mereka yang membeli produk-produk ramah lingkungan semakin bertambah.

Hal inilah yang dilakukan oleh Pijak Bumi pada tahun 2016. Didirikan oleh Rowland Asfales, bisnis ini mengusung keberlanjutan sebagai identitas merek hingga kini. Pijak Bumi konsisten menjajakan sepatu dengan bahan ramah lingkungan.

Namun bukan ikhtiar kepada keberlanjutan yang menjadi pendorong pertama kali bisnis ini didirikan. Perusahaan sepatu yang berasal dari Bandung, Jawa Barat ini, bermula dari sebuah insiden kehilangan sepatu di kosan pria yang karib disapa Fales. Dia bercerita, sepuluh tahun lalu, kos-kosan tempat ia tinggal sering kemalingan sepatu. 

Namun, kemalingan sepatu yang terjadi beruntun tersebut justru memunculkan ide baginya untuk memulai usaha sepatu. Sepatu-sepatu pertamanya ia jajakan di kalangan teman-temannya di kampus. Namun, bisnis pertamanya yang dijalankan sembari kuliah itu tidak berumur panjang. 

Awalnya, Fales menjual sepatunya dengan harga Rp 200.000 hingga Rp 400.000. Rupanya banyak pemain lain yang menjual sepatu dengan harga lebih murah dan lebih laku. Mau tidak mau, ia harus menutup bisnisnya. 

Bangkrutnya usaha pertama Fales meninggalkan sebuah ide baru. Fales menyadari bahwa bisnis harus memiliki identitas dan daya jual yang unik. Akhirnya, dengan modal yang tak sampai Rp 15 juta, Fales mendirikan Pijak Bumi pada tahun 2016.

Awal mulanya, Fales berkeliling untuk mencari pengrajin sepatu untuk bisnis barunya. Dalam pencariannya, ia melihat adanya kebiasaan para pengrajin sepatu yang berpotensi mengganggu kesehatan para pengrajin. Akhirnya, Fales berniat untuk membawa perubahan kecil melalui bisnisnya.

Pijak Bumi didirikan dengan menjual sepatu yang berbahan ramah lingkungan. Selain bahan, pembuatan sepatu ini juga menggunakan bahan kimia seperti lem dengan seminimal mungkin. Akhirnya, penggunaan bahan ramah lingkungan ini menjadi identitas yang diperkuat merek hingga kini.

baca juga

    “Merek harus punya identitas. Kalau merek terlalu mendengarkan market dan tidak punya identitas, akan ada merek yang lebih hebat, dan orang akan lupa tentang merek kita,” kata pria alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.

    Merek ini mengusung bisnis sirkular. Di mana sepatu yang dibuat menggunakan material plant-based atau berbahan tanaman dan juga limbah yang sudah dipilih. Seperti limbah cotton, atau kain-kain dari pabrik konveksi yang tidak terpakai. Selain itu, Pijak Bumi juga menerima reparasi sepatu konsumen yang rusak.

    Berlatar belakang ilmu desain saat menempuh pendidikan di Institut Teknologi Bandung, Fales juga menjadi desainer untuk Pijak Bumi. Ditambah dengan pengalaman bisnisnya, Pijak Bumi semakin melejit di tahun pertamanya.

    Hingga pada tahun 2020, Pijak Bumi resmi melenggang di ajang pameran sepatu The MICAM Milano yang digelar di Italia. Ajang tersebut merupakan ajang bergengsi, lantaran diikuti 30 negara setiap tahunnya. Fales juga turut menerima penghargaan Emerging Desainer pada pameran tersebut.

    Sepatu yang dijual memiliki dua lini. Untuk lini biasa, sepatu berbahan ramah lingkungan ini dibanderol mulai dari Rp 519.000 hingga Rp 900.000-an. Sementara untuk lini premium dijual mulai dari harga Rp 1 juta hingga Rp 2,8 juta.

    Penjualan merek sebagian besar dilakukan secara online. Menurut Fales, hampir 60% pembelian dilakukan online. Sementara gerai offline Pijak Bumi berada di Jalan Paskal HyperSquare, Kota Bandung, Jawa Barat. Selain itu, produknya juga dijajakan di beberapa toko di Jakarta seperti Lumine, Ashta District 8, dan Sarinah.

    Mengusung nilai keberlanjutan, bisnis yang digawangi Fales ini kian melejit. Per tahunnya, produk ini bisa menjual hingga puluhan ribu sepatu. Pijak Bumi sendiri mengalami pertumbuhan 40% sepanjang 2023.

    Namun bisnis ini tak serta merta tanpa suka duka. Selain kecolongan sepatu, bisnis pertamanya bangkrut, Fales juga masih mengalami sepak terjal selama merintis Pijak Bumi.

    Ketika pertama kali dirintis, Fales sadar betul, kepedulian terhadap berkelanjutan belum sebesar sekarang. Pasar yang coba dibidik pun tak sebesar seperti sepatu konvensional. Belum lagi dari segi bahan baku.

    “Material yang sustainable itu terbatas. Harganya juga tidak murah. Aksesnya juga tidak mudah,” cerita Fales.

    Meski begitu, ia melihat tantangan ini juga sebagai peluang untuk mengembangkan bisnis. Pijak Bumi secara sporadis menggaungkan nilai-nilai keberlanjutan sejak 2016 melalui sosial media. Secara konsisten, perlahan Pijak Bumi mulai dikenal sebagai merek yang diasosiasikan ketika membicarakan sepatu berbahan ramah lingkungan.

    Kini, ketika isu keberlanjutan sudah menjadi seksi dalam perbincangan dan gaya hidup sehari-hari, Pijak Bumi mendulang investasinya setelah tujuh tahun lebih. Kini Pijak Bumi tidak hanya menghadapi pembeli yang baru tahu seputar keberlanjutan, namun juga pembeli yang cukup kritis terhadap isu keberlanjutan. Tak jarang pembeli menanyakan perihal material hingga teknis pembuatan, untuk tahu apakah benar dalam produksinya betul-betul mengedepankan prinsip keberlanjutan.

    Sepatu buatan Pijak Bumi tak hanya laku di pasar Indonesia. Produknya sudah sampai ke 18 lebih negara. Bahkan ada dua negara yang rutin melakukan pembelian dalam jumlah besar yakni Swiss dan Jepang.

    Merek kini sedang getol menjalankan rencananya untuk penetrasi ke pasar global. Menurut Fales, pada kuartal pertama tahun 2024 ini, ada tiga pameran yang akan diikuti oleh Pijak Bumi. 

    Material yang sustainable itu terbatas. Harganya juga tidak murah. Aksesnya juga tidak mudah.

    Leave a Comment

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    Scroll to Top