ukms.or.id – Penyelesaian Sengketa Waralaba , Penyelesaian sengketa bisnis (sengketa perdata), termasuk pe nyelesaian sengketa bisnis waralaba, dapat dilakukan melalui penga dilan (Litigasi) maupun di luar Pengadilan (Non-Litigasi).
Penyelesaian sengketa bisnis melalui pengadilan dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata melalui pengadilan yang berwenang Jika sengketa tersebut menyangkut perjanjian waralaba, maka gu gatan diajukan kepada Pengadilan Negeri.
Di sisi lain, jika sengketa tersebut menyangkut kepemilikan HAKI, maka gugatan diajukan ke pada Pengadilan Niaga. Dalam perjanjian waralaba yang dibuat dalam bentuk standar biasanya juga dicantumkan tentang klausul cara pe nyelesaian sengketa dan pengadilan yang dipilih.
Penyelesaian sengketa perdata di luar Pengadilan (Non-Litigasi) lakukan dengan menggunakan Alternatif Penyelesaian Sengke (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). Penyelesaian ser keta bisnis melalui APS/ADR telah memiliki dasar hukum yang k sejak diterbitkannya UU 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif nyelesaian Sengketa. Jenis APS/ADR yang paling banyak digunakan
Sengketa bisnis tersebut bisa terjadi berkenaan dengan pelaksanaan kontrak/perjanjian yang dinilai tidak sesuai kesepakatan. Penggunaan APS/ADR pada umumnya lebih didahulukan sebelum menempuh jalur litigasi/Pengadilan. Namun demikian, APS/ADR hanya bisa dipakai untuk menyelesaikan sengketa perdata, sehingga cara ini tidak dapat i untuk menyelesaikan sengketa pidana. dipakai
Penyelesaian sengketa bisnis di luar Pengadilan (Non-Litigasi lebih banyak dipilih karena proses peradilan di Indonesia masih dianggap tidak efisien dan tidak efektif.
Para pelaku bisnis masih menganggap penyelesaian sengketa bisnis melalui Pengadilan di Indonesia kurang bersahabat dengan dunia bisnis karena prosesnya sangat lama, biayanya mahal, prosedurnya berbelit-belit, tidak ada jaminan kerahasiaan, putusannya bersifat menang-kalah, dapat merusak hubungan baik para pihak, hasil putusannya sering sulit dieksekusi, cenderung lebih berpihak kepada elit penguasa dan pemodal besar, masih suburnya mafia hukum, dan lain-lain.
ka sengketa bisnis tersebut diselesaikan lewat APS/ADR model Arbitrase, maka para pihak dapat memilih sendiri hukumnya dan memilih Arbiter (wasit) yang akan memeriksa perkara.
Di samping itu, jika menggunakan APS/ADR model Negosiasi, Mediasi, dan Konsiliasi. para pihak dapat menentukan sendiri tata cara penyelesaian sengketa berdasarkan kesepakatan bersama.
Pengertian “Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sesuai Pasal angka 10 UU 30/1999, diartikan sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para phak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, egosiasi, mediasi, konsolidasi, atau penilaian ahli.
Bentuk APS/ADR yang paling umum digunakan saat ini adalah: Nego as, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase. Di samping itu, saat ini juga a banyak ditemui bentuk APS/ADR yang ke-5, yaitu Pendapat Mengikat.
Pendapat Mengikat (legal binding opinion) adalah salah bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang dilakukan para pi hak dengan cara me minta pendapat para ahli yang berkompe ten dengan pokok masalah yang diper sengketakan.
Peng gunaan “Pendapat Mengikat” saat ini telah mulai diprak tikkan dalam pe nyelesaian sengketa perdata yang khusus terjadi di bidang Pasar Modal oleh Badan Arbitrase Pasar Modal Indo nesia (BAPMI).
Pendapat Mengikat juga telah dipraktikkan di bidang Perdagangan Berjangka Komoditi oleh Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI).
Sengketa bisnis waralaba dapat pula dilakukan dengan menggunakan cara negosiasi atau musyawarah.
Perusahaan waralaba dapat bernegosiasi guna menemukan kata sepakat untuk menyelesaikan persoalan dengan cara baik-baik. Negosiasi atau musyawarah tersebut dilakukan oleh kedua belah pihak tanpa bantuan pihak penengah (Mediator).
Cara ini dipandang sebagai cara penyelesaian yang paling mudah, murah, dan cepat. Cara ini juga dinilai paling bermartabat sebab kedua pihak mencari penyelesaian yang sama sama menguntungkan alias win-win solution.
Negosiasi, dalam bahasa sehari-hari sering kita dengar padanannya dengan istilah “berunding” atau “bermusyawarah” (dalam hukum adat). Kata “negosiasi” berasal dari kata negotiation (bahasa Inggris) yang berarti perundingan. Sedangkan orang yang mengadakan perundingan disebut negosiator.
Secara umum, negosiasi diartikan sebagai upaya penyelesaian sengketa tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerjasama yang lebih harmonis dan kreatif.
Di sini para pihak berhadapan angsung secara saksama dalam mendiskusikan permasalahan ang mereka hadapi dengan cara kooperatif dan saling terbuka
Jika cara negosiasi atau musyawarah tidak berhasil, maka pihak yang bersengketa dapat menempuh cara lanjutan, yaitu melalui Mediasi. Dengan cara mediasi, kedua belah pihak melibatkan pihak ketiga sebagai pihak penengah (mediator).
Mediator yang ditunjuk pada umumnya diambilkan dari orang netral yang dinilai arif dan bijaksana serta memahami pokok permasalahan yang disengketakan.
Mediator dalam sengketa bisnis daring dapat diambilkan dari pejabat Kementerian Perdagangan, pejabat Kementerian Komunikasi dan Informatika, atau pihak lain yang dianggap netral.
Ada baiknya jika kelak Pemerintah memfasilitasi pendirian Badan Mediasi Bisnis Daring sebagaimana badan mediasi sejenis yang sudah ada seperti Mediasi Perbankan atau Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI).
Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan Suasana keterbukaan, kejujuran, dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat.
Dengan kata lain, proses mediasi adalah proses di mana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian secara memuaskan. Elemen mediasi terdiri
dari: (1) Penyelesaian sengketa sukarela; (2) Intervensi/bantuan; (3) Pihak ketiga yang tidak berpihak; (4) Pengambilan keputusan oleh para pihak secara konsensus; (5) Partisipasi aktif.69
Penyelesaian sengketa melalui Mediasi tidak ada unsur paksaan antara para pihak dan mediator, karena para pihak secara sukarela meminta kepada mediator untuk membantu penyelesaian konflik yang sedang mereka hadapi.
Oleh karena itu, mediator berkedudukan sebagai pembantu, walaupun ada unsur intervensi terhadap pihak pihak yang sedang berseteru. Dalam kondisi demikian, mediator harus bersifat netral sampai diperoleh keputusan yang hanya ditentukan oleh para pihak.
Hanya saja dalam proses penyelesaian konflik tersebut mediator berpartisipasi aktif membantu para pihak menemukan berbagai perbedaan persepsi atau pandangan.70
Six Steps in the Mediation Process
STEP 1: Agree to Mediate
STEP 2: Gather Points of View
STEP 3: Focus on Interests
STEP 4: Create WIN-WIN Options
STEP 5: Evaluate Options
STEP 6: Create an Agreement
Penyelesaian sengketa perdata di bidang perbankan juga dapat dilakukan melalui Mediasi Perbankan berdasarkan PBI nomor 8/5/ PBI/2006. Sesuai PBI 8/2006, upaya penyelesaian sengketa antara nasabah dan bank dapat dilakukan melalui jalur Non-Litigasi dengan cara Negosiasi, Konsiliasi, Mediasi, dan Arbitrase berdasarkan UU 30/1999, maupun melalui jalur Pengadilan (Litigasi). Dalam praktiknya,
penyelesaian sengketa melalui Arbitrase atau Pengadilan tidak mudah dilakukan bagi nasabah kecil karena memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Oleh karena itu, penyelesaian sengketa yang melibatkan nasabah kecil perlu diupayakan secara sederhana, murah, dan cepat melalui penyelenggaraan Mediasi Perbankan agar hak-hak mereka sebagai nasabah dapat terjaga dan terpenuhi dengan baik.
Penyelesaian Sengketa Waralaba
Asosiasi perbankan perlu segera membentuk lembaga Mediasi Per bankan yang independen. Namun demikian, mengingat pembentu kan lembaga Mediasi Perbankan independen tidak dapat dilaksanakan dalam waktu singkat sementara kebutuhan Mediasi Perbankan su dah mendesak, maka pada tahap awal fungsi Mediasi Perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia (BI).
Pelaksanaan fungsi Mediasi Perbankan oleh Bl dilakukan dengan mempertemukan nasabah dan bank untuk mengkaji kembali pokok permasalahan yang menjadi sengketa guna mencapai kesepakatan tanpa adanya rekomendasi maupun keputusan dari BI.
Fungsi Mediasi Perbankan yang dilaksanakan Bank Indonesia hanya terbatas pada penyediaan tempat, membantu nasabah dan bank untuk mengemukakan pokok permasalahan yang menjadi sengketa, penyediaan narasumber, dan mengupayakan tercapainya kesepakatan penyelesaian sengketa antara nasabah dan bank. Selanjutnya, mengingat independensi dan kredibilitas penyelenggaraan Mediasi Perbankan merupakan faktor utama yang harus ditegakkan, maka proses beracara dalam Mediasi Perbankan ditetapkan dan dilaksanakan sesuai dengan international best practices dan peraturan perundang undangan yang berlaku agar penyelesaian sengketa melalui Mediasi Perbankan tidak merugikan nasabah dan bank.
Pola penyelesaian melalui Mediasi Perbankan merupakan tindak lan jut dari prosedur penanganan pengaduan nasabah sebagaimana dia tur dalam Peraturan Bank Indonesia atau PBI Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah sebagaimana telah di ubah dengan PBI Nomor 10/10/PB/2008. Terkait dengan pelaksa naan Mediasi Perbankan, terdapat beberapa hal yang perlu diketahui dengan mendasarkan pada PBI 8/5/PB/2006 tentang Mediasi Per bankan sebagaimana telah diubah dengan PBI 10/1/PBI/2008
Terkait dengan lembaga Mediasi, pada bidang asuransi sudah terben tuk adanya Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI). BMAI didirikan oleh 150 perusahaan asuransi yang tergabung dalam Asuransi Jiwa Indonesia, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia, dan Asosiasi Asuransi Jaminan Sosial Indonesia. Melalui lembaga BMAI ini, sengketa klaim asuransi diharapkan bisa diselesaikan lebih murah dan lebih cepat dibandingkan penyelesaian di Arbitrase atau Pengadilan.73
BMAI dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menko Perekonomian, Gubernur Bank Indonesia, Menteri Negara BUMN, dan Menteri Keuangan. Setelah dua tahun beroperasi, BMAI sudah dapat menyelesaikan 80 sengketa asuransi. Salah satu faktor yang menyebabkan lembaga BMAI dilirik masyarakat adalah inisiatif dari perusahaan asuransi untuk membawa sengketa itu kepada BMAI. Selain itu, lembaga ini tidak menarik biaya apa pun kepada pemegang polis asuransi jika ingin mengajukan sengketa terhadap perusahaan asuransi.74
Mediasi juga dikenal dalam proses penyelesaian sengketa melalui Pengadilan. Mediasi Pengadilan ini diatur dalam Peraturan Mahka mah Agung (PERMA) Nomor 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Me diasi di Pengadilan sebagaimana telah dicabut berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 01 Tahun 2008. Salah satu per timbangan diterapkannya Mediasi Pengadilan adalah karena Media si merupakan salah satu alat efektif untuk mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di Pengadilan, sehingga penyelesaian sengketa diharapkan lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses ke pada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan para pihak.75
Konsiliasi berasal dari kata Inggris conciliation yang berarti: perdama ian, persesuaian, ajakan (untuk berdamai); sedangkan kata conciliator diartikan sebagai “perantara perdamaian”. Istilah Mediasi dan Konsi liasi sering digunakan saling menggantikan karena hakikatnya ham pir sama walaupun terdapat perbedaan. Keduanya merupakan cara penyelesaian sengketa yang para pihaknya secara sukarela mencan penyelesaian melalui perundingan untuk menyelesaikan suatu masa lah dengan bantuan pihak ketiga yang tidak memihak.
(www.employmentlaw.co.uk)
Perbedaan konsiliasi dengan mediasi adalah pada kadar keterlibatan pihak ketiga/penengah. Pada konsiliasi, penengah hanya bertindak sebagai fasilitator yang hanya mempertemukan para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, sedangkan pada mediasi penengah berusaha secara aktif membantu para pihak yang bersengketa menemukan dan menawarkan solusi yang tepat dan bermanfaat. Sementara arbitrase menempatkan pihak ketiga (Arbiter) lebih tegas daripada konsiliasi dan mediasi karena arbiter dapat membuat keputusan setelah membaca dan mendengar hal hal yang dikemukakan oleh para pihak yang bersengketa sehingga arbitrase disebut juga quasi-judicial.76
Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa secara damai.
Konsiliasi dan mediasi sulit untuk dibedakan. Istilahnya acapkali digunakan dengan bergantian. Perbedaan antara kedua istilah ini, yaitu “konsiliasi lebih formal daripada mediasi”. Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkannya kepada Suatu komisi orang-orang yang bertugas untuk menguraikan menjelaskan fakta-fakta dan (biasanya setelah mendengar para pihal
dan mengupayakan agar mereka mencapai suatu kesepakatan)
CONCILIATION Sengketa bisnis waralaba apabila tidak berhasil disele saikan dengan cara negosia si, mediasi, atau konsiliasi, dapat diselesaikan dengan cara arbitrase. Karena hingga kini belum ada lembaga Ar bitrase yang khusus menanga ni sengketa bisnis daring, maka para pelaku bisnis daring dapat menggunakan lembaga Arbitrase yang sudah ada seperti Badan Ar bitrase Nasional Indonesia (BANI) yang didirikan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN). SERVICE
membuat usulan-usulan untuk suatu penyelesaian, namun keputusan tersebut tidak mengikat.”
Jika sengketa tersebut berkaitan dengan kegiatan bisnis berbasis syariah, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di sisi lain, sengketa antara konsumen dengan pelaku bisnis daring dapat pula diselesaikan melalui lembaga bernama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang dibentuk berdasarkan UU Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).
baca juga
Arbitrase berasal dari kata arbitrase (Latin), arbitrage (Belanda),
arbitration (Inggris), schiedpruch (Jerman), dan arbitrage (Perancis), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau perdamaian oleh Arbiter atau Wasit.
Kamus Hukum Ekonomi ELIPS, menyatakan: arbitration, arbitrase, atau perwasitan adalah metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan memakai jasa wasit atas persetujuan para pihak yang bersengketa dan keputusan wasit mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan pengertian arbitrator/arbiter/wasit adalah orang (bukan hakim) yang bertugas memeriksa dan mengadili perkara menurut tata cara
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa di luar lembaga litigasi atau peradilan yang diadakan oleh para pihak yang bersengketa atas dasar perjanjian atau kontrak yang telah mereka adakan sebelumnya atau sesudah terjadinya sengketa. Para pemutus atau arbiternya dipilih dan ditentukan oleh para pihak yang bersengketa dengan tugas menyelesaikan persengketaan yang terjadi di antara mereka. Pemilihan arbiter seyogyanya didasarkan pada kemampuan dan keahliannya dalam bidang tertentu dan dapat bertindak secara netral.78
“Arbitrase” menurut Pasal 1 angka 1 UU 30/1999 adalah cara ” penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. “Perjanjian Arbitrase” menurut Pasal 1 angka 3 UU 30/1999 adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”. Selanjutnya, Pasal 3 UU 30/1999 menyatakan bahwa Pengadilan
Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam Perjanjian Arbitrase.
Untuk mengetahui apakah para pihak menggunakan Arbitrase atau tidak, dapat kita ketahui dari Perjanjian Arbitrase yang mereka buat. Perjanjian Arbitrase harus dibuat dalam suatu akta, baik akta Kompromitendo maupun akta Kompromis. Akta Kompromitendo dibuat sebelum terjadi sengketa, dapat dibuat bersamaan dengan saat pembuatan perjanjian pokok atau sesudahnya. Sedangkan Akta Kompromis dibuat setelah terjadi sengketa yang terkait dengan pelaksanaan perjanjian.
Lembaga Arbitrase terdiri dari Arbitrase Institusional dan Arbitrase Ad Hoc. Arbitrase Institusional adalah Arbitrase yang bersifat permanen atau berbentuk organisasi yang menyediakan jasa administrasi dan pengawasan proses Arbitrase, membuat prosedur Arbitrase, dan pengangkatan Arbiter. Arbitrase Ad Hoc adalah Arbitrase yang bersifat sementara, dibentuk khusus untuk menyelesaikan kasus tertentu, dan setelah tugasnya selesai maka badan ini bubar dengan sendirinya.
Arbitrase Institusional yang ada di Indonesia saat ini adalah: 1. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang didirikan oleh Ka mar Dagang dan Industri (KADIN) pada tanggal 3 Desember 1977
2. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang didirikan Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 21 Oktober 1993. BAMUI sejak tanggal 24 Desember 2003 berubah nama menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
3. Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) yang didirikan 9 Agustus 2002 oleh Bapepam, Bursa Efek, PT. Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), dan 17 asosiasi Pasar Modal Indonesia.
4 Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) yang didirikan pada 7 November 2008 oleh PT. Bursa Berjangka Jakarta (BBJ), PT (Persero) Kliring Berjangka Indonesia (KBI), Asosiasi Pialang Berjangka Indonesia (APBI), dan Ikatan Perusahaan Pialang Berjangka Indonesia (IP2BI).
Tujuan pendirian BANI adalah untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di bidang perdata mengenai perdagangan, industri, dan keuangan, yang bersifat nasional maupun internasional. Sedangkan tujuan pendirian BAMUI atau BASYARNAS adalah sebagai badan permanen yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, dan lain sebagainya di kalangan umat Islam di Indonesia.
BAPMI didirikan untuk menyelesaikan sengketa perdata/bisnis di luar Pengadilan yang terjadi di Pasar Modal melalui: Pendapat Mengikat, Mediasi, dan Arbitrase. Sedangkan BAKTI didirikan untuk menyelesaikan sengketa perdata/bisnis di luar Pengadilan di bidang Perdagangan Berjangka Komoditi di Indonesia. BAKTI hanya menyediakan jasa layanan Arbitrase dan Pendapat Mengikat, sebab Mediasi di bidang Perdagangan Berjangka Komoditi dilakukan oleh BAPPEBTI. Para pihak yang bersengketa dapat meminta BAKTI membuat Pendapat Mengikat atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian berdasarkan Pasal 52 UU 30/1999.
Arbiter atau “Wasit” adalah seseorang atau lebih yang dipilih para pihak yang bersengketa atau ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau
ditunjuk oleh lembaga Arbitrase, untuk memberikan putusan yang berkaitan dengan sengketa tertentu yang penyelesaiannya telah disepakati untuk diserahkan melalui Arbitrase. Proses acara dalam sidang Arbitrase mirip dengan sidang Pengadilan, sehingga banyak kalangan menyebut Arbitrase sebagai lembaga “semi Pengadilan”. Bedanya, putusan Arbitrase bersifat final dan mengikat, sementara putusan Pengadilan masih dapat diajukan banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali (PK).
Ada beberapa hal penting dari UU 30/1999 di antaranya putusan Arbitrase dinyatakan sebagai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dapat langsung dimintakan eksekusi kepada Pengadilan Negeri (sesuai Pasal 60 dan Pasal 62) dan secara eksplisit menetapkan bahwa Arbitrase memiliki kewenangan mutlak terhadap kewenangan Peradilan Umum sesuai Pasal 3 yang berbunyi “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa yang memiliki klausul Arbitrase”.
Alasan terpenting pelaku usaha memilih Arbitrase dibanding Penga dilan adalah karena kecakapan dan keahlian Arbiter, terutama dalam perkara yang memerlukan pengetahuan teknis khusus. Para Arbi ter dan pihak yang bersengketa berasal dari lingkungan yang sama sehingga mengetahui “isi perut” masing-masing. Alasan lain dipi lihnya Arbitrase adalah proses pemeriksaan perkara dilakukan secara rahasia, sehingga tidak diketahui publik. Penyelesaian perkara di Pen gadilan sangat lambat meski sudah ada ketentuan harus dilakukan secara cepat, sederhana, dan biaya murah.
Penyelesaian melalui Arbitrase dilakukan secara damai di mana para pihak dapat memilih sendiri para Arbiter yang akan memutus dan mengadili perkara. Pemilihan Arbitrase dan Arbiter didasarkan kesepakatan dalam perjanjian yang bersifat umum maupun khusus Pemilihan Arbitrase juga didasarkan pertimbangan tetap menjaga hubungan baik dengan mitra dagang agar tidak rusak pasca penyelesaian sengketa. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan bersifat terbuka dan konfrontatif sehingga dapat merusak hubungan bisnis.
Pemilihan cara penyelesaian sengketa harus didasari pertimbangan efisiensi dan efektivitas. Pelaku bisnis daring tentu tidak ingin jika cara
dipilih justru tidak dapat menyelesaikan masalah, atau malah menimbulkan masalah baru. Mereka juga tidak ingin menggunakan penyelesaian yang berbiaya besar dan memakan waktu lama. Jalam menentukan cara penyelesaian sengketa, jangan sampai kita nenggunakan pendekatan emosional, kecuali hanya berdasarkan ut nurani dan akal sehat. Cobalah prinsip penyelesaian masalah g bukan bersifat “menang-kalah”, melainkan “win-win solution” yang atau sama-sama menang.
Penyelesaian sengketa bisnis waralaba dapat dilakukan melalui jalur Litigasi (Pengadilan) atau jalur Non-Litigasi (di luar Pengadilan).
Penyelesaian melalui jalur Non-Litigasi sebaiknya lebih diutamakan karena cara ini dinilai lebih efisien dan efektif dibandingkan Litigasi
Penyelesaian melalui jalur Non-Litigasi dapat ditempuh antara lain dengan menggunakan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR).
Dasar Hukum: UU 30/1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Jenis APS/ADR yang dapat digunakan:
NEGOSIASI (Negotiation)
MEDIASI (Mediation)
KONSILIASI (Conciliation)
ARBITRASE (Arbitration)
PENDAPAT MENGIKAT (Legal Binding Opinion)