ukms.or.id – Perjanjian & Prospektus Waralaba , Perjanjian waralaba (Franchise Agreement) adalah perjanjian kerjasama bisnis waralaba yang dibuat secara tertulis antara pemberi waralaba (franchisor) dengan penerima waralaba (franchisee), yang di dalam perjanjian tersebut juga terkandung perjanjian lisensi HAKI dan ketentuan-ketentuan lain yang terkait dengan penyelenggaraan sistem bisnis waralaba secara keseluruhan.
Perjanjian waralaba harus dibuat terlebih dahulu sebelum pemberi waralaba dan penerima waralaba melaksanakan kegiatan bisnis waralaba. Bahkan, sesuai aturan hukum yang berlaku saat ini, pember waralaba diwajibkan untuk menyampaikan Prospektus Penawaran Waralaba kepada calon penerima waralaba sebelum kedua belah pihak menandatangani perjanjian waralaba.
Perjanjian Waralaba (Franchise Agreement)
Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia. Dalam hal perjanjian waralaba tersebut ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
Ketentuan semacam ini tidak kita jumpai dalam hal pembuatan perjanjian lisensi HAKI. Kewajiban untuk membuat perjanjian waralaba berbahasa Indonesia kemungkinan besar dilatarbelakangi tekad Pemerintah untuk melindungi para pelaku UMKM dan pengusaha nasional yang banyak terlibat sebagai penerima waralaba asing
Sesuai ketentuan Pasal 10 Ayat (1) PP 42/2007, pemberi waralaba (Franchisor) diwajibkan mendaftarkan Prospektus Penawaran Waralaba sebelum membuat perjanjian waralaba dengan penerima waralaba Pendaftaran Prospektus Penawaran Waralaba dapat dilakukan oleh pihak lain yang diberi kuasa. Di sisi lain, sesuai ketentuan Pasal 11 Ayat (1) PP 42/2007, penerima waralaba (franchisee) diwajibkan mendaftarkan perjanjian waralaba yang sudah disepakati. Pendaftaran perjanjian waralaba ini juga dapat dilakukan oleh pihak lain yang diberi kuasa.
Ketentuan Pasal 11 PP 42/2007 yang mewajibkan penerima waralaba (franchisee) untuk mendaftarkan perjanjian waralaba, dan bukannya mewajibkan pemberi waralaba (franchisor), kemungkinan didasari pertimbangan untuk membagi beban kewajiban di antara kedua pihak secara adil. Sebagaimana diketahui, pemberi waralaba (franchisor) selaku pemilik HAKI juga diwajibkan untuk mendaftarkan HAKI dan perjanjian lisensi HAKI kepada instansi berwenang (Ditjen HKI).
Pemberi waralaba (franchisor) juga diwajibkan mendaftarkan Pros pektus Penawaran Waralaba kepada instansi yang berwenang (Ke menterian Perdagangan cq Ditjen Perdagangan Dalam Negeri). De ngan demikian, jika pemberi waralaba masih ditambah kewajiban un tuk mendaftarkan perjanjian waralaba maka hal ini tentu saja terasa kurang adil. Bagaimanapun juga, dalam perjanjian waralaba, kedua belah pihak adalah mitra usaha yang mempunyai kedudukan hukum yang setara
Dalam praktiknya, karena perjanjian waralaba pada prinsipnya juga memuat perjanjian lisensi HAKI, maka pemberi waralaba (franchisor) apabila hendak mendaftarkan perjanjian lisensi HAKI kepada Ditjen HKI cukup membawa dokumen perjanjian waralaba, sehingga tidak perlu membuat perjanjian lisensi HAKI tersendiri.
Perjanjian & Prospektus Waralaba
Jadi dalam hal pendaftaran perjanjian waralaba ada pembagian tugas, yaitu:
1. Pemberi waralaba (franchisor) bertugas membawa perjanjian waralaba sebagai perjanjian lisensi HAKI untuk didaftarkan kepada Ditjen HKI,
2. Penerima waralaba (franchisee) bertugas membawa perjanjian waralaba untuk didaftarkan kepada instansi yang berwenang menerbitkan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW).
Sesuai UU di bidang HAKI, perjanjian lisensi HAKI (dalam hal ini berbentuk perjanjian waralaba) yang tidak didaftarkan kepada Ditjen HKI atau Kantor Pusat PVT tidak memiliki akibat hukum kepada pihak ketiga. Artinya, perjanjian lisensi HAKI (perjanjian waralaba) tersebut tidak dapat dialihkan kepada pihak ketiga.
Dengan kata lain, perjanjian lisensi HAKV/perjanjian waralaba yang tidak didaftarkan kepada Ditjen HKI tidak otomatis batal demi hukum, tetapi hanya dianggap seperti “perjanjian di bawah tangan” yang hanya mengikat kedua belah pihak, yaitu pemberi waralaba dan penerima waralaba. Jika misalnya penerima waralaba meninggal, maka perjanjian tersebut tidak dapat dialihkan kepada pihak ketiga, yaitu ahli warisnya. Begitu pula, jika perusahaan penerima waralaba mengalami kebangkrutan, maka perjanjian waralaba (perjanjian lisensi) tersebut tidak dapat dialihkan kepada pihak ketiga, yaitu pembeli harta pailit.
Pendaftaran waralaba kepada instansi yang berwenang menerbitkan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) memiliki akibat hukum berbeda. Pemberi waralaba atau penerima waralaba yang tidak punya STPW, tidak boleh menjalankan kegiatan bisnis waralaba di Indonesia. Pemberi waralaba yang telah memiliki Sertifikat HAKI dan telah mendaftarkan Perjanjian lisensi HAKI, namun belum memiliki STPW tetap tidak diperbolehkan menjalankan bisnis waralaba di Indonesia.
STPW baru dapat diberikan kepada pemberi waralaba (franchisor) yang telah menyerahkan bukti Prospektus Penawaran Waralaba.
4. hak dan kewajiban para pihak;
5. bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan pemberi waralaba kepada penerima waralaba;
6. wilayah usaha;
7. jangka waktu perjanjian;
8. tata cara pembayaran imbalan;
9. kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris;
10. penyelesaian sengketa; dan
11. tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian.
Pasal 6 PP 42/2007 menyatakan perjanjian waralaba dapat memuat klausula pemberian hak bagi penerima waralaba untuk menunjuk penerima waralaba lain. Penerima waralaba yang diberi hak untuk menunjuk penerima waralaba lain atau disebut pula Master Franchisee, harus memiliki dan melaksanakan sendiri paling sedikit satu tempat usaha waralaba. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kemudahan bagi pemberi waralaba dan penerima waralaba agar mereka dapat mempercepat perluasan jaringan usaha waralaba yang mereka kembangkan.
Perjanjian waralaba sesuai Permendag 53/2012 harus memuat klausul tentang:
1. Nama dan alamat para pihak (pemberi waralaba dan penerima waralaba), yaitu nama dan alamat jelas pemilik/penanggung jawab perusahaan yang mengadakan perjanjian.
2. Jenis Hak Kekayaan Intelektual, yaitu jenis Hak Kekayaan Intelek tual pemberi waralaba seperti merek dan logo perusahaan, desain outlet/gerai, sistem manajemen/pemasaran atau racikan bumbu masakan yang diwaralabakan.
3. Kegiatan usaha, yaitu kegiatan usaha yang diperjanjikan seperti perdagangan eceran/ritel, pendidikan, restoran, apotek, atau bengkel.
4. Hak dan kewajiban pemberi waralaba dan penerima waralaba, yaitu hak yang dimiliki baik oleh pemberi waralaba maupun pe nerima waralaba, seperti:
a. Pemberi waralaba berhak menerima fee atau royalti dari pe nerima waralaba, dan selanjutnya pemberi waralaba berkewa jiban memberikan pembinaan secara berkesinambungan ke pada penerima waralaba.
b. Penerima waralaba berhak menggunakan Hak Kekayaan Intelektual atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba, dan selanjutnya penerima waralaba berkewajiban menjaga Kode Etik/kerahasiaan HKI atau ciri khas usaha yang diberikan pemberi waralaba.
5. Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pema saran yang diberikan pemberi waralaba kepada penerima wara laba seperti bantuan fasilitas berupa penyediaan dan pemelihara an komputer dan program IT pengelolaan kegiatan usaha.
6. Wilayah usaha, yaitu batasan wilayah yang diberikan pemberi waralaba kepada penerima waralaba untuk mengembangkan bisnis waralaba seperti wilayah Sumatra, Jawa, dan Bali atau di
seluruh Indonesia.
7. Jangka waktu perjanjian, yaitu batasan waktu mulai dan berakhir perjanjian seperti perjanjian kerjasama ditetapkan berlaku selama sepuluh tahun terhitung sejak surat perjanjian ditandatangani oleh kedua belah pihak..
8. Tata cara pembayaran imbalan, yaitu tata cara/ketentuan termasuk waktu dan cara perhitungan besarnya imbalan seperti fee atau royalti apabila disepakati dalam perjanjian yang menjadi tanggung jawab penerima waralaba.
9. Penyelesaian sengketa, yaitu penetapan tempat/lokasi penyelesaian sengketa, seperti melalui Pengadilan Negeri tempat/domisili perusahaan atau melalui Pengadilan Arbitrase dengan menggunakan hukum Indonesia.
10. Tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian seperti pemutusan perjanjian tidak dapat dilakukan secara sepihak perjanjian berakhir dengan sendirinya apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian telah berakhir. Perjanjian dapat diperpanjang kembali apabila dikehendaki oleh kedua belah pihak dengan ketentuan yang ditetapkan bersama.
12. Jumlah gerai yang akan dikelola oleh penerima waralaba.
11. Jaminan dari pihak pemberi waralaba untuk tetap menjalankan kewajiban-kewajibannya kepada penerima waralaba sesuai de ngan isi perjanjian hingga jangka waktu perjanjian berakhir.
Waralaba harus diselenggarakan berdasarkan perjanjian waralaba yang dibuat secara tertulis antara pemberi waralaba dan penerima waralaba yang mempunyai kedudukan hukum setara dan terhadap mereka berlaku Hukum Indonesia. Perjanjian waralaba tersebut harus memuat paling sedikit klausul sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Permendag 53/2012. Selanjutnya, perjanjian waralaba tersebut harus disampaikan kepada calon penerima waralaba paling singkat 2 minggu sebelum penandatanganan perjanjian. Perjanjian waralaba harus ditulis dalam Bahasa Indonesia, atau jika perjanjian waralaba ditulis dalam bahasa asing, maka perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
Dalam hal perjanjian waralaba diputus secara sepihak oleh pemberi waralaba sebelum masa berlaku perjanjian berakhir, maka pemben waralaba tidak dapat menunjuk penerima waralaba yang baru untuk wilayah yang sama: (a) sebelum tercapai kesepakatan dalam penyelesaian perselisihan oleh kedua belah pihak (clean break) atau (b) paling lambat 6 bulan setelah pemutusan perjanjian waralaba. Penerima waralaba yang baru, dapat diberikan STPW apabila sudah terjadi kesepakatan atau paling lambat 6 bulan setelah pemutusan perjanjian waralaba.
Prinsip “clean break” tersebut di atas diberlakukan dengan maksud
agar kedua pihak (pemberi waralaba dan penerima waralaba)
bersegera menyelesaikan perselisihan di antara mereka. Namun
demikian, demi alasan kepastian hukum, Permendag 31/2008 tetap memberikan batas waktu 6 bulan setelah pemutusan perjanjian waralaba sebagai batas akhir penyelesaian sengketa tersebut.
Jika persengketaan tersebut tetap belum dapat diselesaikan setelah batas waktu 6 bulan terlewati, maka pemberi waralaba dapat melanjutkan untuk meneruskan pemberian waralaba kepada penerima waralaba yang baru. Pemberi waralaba yang baru, setelah lewat masa tenggang 6 bulan terlewati, dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW).
Aturan tentang perlunya “clean break” tersebut saat ini telah diubah berdasarkan Pasal 8 Permendag 53/2012 yang menyatakan bahwa perjanjian waralaba yang diputus secara sepihak oleh pemberi waralaba sebelum masa berlaku perjanjian waralaba berakhir, pemberi waralaba tidak dapat menunjuk penerima waralaba yang baru untuk wilayah yang sama sebelum tercapai kesepakatan dalam penyelesaian perselisihan oleh kedua belah pihak (clean break) atau sampai ada putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Menurut H. Moch Basarah dan H.M. Faiz Mufidin, objek pengaturan dalam perjanjian waralaba (franchise) dapat meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Nama dagang atau merek dagang
2. Rahasia dagang (trade secret)
3. Jasa pelatihan
4. Bantuan teknis operasional
5. Pembelian bahan dan peralatan
6. Pengawasan kualitas produk
7. Biaya waralaba (franchise fee) 8. Jangka waktu waralaba
9. Pengalihan waralaba
10. Pemutusan perjanjian waralaba
11. Perjanjian untuk tidak berkompetisi dengan franchisor
5
Prospektus Penawaran Waralaba
Perusahaan pemberi waralaba (franchisor) yang ingin mengajak calon mitra usaha untuk menjadi penerima waralaba (franchisee) haru terlebih dahulu membuat Prospektus Waralaba yang sudah didaftarkan ke Kementerian Perdagangan cq Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Pendaftaran Prospektus Waralaba merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan izin STPW bagi pemberi waralaba (franchisor).
Prospektus Penawaran Waralaba adalah keterangan tertulis dan pemberi waralaba (franchisor) yang sedikitnya menjelaskan tentang identitas, legalitas, sejarah kegiatan, struktur organisasi, keuangan, jumlah tempat usaha, daftar penerima waralaba, serta hak dan kewajiban pemberi waralaba dan penerima waralaba.
baca juga
Sesuai Pasal 7 Ayat (1) PP 42/2007, pemberi waralaba diharuskan memberikan Prospektus Penawaran Waralaba kepada calon penerima waralaba pada saat melakukan penawaran. Sedangkan sesua Pasal 4 Ayat 1 Permendag 53/2012, pemberi waralaba diharuskan
memberikan Prospektus Penawaran Waralaba kepada calon penerima
waralaba paling singkat 2 minggu sebelum penandatanganan
perjanjian waralaba. Selain daripada itu, Prospektus Penawaran Waralaba tersebut harus ditulis dan/atau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Prospektus Penawaran Waralaba, sesuai Permendag 53/2012, paling sedikit harus memuat data-data tentang:
1. Data identitas pemberi waralaba, yaitu fotokopi KTP atau paspor pemilik usaha apabila perseorangan, dan fotokopi KTP atau paspor para Pemegang Saham Komisaris dan Direksi apabila berupa badan usaha.
2. Legalitas usaha waralaba, yaitu izin usaha teknis seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Izin Tetap Usaha Pariwisata, Surat Izin Pendirian Satuan Pendidikan atau izin usaha yang berlaku di neg ara pemberi waralaba.
3. Sejarah kegiatan usahanya, yaitu uraian yang mencakup antara lain mengenai pendirian usaha, kegiatan usaha, dan pengembangan usaha.
4. Struktur organisasi pemberi waralaba, yaitu struktur organisasi usaha pemberi waralaba mulai dari komisaris, pemegang saham dan direksi sampai ke tingkat operasional.
5. Laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir, yaitu laporan keuangan atau neraca keuangan perusahaan pemberi waralaba 2 (dua) tahun berturut-turut dihitung mundur dari waktu permohonan Prospektus Penawaran Waralaba dan telah diaudit oleh akuntan publik, kecuali bagi usaha mikro dan kecil.
6. Jumlah tempat usaha, yaitu outlet/gerai usaha waralaba sesuai dengan Kabupaten/Kota domisili untuk pemberi waralaba dalam negeri dan sesuai dengan negara domisili outlet/gerai untuk pemberi waralaba luar negeri.
7 Daftar penerima waralaba, yaitu daftar nama dan alamat perusahaan dan/atau perseorangan sebagai penerima waralaba baik yang berdomisili di Indonesia maupun di luar negeri.
8. Hak dan kewajiban pemberi waralaba dan penerima waralaba, seperti:
a. Pemberi waralaba berhak menerima fee atau royalti dan pe nerima waralaba, dan selanjutnya pemberi waralaba berkewa jiban memberikan pembinaan secara berkesinambungan ke pada penerima waralaba.
b. Penerima waralaba berhak menggunakan Hak Kekayaan Intelektual atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba, dan selanjutnya penerima waralaba berkewajiban menjaga Kode Etik/kerahasiaan Hak Kekayaan Intelektual atau ciri khas usaha yang diberikan pemberi waralaba.
Perjanjian Lisensi HAKI
Warren J. Keegen dalam bukunya Global Marketing Management (1989: 294) mengatakan bahwa pengembangan usaha secara internasional dapat dilakukan sekurangnya dengan 5 cara:
1. dengan cara melakukan ekspor
2. melalui pemberian lisensi (licensing) 3. dalam bentuk waralaba (franchising)
4. pembentukan perusahaan patungan (joint ventures)
5. pemilikan menyeluruh (total ownership) yang dapat dilakukan melalui kepemilikan langsung (direct ownership) maupun akuisis
Pemberian lisensi HAKI dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk melakukan ekspansi usaha, baik ekspansi dalam lingkup nasional maupun internasional. Jika kita memiliki Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), maka kita diperbolehkan memberikan lisensi HAKI atau izin kepada pihak lain untuk menggunakan HAKI milik kita guna kepentingan bisnis (mencari keuntungan). Dalam UU HAKI memang dimungkinkan adanya hak eksklusif (hak istimewa) bagi para pencipta penemu/pendesain untuk memanfaatkan haknya secara mandin maupun dengan cara memberikan lisensi kepada pihak lain guna mendapatkan manfaat ekonomis.
Di samping memiliki Hak Ekonomis, para pencipta/penemu/pendesain juga memiliki Hak Moral, yaitu hak untuk selalu dicantumkan namanya pada hasil karyanya meskipun hasil karya tersebut telah dialihkan berkali-kali kepada pihak lain.
Pemberian Hak Eksklusif, Hak Ekonomis, dan Hak Moral kepada para pencipta/penemu/pendesain merupakan bentuk penghargaan yang tinggi dari negara kepada para pemilik HAKI agar mereka semakin giat menciptakan/menemukan/mendesain hal-hal baru demi kemajuan peradaban umat manusia.
Sebagai contoh, kita memiliki HAKI berbentuk Hak Cipta atas sebuah buku teks. Sebagai Pencipta buku tersebut, kita dapat membuat perjanjian lisensi dalam bentuk Perjanjian Penerbitan dengan pihak Penerbit yang berminat menerbitkan buku kita. Dalam Perjanjian Penerbitan tersebut diatur hak dan kewajiban masing-masing piha termasuk jumlah buku yang dicetak, besaran royalti yang haru dibayarkan, dan cara pembayaran royalti tersebut. Royalti adala penghargaan yang diberikan oleh Penerbit (selaku Penerima H Cipta) kepada Penulis (selaku Pemilik Hak Cipta). Royalti terseb dapat diberikan dalam bentuk uang ataupun barang (buku).
Contoh lain kita sudah memiliki usaha pembuatan Roti Enak selama lebih dari lima tahun. Usaha Roti Enak ini kemudian berkembang dengan baik dan mendatangkan keuntungan, sehingga kita berniat untuk mengembangkan usaha ke berbagai kota lainnya. Kita pun telah mendaftarkan merek dagang “Roti Enak” kepada Ditjen HKI dan berhasil mendapatkan Sertifikat Hak Merek. Sertifikat Hak Merek atas “Roti Enak” sejatinya adalah surat bukti kepemilikan HAKI yang selanjutnya dapat kita gunakan untuk membuat lisensi Hak Merek “Roti Enak” kepada pihak lain. Dengan pemberian lisensi Hak Merek tersebut, kita sama saja dengan mengizinkan pihak lain menggunakan merek kita untuk kepentingan bisnis mereka. Sebagai pemilik Hak Merek, kita berhak mendapatkan royalti sesuai kesepakatan.
Dalam praktiknya, sebagai pemberi lisensi Hak Merek, kita tidak dapat leluasa mengontrol cara bisnis para penerima lisensi sehingga ada kemungkinan mereka memproduksi roti yang tidak sesuai dengan standar “Roti Enak” yang selama ini kita kembangkan. Untuk mengatasi permasalahan semacam ini, maka dikembangkanlah sistem bisnis waralaba (Franchise) sehingga kita tidak hanya memberikan lisensi Hak Merek, namun juga dapat “memaksakan” sistem bisnis kita dalam membuat “Roti Enak”: cara menyajikannya, cara memperoleh bahan-bahan bakunya, cara mengemasnya, cara menata tempat usahanya, cara promosinya, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat kita simpulkan bahwa dalam usaha waralaba juga terkandung adanya pemanfaatan HAKI dan pemberian lisensi HAKI. Agar bisnis waralaba dapat berlangsung sesuai standar yang ditetapkan oleh pemberi waralaba, maka harus didasari adanya perjanjian waralaba. Perjanjian waralaba ini pada umumnya sudah dibuat dalam bentuk standar (baku) oleh pemberi waralaba. Calon penerima waralaba hanya tinggal membaca perjanjian, dan jika setuju tinggal tanda tangan. Perjanjian waralaba tersebut selanjutnya harus didaftarkan kepada instansi berwenang guna mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW).
Berbeda dengan perjanjian waralaba, perjanjian lisensi HAKI harus didaftarkan kepada Ditjen HKI (untuk HAKI selain Hak PVT) atau kepada Kantor Pusat PVT (untuk HAKI berbentuk Hak PVT). Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Industri (Ditjen HKI) di bawah naungan Kementerian Hukum Varietas Kementerian Pertanian.
Karena dalam perjanjian waralaba mengandung perjanjian lisensi maka pemberi waralaba pada mengajukan permohonan pendaftaran Linsensi cukup membawa bukti perjanjian waralaba. Pemberi waralaba dengan demikian tidak perlu membuat lisensi secara terpisah. Perjanjian waralaba sejatinya adalah pengembangan lebih lanjut perjanjian lisensi yang ditambahi dengan aturan tentang kewajiban penggunaan sistem milik pemberi waralaba kegiatan usaha tersebut benar-benar dijalankan ditetapkan
UU tentang HAKI, yaitu UU Hak Cipta, Paten, Merek, Desain Industri, DTLST, Rahasia Dagang, dan PVT, memang mewajibkan pendaftaran atas setiap perjanjian lisensi HAKI yang dibuat oleh pencipta/penemu/ pendesain. Pendaftaran perjanjian lisensi HAKI tersebut dapat diterima jika sebelumnya telah ada Sertifikat HAKI yang dikeluarkan oleh Ditjen HKI atau Kantor Pusat PVT. Namun khusus untuk Rahasia Dagang tidak diperlukan adanya sertifikat kepemilikan hak, sehingga pemilik Rahasia Dagang cukup melakukan pendaftaran lisensi Hak Rahasia Dagang.
Perjanjian lisensi HAKI yang tidak didaftarkan kepada Ditjen HKI atau Kantor Pusat PVT tidak memiliki akibat hukum kepada pihak ketiga, artinya perjanjian lisensi HAKI tersebut tidak dapat dialihkan kepada pihak ketiga seperti diberikan kepada ahli waris penerima lisensi HAKI atau dijual kepada pihak ketiga oleh penerima lisensi HAKI. Dengan kata lain, perjanjian lisensi HAKI yang tidak didaftarkan ke instansi berwenang dianggap seperti perjanjian di bawah tangan dan hanya berlaku bagi kedua pihak yang membuat perjanjian tersebut.
Hak Kewajiban Pemberi dan Penerima Waralaba
Pemberi waralaba (franchisor) diwajibkan memberikan Prospektus Penawaran Waralaba kepada calon penerima waralaba (franchisee pada saat melakukan penawaran. Prospektus Penawaran Waralaba tersebut harus memuat paling sedikit data-data berikut:
data identitas pemberi waralaba; b. legalitas usaha pemberi waralaba;
a.data identitas pemberi waralaba
b. legalitas usaha pemberi waralaba
c. sejarah kegiatan usahanya;
d. struktur organisasi pemberi waralaba; e. laporan keuangan 2 tahun terakhir;
f. jumlah tempat usaha; g. daftar penerima waralaba; dan
h. hak dan kewajiban pemberi waralaba dan penerima waralaba
Pemberi waralaba wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pela tihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada penerima waralaba secara berkesinambung an. Pembinaan yang diberikan pemberi waralaba dilaksanakan secara berkesinambungan, termasuk melakukan pengendalian mutu dan evaluasi terhadap bisnis yang dilakukan oleh penerima waralaba.
Pemberi waralaba dan penerima waralaba, sesuai ketentuan Pasal 9 Ayat 1 PP 42/2007, diwajibkan untuk mengutamakan penggunaan barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuh standar mutu barang dan/atau jasa yang ditetapkan secara tertulis oleh pemberi waralaba. Ketentuan ini diperlukan guna menghinda pemborosan devisa negara serta untuk meningkatkan sektor usahan di dalam negeri. Penggunaan produk dalam negeri lebih diprioritaska dibandingkan produk luar negeri, sepanjang produk pengganti dan dalam negeri memang tersedia dan memenuhi standar mutu prod yang dibutuhkan. Dengan cara demikian, keuntungan dari jaringa usaha waralaba (terutama waralaba asing) tidak hanya mengalir ke luar negeri, tetapi juga mengalir ke dalam negeri.
Pemberi waralaba (franchisor), sesuai Pasal 9 Ayat 2 PP 42/2007, juga diwajibkan bekerja sama dengan pengusaha kecil dan menengah di daerah setempat sebagai penerima waralaba atau sebagai pemasok barang dan/atau jasa sepanjang memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan oleh pemberi waralaba. Ketentuan ini diperlukan guna meningkatkan peran serta pelaku usaha UMKM di daerah serta untuk menumbuhkan lingkungan bisnis dan sosial yang kondusif khususnya bagi pengembangan jaringan waralaba di daerah. Dengan cara demikian, pengembangan jaringan usaha waralaba di daerah daerah diharapkan tidak malah mematikan jaringan usaha lokal yang sudah ada di daerah tersebut.
Pemberi waralaba harus memberikan Prospektus Penawaran Waralaba kepada calon penerima waralaba paling singkat 2 minggu sebelum penandatanganan perjanjian waralaba. Waralaba harus diselenggara kan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dan pe nerima waralaba dan mempunyai kedudukan hukum yang setara dan terhadap mereka berlaku Hukum Indonesia. Perjanjian waralaba ha rus disampaikan kepada calon penerima waralaba paling singkat 2 minggu sebelum penandatanganan perjanjian.
Menurut Gunawan Wijaya, pemberi waralaba (franchisor) maupun penerima waralaba (franchisee) mempunyai hak dan kewajiban se bagai berikut:
Pemberi lisensi (franchisor) mempunyai kewajiban untuk:
1. memberikan segala macam informasi yang berhubungan dengan HAKI yang dilisensikan, yang diperlukan oleh penerima lisensi HAKI untuk melaksanakan lisensi yang diberikan tersebut,
2. memberikan bantuan kepada penerima lisensi mengenai cara pemanfaatan dan / atau penggunaan HAKI yang dilisensikan tersebut.
Pemberi lisensi (franchisor) mempunyai hak untuk: 1. melakukan pengawasan jalannya pelaksanaan dan penggunaan/ pemanfaatan lisensi oleh penerima lisensi/penerima waralaba,
2.
memperoleh laporan-laporan secara berkala atas jalannya ke giatan usaha penerima lisensi yang mempergunakan HAKI yang dilisensikan tersebut,
3. melaksanakan inspeksi pada daerah kerja penerima lisens guna memastikan bahwa HAKI yang dilisensikan dilaksanakan sebagaimana mestinya,
4. mewajibkan penerima lisensi, dalam hal-hal tertentu, untuk membeli barang modal dan/atau barang-barang lainnya dan pemberi lisensi,
5. mewajibkan penerima lisensi menjaga kerahasiaan HAKI
dilisensikan,
6. mewajibkan penerima lisensi agar tidak melakukan kegiatan yang sejenis, serupa, ataupun secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha yang mempergunakan HAKI yang dilisensikan,
7. menerima pembayaran royalti dalam bentuk, jenis, dan jumlah yang dianggap layak olehnya selaku pemberi lisensi, 8. melakukan pendaftaran atas lisensi HAKI yang diberikan kepada
penerima lisensi/penerima waralaba,
9. atas pengakhiran lisensi, meminta kepada Penerima Lisensi HA
untuk mengembalikan seluruh data, informasi, maupun keterangan
yang diperoleh penerima lisensi selama masa pelaksanaan lisensi,
10.atas pengakhiran lisensi, melarang penerima lisensi HAKI untuk memanfaatkan
lebih lanjut seluruh data, informasi, maupun keterangan yang diperoleh penerima lisensi selama masa pelaksanaan lisensi,
11.atas pengakhiran lisensi, melarang penerima lisensi untuk teta melakukan kegiatan yang sejenis, serupa, ataupun yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan persainga dengan mempergunakan HAKI yang dilisensikan,
12.pemberian lisensi tidak menghapuskan hak pemberi lisensi HAK untuk tetap dapat memanfaatkan atau melaksanakan send HAKI yang dilisensikan tersebut.
Penerima lisensi (franchisee) mempunyai kewajiban untuk:
1. melaksanakan seluruh instruksi yang diberikan oleh pemberi lisensi HAKI guna melaksanakan HAKI yang dilisensikan tersebut,
95
PERJANJIAN & PROSPEKTUS
2. Memberikan keleluasaan kepada pemberi lisensi untuk melakukan pengawasan maupun inspeksi berkala maupun secara tiba-tiba, guna memastikan bahwa penerima lisensi telah melaksanakan HAKI yang dilisensikan dengan baik, 3. memberikan laporan-laporan baik secara berkala maupun atas
permintaan khusus dari pemberi lisensi HAKI,
4. membeli barang modal tertentu ataupun barang-barang tertentu lainnya dalam rangka pelaksanaan linsensi dari pemberi lisensi HAKI,
5. menjaga kerahasiaan atas HAKI yang dilisensikan, baik selama
maupun setelah berakhirnya masa pemberian lisensi, 6. melaporkan segala pelanggaran HAKI yang ditemukan dalam praktik,
7. tidak memanfaatkan HAKI yang dilisensikan selain dengan tujuan untuk melaksanakan lisensi yang diberikan,
8. melakukan pendaftaran lisensi bagi kepentingan pemberi lisensi
HAKI dan jalannya pemberian lisensi tersebut,
9. tidak melakukan kegiatan yang sejenis, serupa, ataupun yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha yang mempergunakan HAKI yang dilisensikan,
10.melakukan pembayaran royalti dalam bentuk, jenis, dan jumlah
yang telah disepakati bersama,
11. atas pengakhiran lisensi, mengembalikan seluruh data, informasi maupun keterangan yang diperolehnya, 12 atas
pengakhiran lisensi, tidak memanfaatkan lebih lanjut seluruh data, informasi maupun keterangan yang diperoleh penerima lisensi selama masa pelaksanaan lisensi, 13 atas pengakhiran lisensi, tidak lagi melakukan kegiatan yang sejenis,
serupa, ataupun yang secara langsung maupun tidak langsung
dapat menimbulkan persaingan dengan mempergunakan HAY yang dilisensikan. Penerima lisensi (franchisee) mempunyai hak untuk:
1. memperoleh segala macam informasi yang berhubungan dengan HAKI yang dilisensikan, yang diperlukan olehnya untuk melak sanakan lisensi tersebut,
2. memperoleh bantuan dari pemberi lisensi atas segala macam cara pemanfaatan dan/atau penggunaan HAKI yang dilisensikan tersebut.
Syarat Sah Perjanjian dan Asas-asas Perjanjian
Perjanjian waralaba dan perjanjian lisensi, sebagaimana perjanjian pada umumnya, juga harus memenuhi ketentuan dalam Hukum Per janjian/Hukum Perikatan/Hukum Kontrak, terutama ketentuan perihal “Syarat Sahnya Perjanjian” maupun “Asas-asas Perjanjian”. Ketentu an tentang “Syarat Sahnya Perjanjian” dan “Asas-asas Perjanjian
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). yaitu:
“Syarat Sahnya Perjanjian” diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata,
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (adanya kesepakatan).
2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (adanya kecakapan
3) Suatu hal tertentu (adanya objek perjanjian yang jelas),
4) Suatu sebab yang halal (tidak boleh bertentangan dengan norma hukum).
Syarat ke-1 dan ke-2 disebut Syarat Subjektif karena menyangkut subjek perjanjian atau para pihak yang membuat perjanjian. Syarat ke-3 dan ke-4 disebut Syarat Objektif karena menyangkut objek per janjian. Jika syarat objektif tidak terpenuhi, perjanjian secara otoma tis dinyatakan “batal demi hukum”, artinya perjanjian itu dianggap tidak pernah ada, sehingga tidak ada dasar untuk saling menuntut di pengadilan. Sebagai contoh: sebuah perjanjian waralaba tidak di daftarkan kepada instansi berwenang atau perjanjian lisensi tidak di daftarkan kepada Ditjen HKI. Perjanjian semacam ini dikategorikan melanggar hukum sehingga dapat dinyatakan (secara otomatis) batal demi hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum.
Sebaliknya, jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu tidak otomatis batal demi hukum, namun “dapat dibatalkan” jika salah satu pihak meminta pembatalan kepada pengadilan. Sebagai contoh, sebuah perjanjian waralaba ditandatangani oleh pihak yang menurut undang-undang tidak memiliki kecakapan atau kemampuan untuk membuat perjanjian (misalnya: orang di bawah umur, atau orang yang masih berada di bawah pengampuan). Perjanjian semacam
ini dapat dibatalkan apabila salah satu pihak meminta pembatalan kepada Pengadilan Negeri
Suatu perjanjian harus mempunyai objek yang jelas, yang dape ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya dapat tidak ditentukan pada waktu dibuat perjanjian asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan Jumlahnya (Pasal 1333 KUH Perdata). Hakim akan berusaha mencan tahu apa objek dari suatu perjanjian agar perjanjian tersebut dapa dilaksanakan. Jika objek perjanjian sampai tidak dapat ditentukan, perjanjian itu menjadi batal demi hukum (tidak sah). Selain itu, suatu perjanjian yang tidak halal atau yang dibuat karena sebab yang palsu atau dilarang undang-undang dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga perjanjian itu dapat dinyatakan tidak sah/batal dem hukum (Pasal 1320 dan Pasal 1335 KUH Perdata).
FRANCHISE TOP SECRET
Menurut Badrulzaman (2006), objek perjanjian sesuai Pasal 1332 s/d Pasal 1334 KUH Perdata, dapat dikategorikan menjadi dua macam yaitu (a) objek yang akan ada (kecuali warisan) asalkan objek tersebut dapat ditentukan jenisnya dan dapat dihitung, dan (b) objek yang dapat diperdagangkan, sedangkan barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat dijadikan objek perjanjian.
Menurut Salim HS (2006), di dalam Hukum Kontrak atau Hukum
Perjanjian, dikenal adanya 5 asas penting, yaitu:
1. Asas Kebebasan Berkontrak,
2. Asas Konsensualisme,
3. Asas Kepastian Hukum (asas Pacta Sunt Servanda),
4. Asas Itikad Baik, dan
5. Asas Kepribadian.
Asas Kebebasan Berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasa 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas Kebebasan Berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
- membuat atau tidak membuat perjanjian,
- mengadakan perjanjian dengan siapapun,
3. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, 4. menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Asas Konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas Konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat kedua be lah pihak.
Asas Pacta Sunt Servanda disebut juga dengan Asas Kepastian Hu kum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas ini me rupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas Pac ta Sunt Servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.
Asas Itikad Baik (Goede Trouw) dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas Itikad Baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu kreditor dan debitor, harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan dan keyakinan yang teguh atau kemauan baik para pihak. Asas ini dibagi menjadi dua macam, yaitu (a) Itikad Baik Nisbi, dan (b) Itikad Baik Mutlak. Pada Itikad Baik Nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek perjanjian. Pada Itikad Baik Mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dengan dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan atau membuat penilaian yang tidak memihak menurut norma-norma yang objektif.
Asas Kepribadian (Personalitas) merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315
dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 berbunyi: “Pada umumny seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian sela untuk dirinya sendiri”. Pasal 1340 berbunyi: “Perjanjian hanya berlak antara pihak yang membuatnya”,
Namun ketentuan tersebut ada pengecualiannya sebagaimana diat dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang berbunyi: “dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, apabila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu”.
Sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya atau untuk orang-orang yang memperoleh ha dari padanya. Pasal 1317 KUH Perdata mengatur perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata mengatur perjanjian untuk kepentingan dirinya sendir ahli waris, dan orang-orang yang memperoleh hak darinya. Perjanjian waralaba yang pada umumnya bersifat standar/bak meskipun dapat dibenarkan, tidak boleh bertentangan dengar Pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pelaku usaha, sesuai Pasal 18, dilarang membuat klausul baku yang mencantumkan hal-hal berikut:
1. Pelaku usaha dilarang membuat aturan baru, aturan tambahan, dan/atau aturan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinja (Pasal 18 Ayat 1 huruf g).
2. Pelaku usaha dilarang membuat klausul yang menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untu pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jamina terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran (Pasal 13 Ayat 1 huruf h).
- Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang leta atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jes atau yang pengungkapannya sulit dimengerti (Pasal 18 Ayat 2
Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut di atas dapat berakibat perjanjian baku tersebut dinyatakan batal demi hukum (Pasal 18 Ayat 3). Di samping itu, semua pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausul baku yang bertentangan dengan Pasal 18 agar sesuai dengan ketentuan UU 8/1999 (Pasal 18 Ayat 4).
Akibat Hukum dan Sumber Perjanjian
Suatu perjanjian/kontrak/perikatan yang dibuat oleh para pihak dapat memiliki akibat hukum. Akibat hukum dari suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata meliputi tiga macam, yaitu:
1. Perjanjian bersifat mengikat para pihak. Hal ini senada dengan bunyi Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menyatakan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Ketentuan ini mengisyaratkan betapa kuatnya kedudukan hukum suatu perjanjian meskipun perjanjian tersebut dibuat oleh para pihak yang bukan tergolong pejabat publik.
2. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan kata sepakat kedua belah pihak, atau berdasarkan alasan-alasan yang dibenarkan oleh undang-undang (lihat Pasal 1338 ayat 2 KUH Perdata). Ketentuan ini dimaksudkan agar setiap orang yang membuat perjanjian harus berkomitmen penuh untuk melak sanakan semua isi perjanjian dan tidak mudah mempermainkan sebuah perjanjian..
- Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat 3). Perjanjian yang tidak didasari itikad baik, misalnya didasari motif penipuan dan atau penggelapan, dapat berpotensi untuk dinyatakan batal demi hukum karena melanggar salah satu asas perjanjian, yaitu “sebab yang halal”. Jika unsur penipuan dan penggelapan tersebut dapat dibuktikan, maka pelakunya dapat dikenai sanksi pidana penjara sesuai aturan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Perjanjian dapat bersumber dari dua hal: 1. dari persetujuan antara para pihak sebagai subjek hukum privat (contoh: perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, hibah), atau
2. karena undang-undang.
Tiap perjanjian yang dibuat para pihak dapat meliputi tiga bentuk “prestasi”, yaitu:
1. prestasi untuk memberikan sesuatu,
2. prestasi untuk berbuat sesuatu, dan
3. prestasi untuk tidak berbuat sesuatu (selanjutnya lihat Pasal 1233 dan 1234 KUH Perdata).
Sesuai Pasal 1353, perikatan/perjanjian yang bersumber dari undang undang dapat timbul karena undang-undang saja, atau dari undang undang sebagai akibat perbuatan orang. Sedangkan Pasal 1353 menyatakan bahwa perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang dapat terbit karena perbuatan halal atau perbuatan melanggar hukum.
Sebab-sebab Berakhirnya Perjanjian
Suatu kontrak/perjanjian/perikatan dapat berakhir atau hapus karena berbagai macam sebab. Perjanjian waralaba pun juga dapat berakhir karena berbagai macam sebab antara lain karena masa berlakunya sudah habis, kontrak dihentikan secara sepihak, kontrak dibatalkan oleh pengadilan, atau sebab lainnya.
Menurut Salim HS (2006), berakhirnya kontrak/perjanjian/perikatan
dapat digolongkan menjadi 12 macam sebab, yaitu:
1. pembayaran,
2. novasi atau pembaruan utang,
3. kompensasi atau perjumpaan utang,
4. konfusio atau pencampuran utang,
5. pembebasan utang,
6. kebatalan atau pembatalan,
7. berlaku syarat batal,
8. jangka waktu kontrak telah berakhir,
9. dilaksanakannya objek perjanjian,
10.kesepakatan kedua belah pihak,
11.pemutusan kontrak secara sepihak,
12.adanya putusan pengadilan.
Suatu kontrak/perjanjian, misalnya perjanjian utang piutang, dapat berakhir atau hapus karena sebab pembayaran. Contoh: Pak D (debitor) meminjam uang kepada Bank K (kreditor) sejumlah Rp10 juta dalam jangka waktu satu tahun. Jika Pak D telah membayar semua kewajibannya (sebesar utang pokok Rp10 juta plus bunga) sesuai perjanjian, maka perjanjian tersebut dengan sendirinya berakhir. Berakhirnya perjanjian karena pembayaran diatur dalam Pasal 1382 hingga 1403 KUH Perdata. Pelunasan utang oleh debitor dapat berbentuk uang tunai, barang, atau jasa.
Novasi atau “Pembaruan Utang” dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian. Dalam Novasi, perjanjian lama dihapuskan untuk kemudian dibuatkan perjanjian baru. Novasi diatur dalam Pasal 1413 hingga Pasal 1424 KUH Perdata. Praktik Novasi sudah biasa terjadi dalam pembaruan kredit di dunia perbankan. Contoh: Pak BY punya kredit di Bank BNI sebesar Rp100 juta dan sudah dicicil sebanyak Rp90 juta. Pak BY ingin mengajukan kredit baru senilai Rp120 juta, sehingga pihak Bank BNI melakukan novasi dengan membuat surat perjanjian kredit yang baru.
Berakhirnya perjanjian juga dapat disebabkan adanya kompensasi atau “perjumpaan utang”. Kompensasi utang diatur dalam Pasal 1425 hingga Pasal 1435 KUH Perdata. Contoh kompensasi utang: Pak D punya utang senilai Rp10 juta kepada Pak K, sedangkan Pak K punya utang senilai Rp10 juta kepada Pak D. Utang Pak D (Rp10 juta) dapat dikompensasi dengan utang Pak K (Rp10 juta) sehingga akhirnya keduanya terbebas dari kewajiban membayar utang.
Dengan adanya kompensasi utang tersebut, perjanjian utang-piutang di antara keduanya menjadi berakhir.
Konfusio atau “Pencampuran Utang” diatur dalam Pasal 1435 hingga Pasal 1437 KUH Perdata. Konfusio atau pencampuran utang adalah percampuran kedudukan seseorang sebagai debitor sekaligus sebagai kreditor. Sebagai contoh: Mas Muda berstatus sebagai debitor dari Bank K karena Mas Muda meminjam uang dari Bank K. Pada sisi lain, Mas Muda adalah anak dari Pak Sepuh yang berstatus sebagai kreditor Bank K, karena Pak Sepuh membeli obligasi (surat utang yang diterbitkan oleh Bank K. Jika Pak Sepuh meninggal dunia dan warisannya diberikan kepada Mas Muda, maka dalam hal ini Mas Muda memiliki kedudukan ganda, yaitu sebagai debitor sekaligus sebagai kreditor Bank K. Konfusio atau pencampuran utang ini dapat digunakan sebagai dasar untuk mengakhiri suatu perjanjian.
Pembebasan utang juga dapat digunakan sebagai dasar untuk mengakhiri suatu perjanjian utang-piutang. Pembebasan utang adalah pernyataan sepihak dari kreditor kepada debitor yang menyatakan bahwa debitor dibebaskan dari kewajiban membayar utang. Pembebasan utang dapat dilakukan dengan cuma-cuma dan atau meminta prestasi lain dari pihak debitor. Pembebasan utang diatur dalam Pasal 1438 hingga Pasal 1443 KUH Perdata. Contoh pembebasan utang secara cuma-cuma: Pak D punya utang Rp10 juta kepada sahabat karibnya, yaitu Pak K. Pak D kemudian tidak mampu membayar utangnya karena jatuh pailit. Atas dasar kemanusiaan dan pertemanan, Pak K membebaskan utang Pak D tanpa syarat apa pun
Pembebasan utang dengan tambahan syarat prestasi lain dapat ditemui misalnya pada program penghapusan kredit macet debitor UMKM di Bank BUMN berdasarkan PP 14/2005 dan PMK 31/2005 Berdasarkan kedua aturan ini, kredit macet debitor UMKM Bank BUMN (yang macet akibat krisis moneter) dapat dihapuskan dengan syarat debitor tersebut mampu melunasi utang minima 50% dari pokok kredit (bagi debitor yang masih memiliki agunan atau cukup melunasi utang 15% (bagi debitor yang sudah tida punya agunan). Pelunasan utang tersebut dapat dilakukan secara tunai (cash-settlement) atau penyerahan aset (asset-settlement Berakhirnya suatu kontrak/perjanjian juga dapat terjadi karena faktor
Pembatalan Kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1446 hingga Pasal 1456 KUH Perdata. Pembatalan kontrak dapat disebabkan karena: (a) adanya perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa dan atau di bawah pengampuan, (b) tidak mengindahkan bentuk perjanjian yang dipersyaratkan dalam undang-undang, (c) adanya cacat kehendak seperti kekhilafan, paksaan, dan penipuan.
Berakhirnya perjanjian dapat terjadi karena berlakunya syarat batal sebagaimana diatur dalam pasal 1265 KUH Perdata. Syarat batal umumnya berlaku pada perjanjian yang bersifat timbal-balik seperti perjanjian utang-piutang, jual-beli, sewa-menyewa, dan sejenisnya. Syarat batal adalah suatu syarat yang bila dipenuhi akan berakibat menghapuskan perjanjian dan membawa segala sesuatu pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian. Contoh: Bank K (kreditor) membuat perjanjian penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan Pak D (debitor) dengan salah satu syarat Pak D dalam waktu yang bersamaan tidak boleh menerima KUR dari bank lain. Jika kemudian terbukti Pak D juga mendapatkan KUR dari bank lain, perjanjian kredit antara Pak D dengan Bank K dapat dibatalkan.
Perjanjian otomatis berakhir jika jangka waktu perjanjian telah berakhir atau telah kedaluwarsa (lewat waktu). Kedaluwarsa atau lewat waktu diatur dalam Pasal 1946 hingga 1993 KUH Perdata. Perjanjian juga dapat berakhir karena pihak debitor telah memenuhi prestasi atau melaksanakan objek perjanjian yang diwajibkan kepadanya dengan funtas. Di samping itu, masih ada faktor lain yang dapat menyebabkan berakhirnya suatu kontrak/perjanjian, yaitu adanya kesepakatan kedua pihak untuk mengakhiri kontrak, adanya pemutusan kontrak secara sepihak, dan adanya putusan pengadilan yang membatalkan kontrak tersebut.
Di samping ke-12 faktor tersebut di atas, juga dijumpai adanya faktor penyebab lain seperti adanya pelunasan utang secara konsinyasi dan musnahnya barang yang terutang. Pelunasan utang secara konsinyasi Amumnya dilakukan jika kreditor tidak mau menerima pelunasan dan debitor karena adanya beda tafsir tentang jumlah utang debitor. Untuk mengatasi masalah ini, debitor dapat menitipkan uang belunasan melalui Panitera Pengadilan Negeri setempat. Aturan ini
dapat dijumpai dalam Pasal 1404-1412 KUH Perdata. Selain itu, musnahnya barang yang terutang sesuai Pasal 1444-1445 KUH Perdata juga dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian.
Pelaku usaha waralaba sebaiknya memahami dengan benar ketentuan dalam Hukum Perjanjian sehingga dapat mengantisipasi kemungkinan timbulnya sengketa bisnis yang terkait dengan perjanjian waralaba yang muncul di kemudian hari. Jangan terburu-buru menandatangani perjanjian jika kita belum memahami aspek hukumnya.
+ There are no comments
Add yours