Regulasi Bisnis Waralaba di Indonesia

ukms.or.id – Regulasi Bisnis Waralaba di Indonesia , Guna mengatur perkembangan bisnis waralaba yang semakin pesat di Indonesia, Pemerintah saat ini telah mengeluarkan Peratura Pemerintah nomor 42 Tahun 2007 atau PP 42/2007 tentang waralab yang merupakan pengganti dari PP 16/1997. Berbeda dengan aturan sebelumnya, PP 42/2007 lebih tegas mencantumkan adanya 6 kriteria yang harus dimiliki sebuah usaha agar dapat digolongkan usaha waralaba.

PP 42/2007 tentang waralaba selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam tiga Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang mengatur tentang waralaba, yaitu:

a) Permendag nomor 53/M-dag/Per/8/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba b) Permendag nomor 68/M-dag/Per/10/2012 tentang Waralaba

untuk Jenis Usaha Toko Modern, dan

c) Permendag nomor 07/M-dag/Per/2/2013 tentang Pengembangan Kemitraan dalam Waralaba untuk Jenis Usaha Makanan dan Minuman.

Permendag 53/2012 mengatur penyelenggaraan waralaba secara umum antara lain aturan tentang kriteria waralaba, ruang lingkup waralaba, surat tanda pendaftaran waralaba (STPW), propektus waralaba, perjanjian waralaba, penyelesaian sengketa (clean break), pembentukan tim penilai, kewajiban menggunakan bahan baku dan peralatan usaha serta menjual barang dagangan dari dalam negeri minimal 80 persen, pemberi dan penerima waralaba dapat menjual barang pendukung usaha utama maksimal 10 persen dari total jumlah jenis barang yang dijual, kewenangan penerbitan STPW, pembinaan waralaba, pengawasan waralaba, pelaporan waralaba, dan ketentuan tentang sanksi administratif. Permendag 53/2012 ini diterbitkan guna menggantikan aturan sebelumnya, yaitu Permendag 31/M-dag Per/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba (Permendag 31/2008)

Di samping aturan yang bersifat umum (yaitu Permendag 53/20012 Menteri Perdagangan juga menerbitkan dua aturan waralab yang bersifat khusus, yaitu Permendag 68/2012 dan Permenda 07/2013. Permendag 68/2012 diterbitkan guna membatasi jumlah

gerai waralaba toko modern (termasuk jaringan minimarket) dapat dimiliki sendiri oleh pemilik waralaba atau pemberi waralaba (franchisor). Berdasarkan aturan Permendag 68/2012 ini, pember waralaba (franchisor) hanya diperbolehkan mempunyai gerai milik sendiri (company owned outlet) maksimal 150 unit dan jumlah selebihnya harus diwaralabakan dengan pihak lain selaku mitra usaha

Regulasi Bisnis Waralaba di Indonesia

Pembatasan jumlah gerai milik sendiri juga diberlakukan pada jaringan waralaba kuliner berdasarkan Permendag 07/2013. Jenis usaha jasa makanan dan minuman yang diatur meliputi restoran, rumah makan, bar/rumah minum, dan kafe. Sesuai aturan Permendag 07/2013, pemberi dan penerima waralaba kuliner hanya diizinkan mempunyai gerai milik sendiri (company owned outlet) maksimal 250 unit dan jumlah selebihnya harus diwaralabakan dengan pihak lain atau mengajak pihak lain bekerja sama sebagai mitra penyerta modal. Untuk nilai investasi kurang atau sama dengan Rp10 miliar, maka jumlah penyertaan modal pihak lain ditetapkan minimal 40 persen. Sedangkan jika nilai investasi lebih dari Rp10 miliar, jumlah penyertaan modal pihak lain ditetapkan sebesar minimal 30 persen.

Pembatasan jumlah gerai milik sendiri dimaksudkan agar tercipta iklim usaha waralaba yang sehat sehingga tidak sampai menjurus pada praktik monopoli yang dapat mematikan para pelaku usaha dalam negeri khususnya UMKM. Pembatasan tersebut juga diperlukan guna mendorong para pemilik waralaba khususnya dari luar negeri agar mau menggandeng mitra lokal sebanyak-banyaknya. Dengan cara demikian akan tercipta banyak kesempatan berusaha khususnya bagi pengusaha UMKM yang selama ini sering mengalami kendala dalam berekspansi.

Enam Kriteria Bisnis Waralaba

Waralaba harus memiliki syarat dan kriteria yang benar agar dapat digolongkan sebagai waralaba yang layak dan sesuai koridor hukum. Aturan tentang waralaba yang lama, yaitu PP 16/1997, tidak secara tegas mencantumkan syarat atau kriteria tertentu bagi sebuah usaha waralaba yang dianggap layak. Aturan tentang kriteria kelayakan waralaba baru diatur secara jelas dalam PP 42/2007 tentang Waralaba.

Pasal 3 PP 42/2007 menyatakan waralaba harus memenuhi 6 kriteria: 1. memiliki ciri khas usaha;

2. terbukti sudah memberikan keuntungan; 3. memiliki standar atas pelayanan dan standar atas barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis;

4. mudah diajarkan dan diaplikasikan;

5. adanya dukungan yang berkesinambungan; dan

6. Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar.

Orang perseorangan atau badan usaha dilarang menggunakan istilah dan/atau nama waralaba untuk nama usaha dan/atau kegiatan usahanya, apabila tidak memenuhi kriteria tersebut di atas. Ketentuan Pasal 3 PP 42/2007 tentang Kriteria Waralaba merupakan hal baru yang tidak tercantum dalam PP sebelumnya (PP 16/1997).

Kegiatan waralaba harus mempunyai kriteria pertama, yaitu berupa “ciri khas usaha”. Yang dimaksud dengan “ciri khas usaha” adalah

Kegiatan waralaba harus mempunyai kriteria kedua, yaitu “terbukti sudah memberikan keuntungan”. Yang dimaksud dengan “terbukti memberikan keuntungan” adalah menunjuk pada pengalaman pemberi waralaba yang telah dimiliki kurang lebih tahun dan mempunyai kiat-kiat bisnis untuk mengatasi masalah-masalah perjalanan usahanya, dan ini terbukti dengan masih bertahan berkembangnya usaha tersebut dengan menguntungkan. Syarat ini adalah syarat yang sangat logis

pendirian waralaba haruslah untuk berbagi keuntungan dengan para penerima waralaba. Perusahaan yang belum terbukti memberikan keuntungan memadai dalam waktu minimal 5 tahun tidak layak untuk membuat jaringan usaha waralaba.

Kegiatan waralaba harus mempunyai kriteria ketiga, yaitu memiliki “standar tertulis atas pelayanan serta standar tertulis atas barang dan/ atau jasa yang ditawarkan”. Standar semacam ini adalah standar yang dibuat secara tertulis oleh pemberi waralaba dengan maksud agar penerima waralaba dapat melaksanakan usaha dalam kerangka kerja yang jelas dan sama standarnya. Standar ini dinamakan juga Prosedur Operasional Standar atau Standard Operational Procedure (SOP).

Kegiatan waralaba harus memenuhi kriteria keempat, yaitu “mudah diajarkan dan diaplikasikan”. Yang dimaksud dengan

“mudah diajarkan dan diaplikasikan” adalah mudah dilaksanakan sehingga penerima waralaba yang belum memiliki pengalaman atau

pengetahuan mengenai usaha sejenis dapat melaksanakannya dengan baik sesuai dengan bimbingan operasional dan manajemen yang berkesinambungan yang diberikan oleh pemberi waralaba. Syarat ini penting diberlakukan agar bisnis waralaba benar-benar menjadi kegiatan bisnis yang memiliki jaringan luas dan dapat menjangkau segala lapisan pelaku usaha, termasuk pengusaha UMKM. Bisnis waralaba yang sulit diajarkan dan diaplikasikan tentu saja tidak akan diminati oleh para calon penerima waralaba sehingga akan sulit berkembang.

Bisnis waralaba harus memenuhi kriteria kelima, yaitu adanya “dukungan yang berkesinambungan”. Yang dimaksud “dukungan

yang berkesinambungan” adalah dukungan dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba secara terus-menerus seperti bimbingan operasional, pelatihan, dan promosi. Tanpa adanya dukungan yang berkesinambungan, usaha yang dikembangkan para penerima waralaba akan sulit berkembang. Pemberi waralaba (franchisor yang jarang melakukan promosi dapat menurunkan minat konsumen membeli produk di gerai-gerai waralaba sehingga hal ini tentu saja sangat merugikan usaha para penerima waralaba.

Bisnis waralaba sangat berkaitan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atau Intellectual Property Right. Bisnis waralaba berkaitan dengan pemberian lisensi HAKI, dari pemberi waralaba (pemilik HAKI) kepada penerima waralaba, yang kemudian diikuti pembayaran royalti oleh penerima waralaba. HAKI tersebut dapat berupa Hak Cipta, Merek, Paten, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST), Rahasia Dagang, dan Perlindungan Varietas Tanaman (PVT). Namun dalam praktiknya, jenis HAKI yang banyak dilisensikan dalam bisnis waralaba saat ini adalah lisensi Hak Merek dan lisensi Sistem Bisnis (Rahasia Dagang).

Perjanjian lisensi HAKI harus didaftarkan ke Ditjen HKI. Tidak hanya perjanjian lisensi HAKI yang perlu didaftarkan ke Ditjen HKI, tetapi juga HAKI itu sendiri agar mendapat Sertifikat HAKI yang berfungsi sebagai tanda bukti hak milik. Namun demikian, khusus Hak Cipta dan Rahasia Dagang tidak wajib didaftarkan, kecuali jika hak itu akan dibuatkan perjanjian lisensi. Pengakuan Negara terhadap Hak Cipta bersifat otomatis sejak karya cipta tersebut muncul ke dunia nyata.

Hal tersebut di atas menjadi dasar mengapa dalam bisnis waralaba diwajibkan adanya kriteria keenam, yaitu “Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar”. Pengertian “Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar” meliputi dua hal: (a) pendaftaran HAKI untuk mendapatkan Sertifikat HAKI, (b) pendaftaran perjanjian lisensi HAKI. Tanpa adanya pendaftaran ke instansi berwenang, HAKI dan perjanjian lisensi HAKI tidak memiliki akibat hukum terhadap pihak ketiga.

Penjelasan Pasal 3 huruf f PP 42/2007 tentang Waralaba menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar” adalah Hak Kekayaan Intelektual yang terkait dengan usaha seperti merek, hak cipta, paten, dan rahasia dagang, yang sudah didaftarkan dan mempunyai sertifikat atau sedang dalam proses pendaftaran di instansi yang berwenang. Ketentuan ini di satu sisi memang dapat membantu mempercepat kegiatan usaha pember waralaba sehingga mereka tidak perlu menunggu keluarnya Sertifikat HAKI yang membutuhkan waktu lama. Namun di sisi lain, ketentuan ini juga mengandung kerawanan, terutama jika ternyata permohonan pendaftaran HAKI tersebut ditolak oleh Ditjen HKI.

HAKI yang sudah didaftarkan dan memperoleh Sertifikat adalah HAKI yang sudah memperoleh pengakuan resmi dan perlindungan hukum dari negara. Berbekal Sertifikat HAKI itulah, para pemberi waralaba selaku pemilik HAKI dapat membuat perjanjian lisensi HAKI dengan pihak lain. Perjanjian lisensi HAKI yang telah dibuat, sesuai ketentu an UU di bidang HAKI, harus didaftarkan kepada Ditjen HKI. Salah satu syarat pendaftaran lisensi HAKI adalah pemilik HAKI (pemben waralaba) harus sudah memiliki Sertifikat HAKI sebagai bukti hak ke pemilikan. Dengan kata lain, jika pemberi waralaba belum mendapatkan sertifikat HAKI, maka dia belum bisa mendaftarkan perjanjian lisensi HAKI kepada Ditjen HKI

Aturan dalam Penjelasan Pasal 3 huruf f PP 42/2007 tentang waralaba yang antara lain memperbolehkan “HAKI yang sedang dalam proses pendaftaran sebagai salah satu kriteria waralaba, menurut hemat Penulis, sebaiknya ditinjau kembali. Ketentuan ini mengandung kerawanan hukum, terutama jika ternyata permohonan pendaftaran HAKI tersebut ditolak oleh Ditjen HKI. Penolakan Ditjen HKI dapat mengakibatkan dua hal: (a) Ditjen HKI tidak akan mengeluarkan Sertifikat HAKI, dan (b) Pemberi waralaba tidak dapat mendaftarkan perjanjian lisensi HAKI kepada Ditjen HKI karena tidak punya Sertifikat HAKI

Aturan perihal “HAKI yang sedang dalam proses pendaftaran” bisa saja dijadikan sebagai salah satu kriteria waralaba jika permohonan pendaftaran HAKI yang dilakukan oleh pemberi waralaba telah mendapatkan kepastian diterima oleh Ditjen HKI, namun masih menunggu keluarnya Sertifikat HAKI. Aturan ini juga masih menimbulkan kerawanan karena pemberi waralaba masih belum

dapat mendaftarkan perjanjian lisensi HAKI karena Sertifikat HAKI belum dikeluarkan secara resmi. Perjanjian lisensi HAKI yang tidak didaftarkan kepada Ditjen HKI tidak akan berakibat hukum kepada pihak ketiga sehingga dapat merugikan penerima waralaba. Untuk menyikapi masalah ini, penerima waralaba disarankan agar hanya mengikuti waralaba yang telah memiliki Sertifikat HAKI serta memiliki perjanjian lisensi HAKI yang telah terdaftar di Ditjen HKI.

baca juga

    Aspek Perlindungan Hukum

    Aspek perlindungan hukum sangat diperlukan guna menjamin kepastian berusaha bagi para pihak yang terkait dalam bisnis waralaba, khususnya pihak pemberi waralaba maupun penerima waralaba pihak penerima waralaba pada umumnya dalam keadaan yang lebih lemah dibandingkan pemberi waralaba sehingga Permendag 53/2012 membuat sejumlah aturan yang bertujuan untuk melindungi kepentingan para penerima waralaba agar mereka tidak dirugikan.

    Salah satu bentuk perlindungan hukum tersebut dijelaskan dalam Pasal 8 Permendag 53/2012 yang mengatur bahwa jika perjanjian waralaba diputus secara sepihak oleh pemberi waralaba sebelum masa berlakunya berakhir, maka pemberi waralaba tidak dapat menunjuk penerima waralaba yang baru untuk wilayah yang sama sebelum

    tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan oleh kedua pihak (atau biasa disebut clean break) atau sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap

    Aturan semacam ini tentu saja diharapkan dapat melindungi kepentingan para penerima waralaba yang selama ini sering diperlakukan semena-mena oleh pemberi waralaba. Meskipun pemberi waralaba dan penerima waralaba memiliki kedudukan hukum yang setara sebagai mitra usaha, dalam praktiknya posisi penerima waralaba lebih lemah dari sisi permodalan, akses pemasaran, akses pengadaan bahan baku, akses manajemen, dan akses bisnis yang lainnya.

    Keharusan sebuah perusahaan pemberi waralaba untuk memenuhi 6 kriteria waralaba sebagaimana dipersyaratkan dalam PP 42/2007 dan Permendag 53/2012 juga diharapkan dapat mengurangi risiko munculnya usaha waralaba yang tidak memiliki rekam jejak yang baik sehingga dapat merugikan para penerima waralaba. munculnya pemberi waralaba “abal-abal” yang hanya berniat menipu para calon penerima waralaba dengan modus mengumpulkan biaya pendaftaran waralaba (franchise fee) kini dapat dicegah berkat adanya persyaratan 6 kriteria waralaba.

    Perlindungan hukum bagi penerima waralaba juga diberikan kaitan dengan pemanfaatan HAKI dan lisensi HAKI. UU HAKI memberi peluang kepada para penerima waralaba selaku penerima lisensi HAKI untuk tetap dapat menggunakan HAKI yang telah disepakati dalam perjanjian lisensi HAKI, meskipun hak kepemilikan atas HAKI tersebut telah beralih kepada pihak lain akibat sengketa kepemilikan HAKI. dalam memang

    Sebagai contoh, pemberi waralaba XX bersengketa dengan pemberi waralaba YY tentang kepemilikan Hak Merek “Roti ABC”. Anda selama ini telah menandatangani perjanjian lisensi dengan pemberi waralaba XX. Jika kemudian hasil putusan Pengadilan Niaga memenangkan gugatan pemberi waralaba YY, maka Anda dapat terus menjalankan usaha dengan tetap memakai merek “Roti ABC”, namun Anda harus membuat perjanjian lisensi yang baru dengan pemberi waralaba Yy

    Akibat putusan Pengadilan Niaga tersebut, royalti yang sebelumnya sudah dibayarkan kepada pemberi waralaba XX tidak perlu dibayarkan ulang kepada pemberi waralaba YY. Anda selaku penerima waralaba “Roti ABC” selanjutnya mengalihkan pembayaran royalti berikutnya kepada pemberi waralaba YY. Sebaliknya, kalau Anda tidak suka bekerja sama dengan pemberi waralaba YY, maka Anda tidak perlu membuat perjanjian lisensi baru dengan pemberi waralaba YY.

    Dalam kasus sengketa kepemilikan HAKI, negara tetap memberikan perlindungan hukum kepada para penerima waralaba (penerima lisensi HAKI) sebab mereka hanyalah sebagai objek penderita. Pasal 48 Ayat (1) UU 15/2001 tentang Merek menyatakan bahwa penerima lisensi yang beritikad baik, tetapi kemudian Merek itu dibatalkan atas dasar adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek lain yang terdaftar, tetap berhak melaksanakan perjanjian lisensi tersebut sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian lisensi.

    Pasal 48 Ayat (2) UU 15/2001 tentang Merek menyatakan bahwa pe nerima lisensi tidak lagi meneruskan pembayaran royalti ke pada pemberi lisensi yang dibatalkan, melainkan melaksanakan pembayaran royalti kepada pemilik merek yang tidak dibatalkan. S lanjutnya, Pasal 48 Ayat (3) menyatakan dalam hal pemberi lisensi su

    dah terlebih dahulu menerima royalti secara sekaligus dari penerima sensi, maka pemberi lisensi tesebut wajib menyerahkan bagian dan royalti yang diterimanya kepada pemilik merek yang tidak dibatalkan yang besarnya sebanding dengan sisa jangka waktu perjanjian lisensi

    Perlindungan hukum kepada penerima waralaba selaku penerima lisensi HAKI juga diatur dalam Pasal 97 dan Pasal 98 UU 14/2001 tentang Paten. Penerima lisensi dari paten yang dibatalkan tetap berhak melaksanakan lisensi yang dimilikinya sampai dengan berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian lisensi. Penerima lisensi tidak wajib meneruskan pembayaran royalti kepada pemegang paten yang patennya dibatalkan, tetapi mengalihkan pembayaran royalti untuk sisa jangka waktu lisensi yang dimilikinya kepada pemegang paten yang berhak. Dalam hal pemegang paten sudah menerima sekaligus royalti dari penerima lisensi, maka pemegang paten tersebut wajib mengembalikan jumlah royalti yan sesuai dengan sisa jangka waktu penggunaan lisensi kepada pemegang paten yang berhak

    Lisensi dari paten yang dinyatakan batal yang diperoleh dengan itikad baik, sebelum diajukan gugatan pembatalan atas paten tersebut, tetap berlaku terhadap paten lain yang tidak dibatalkan. Lisensi paten ini tetap berlaku dengan ketentuan bahwa penerima lisensi paten tersebut untuk selanjutnya tetap wajib membayar royalti kepada pemegang paten yang tidak dibatalkan, yang besarnya sama dengan jumlah yang dijanjikan sebelumnya kepada pemegang paten yang patennya dibatalkan.23

    Perlindungan hukum bagi penerima waralaba selaku penerima lisensi HAKI juga diatur dalam Pasal 44 UU 31/2000 tentang Desain Industri Dalam hal pendaftaran Desain Industri dibatalkan berdasarkan gugatan, maka penerima lisensi tetap berhak melaksanakan lisensinya sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian lisensi. Penerima lisensi tidak wajib meneruskan pembayaran royalti kepada Pemegang Hak Desain Industri yang haknya dibatalkan, tetapi wajib mengalihkan pembayaran royalti untuk sisa jangka waktu lisensi yang dimilikinya kepada Pemegang Hak Desain Industri yang sebenarnya.

    Perlindungan hukum terhadap penerima waralaba selaku penerima lisensi HAKI juga diatur dalam Pasal 36 UU 32/2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST). Dalam hal pendaftaran DTLST dibatalkan berdasarkan gugatan, maka penerima lisensi tetap berhak melaksanakan lisensinya sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian sensi. Penerima lisensi tidak lagi wajib meneruskan pembayaran royalti kepada pemegang hak DTLST yang haknya dibatalkan, tetapi wajib mengalihkan pembayaran royalti untuk sisa jangka waktu Lisensi yang dimilikinya kepada pemegang hak DTLST yang sebenarnya.

    UU 29/2000 tentang PVT secara tersirat juga memberikan perlindung an hukum kepada penerima lisensi HAKI dalam hal terjadi kasus pem batalan hak PVT. Pasal 62 UU 29/2000 menyatakan dalam hal Hak PVT dicabut sebagaimana dimaksud Pasal 60, apabila pemegang hak PVT telah memberikan lisensi atau lisensi wajib kepada pihak lain dan pemegang lisensi tersebut telah membayar royalti secara sekaligus kepada pemegang hak PVT, maka pemegang hak PVT wajib mengem balikan royalti kepada pemegang lisensi dengan memperhitungkan sisa jangka waktu penggunaan lisensi atau lisensi wajib.

    Perlindungan hukum terhadap penerima waralaba selaku penerima lisensi HAKI dalam kasus pembatalan HAKI tidak diatur secara jelas dalam UU Hak Cipta (UU 19/2002) dan UU Rahasia Dagang (UU 30/2000). Namun demikian, berdasarkan analogi hukum dengan merujuk UU HAKI lainnya (UU Merek, UU Paten, UU Desain Industri, UUDTLST, dan UU PVT), dapatlah disimpulkan bahwa penerima wara laba/penerima lisensi HAKI tetap mendapat kan perlindungan hu kum dalam hal terjadi kasus pembatalan hak cipta maupun hak ra hasia dagang.

    You May Also Like

    More From Author

    + There are no comments

    Add yours