ukms.or.id – Sejarah & Prospek Bisnis Franchise Waralaba , Sistem bisnis waralaba diperkenalkan pertama kali pada tahun 1850-an oleh Isaac Singer, pembuat mesin jahit Singer, ketika ingin meningkatkan distribusi penjualan mesin jahitnya.
Walaupun usaha Isaac Singer tersebut gagal, dialah yang dinilai pertama kali memperkenalkan format bisnis waralaba di Amerika Serikat. Kemudian, cara bisnis Isaac Singer ini diikuti oleh pewaralaba lain yang lebih sukses, John S. Pemberton, yang merupakan pendiri perusahaan minuman Coca Cola.
Sejarah Sistem Bisnis Waralaba
Namun, menurut sumber lain, yang mengikuti jejak Isaac Singer bukanlah Coca Cola, melainkan sebuah industri otomotif A.S., yaitu General Motors Industry pada tahun 1898. Contoh waralaba lain di A.S. ialah sebuah sistem telegraf yang telah dioperasikan oleh berbagai perusahaan jalan kereta api yang dikendalikan oleh Western Union serta persetujuan eksklusif antara pabrikan mobil dengan dealer.
Waralaba di Amerika Serikat saat ini lebih didominasi jenis waralaba rumah makan siap saji (fast food restaurant). Kecenderungan ini dimulai pada tahun 1919 ketika A & W Root Beer membuka restoran cepat saji. Pada tahun 1935, Howard Deering Johnson bekerja sama dengan Reginald Sprague mengembangkan waralaba untuk memonopoli usaha restoran modern.
Gagasan mereka adalah membiarkan rekanan mereka untuk mandiri menggunakan nama yang sama, makanan, persediaan, logo, dan bahkan membangun desain sebagai pertukaran dengan suatu pembayaran. Dalam perkembangannya,
sistem bisnis waralaba ini mengalami berbagai penyempurnaan terutama pada tahun 1950-an yang kemudian dikenal sebagai “waralaba format bisnis” (business format) atau sering pula disebut waralaba generasi kedua.2
Perkembangan sistem waralaba yang demikian pesat terutama di negara asalnya, Amerika Serikat (A.S.), menyebabkan waralaba digemari sebagai suatu sistem bisnis di berbagai bidang usaha.
Bisnis waralaba mencapai 35 persen dari keseluruhan usaha ritel yang ada di A.S. Sedangkan di Inggris, perkembangan bisnis waralaba dirintis oleh J. Lyons melalui usahanya Wimpy and Golden Egg, pada tahun 1960-an.
Bisnis waralaba tidak mengenal diskriminasi. Pemilik waralaba (franchisor) dalam menyeleksi calon mitra usahanya berpedoman pada keuntungan bersama, tidak berdasarkan SARA (Suku-Ras-Agama-Antar Golongan),³
Kelahiran peraturan mengenai waralaba di Amerika Serikat terjadi pada tahun 1956 dengan diterima dan diundangkannya The Automobile Dealer Franchise Act. Tujuan luhur peraturan ini adalah untuk memelihara keseimbangan kekuasaan antara perusahaan pembuat mobil (selaku pemberi waralaba) dengan perusahaan dealer mobil (selaku penerima waralaba). Hukum A.S. memperbolehkan dealer mengajukan tuntutan di Pengadilan Distrik Amerika Serikat guna mendapatkan ganti rugi dari para pembuat mobil yang tidak memenuhi persyaratan perjanjian waralaba, atau secara tidak adil membatalkan atau menolak memperbarui perjanjian waralaba.
Walaupun pada awalnya peraturan tersebut hanya ditujukan dalam hubungan antara dealer (penerima waralaba) dengan para pembuat mobil (pemberi waralaba), pengadilan ternyata memberlakukan undang-undang tersebut sebagai suatu bentuk “kodifikasi” dari janji untuk memberikan perlakuan adil dan pelaksanaan itikad baik yang dapat diterapkan pada semua kontrak komersial yang berkaitan dengan pemberian waralaba.
3 Macam Peraturan Waralaba Amerika
Pengaturan waralaba di Amerika Serikat ternyata cukup beragam dan dapat ditemukan dalam sekurangnya tiga macam peraturan, baik yang diatur pada tingkat Federal maupun Negara Bagian (State). Ketiga macam peraturan tersebut meliputi:
a) Uniform Franchise and Business Opportunities Act (UFBOA) yang disahkan pada tahun 1987 oleh “National Conference on Com missioners of Uniform State Laws”,
b) Uniform Franchise Offering Circular (UFOC) yang disahkan tahun
1975 oleh “Midwest Securities Commissioners Association”, dan
c) Peraturan Federal Trade Commission (FTC) yang diterima tahun 1979 dan berlaku di 50 negara bagian di Amerika Serikat
Waralaba makanan dan minuman (food & beverage) mendominasi jenis usaha waralaba di tingkat global antara lain ditandai dengan banyaknya bermunculan jaringan waralaba asal Amerika Serikat
seperti McDonald’s, Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, Starbucks, Hard Rock Cafe, dan lain-lain. Jaringan waralaba tersebut telah merambah di banyak negara di seluruh dunia sehingga secara tidak langsung turut serta mempromosikan budaya Amerika serta meningkatkan perekonomian Amerika.
Berkat ekspor usaha waralaba kuliner tersebut, negara Amerika berhasil mendapat banyak devisa dari pembayaran royalti HAKI dan biaya waralaba dari para mitra lokal di seluruh dunia.
Perkembangan industri kreatif di negeri Paman Sam tersebut kebanyakan didorong kemampuan para pelaku bisnis mengembangkan usaha kreatif berformat waralaba sehingga mereka dapat mengembangkan usaha ke seluruh dunia dalam waktu cepat, berbiaya murah serta berisiko kecil.
Cara waralaba ini dinilai lebih efisien dan efektif dibandingkan membuka cabang usaha di setiap negara. Dengan menggandeng para mitra lokal di setiap negara, perusahaan waralaba asal A.S. tersebut dapat berbagi risiko dan berbagi pengalaman dengan para mitra lokal yang dianggap lebih menguasai medan bisnis di masing masing negara.
Sejarah & Prospek Bisnis Franchise Waralaba
Sistem bisnis waralaba mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1950 an, dengan munculnya dealer kendaraan bermotor melalui pembeliar lisensi. Perkembangan tahap kedua dimulai tahun 1970-an, dengar dimulainya sistem pemberian lisensi plus, di mana pihak penerima waralaba tidak hanya bertindak sebagai penyalur (dealer/distributor agen), namun juga memiliki hak untuk membuat produk.
Perkembangan bisnis waralaba sangat dipengaruhi faktor kepastia hukum dan perlindungan hukum. Di negara-negara maju seper Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang, bisnis waralaba berkemban pesat karena adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum yan kuat dari negara. Perlindungan hukum bagi bisnis waralaba melipu dua hal:
a) perlindungan hukum terhadap jaringan bisnis waralaba, dan b) perlindungan hukum terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
Perlindungan hukum terhadap jaringan bisnis waralaba di Indone mulai muncul sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah RI a PP Nomor 16 Tahun 1997 tentang waralaba (PP 16/1997), SE Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nor 259/MPP/KEP/7/1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksana Pendaftaran Usaha Waralaba (SK Menperindag 259/1997).
Saat ini perlindungan hukum terhadap kegiatan bisnis waralaba Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun 20 tentang waralaba (PP 42/2007), serta Peraturan Menteri Perdagang RI Nomor 53/M-DAG/PER/8/2012 tentang Penyelenggaraan Warala (Permendag 53/2012).
Di samping itu, aspek HAKI yang ada dalam bisnis waralaba juga
telah dilindungi berdasarkan UU HAKI yang meliputi: UU Hak Cipa
(UU 28/2014), UU Merek (UU 15/2001), UU Paten (UU 14/2001),
Desain Industri (UU 31/2000), UU Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (D
32/2000), UU Rahasia Dagang (UU 30/2000), dan UU Perlindung
Varietas Tanaman (UU 29/2000).
Waralaba yang ada di Indonesia terdiri dari waralaba asing dan waralaba lokal. Waralaba asing (dari luar negeri) cenderung lebih disukai karena sistemnya lebih jelas, mereknya sudah diterima di berbagai negara, dan dirasakan lebih bergengsi. Namun demikian, waralaba asing umumnya menetapkan syarat keanggotaan yang relatif ketat dan mahal sehingga sulit diakses oleh pengusaha UMKM.
Waralaba lokal (dari dalam negeri) lebih disukai pengusaha UMKM terutama oleh orang-orang yang ingin cepat menjadi pengusaha, tetapi tidak memiliki pengalaman bisnis yang cukup. Syarat keanggotaan waralaba lokal lebih mudah dan lebih murah sehingga mudah diakses oleh pengusaha UMKM. Untuk melihat daftar waralaba di Indonesia, silakan membaca lampiran buku ini. Dalam daftar tersebut kita dapat memperoleh data tentang nama waralaba, alamat perusahaan pemberi waralaba, jenis usaha yang diwaralabakan, biaya waralaba, dan biaya royalti.
Perkembangan jaringan bisnis waralaba di Indonesia saat ini sudah tergolong pesat dan melibatkan pemberi waralaba (franchisor) dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Jaringan waralaba asing di Indonesia berkembang pesat antara lain karena digunakannya strategi khusus, yaitu penunjukan mitra perusahaan Indonesia yang berskala nasional sebagai penerima waralaba (franchisee) sekaligus sebaga pemberi waralaba lanjutan atau yang dikenal dengan istilah Maste Franchisee.
Melalui Master Franchisee itulah jaringan waralaba asing kemudian dikembangkan hingga ke berbagai tempat di tanah air. Master Franchisee adalah penerima waralaba (umumnya waralaba asing) yang mendapatkan hak dari pemberi waralaba asing untuk menunjuk pihak lain sebagai penerima waralaba lanjutan. Master Franchisee disebut juga sebagai pemberi waralaba lanjutan. Dengan adanya Master Franchisee tersebut, pemberi waralaba asing tidak perlu bersusah payah membangun jaringan usaha sendiri di seluruh Indonesia.
Dalam menunjuk Master Franchisee, pemberi waralaba asing sering menerapkan syarat-syarat penyaringan calon mitra yang tergolong ketat dan mahal sehingga tidak sembarang perusahaan berskala nasional dapat diterima sebagai penerima waralaba utama sekaligus sebagai pemberi waralaba lanjutan di suatu negara. Para calon mitra usaha tersebut, yang sebenarnya sudah tergolong pengusaha mapan di negaranya, tidak jarang diharuskan untuk melakukan training agar dapat memahami benar segala aspek bisnis dari jaringan waralaba asing tersebut. Bahkan dalam training tersebut, “para bos” itu juga dilatih mempraktikkan cara mengolah makanan, menjaga kebersihan, ataupun cara melayani pelanggan.
Di Indonesia saat ini dikenal adanya beberapa asosiasi waralaba antara lain APWINDO (Asosiasi Pengusaha Waralaba Indonesia), WALI (Waralaba & Lisensi Indonesia), dan AFI (Asosiasi Franchise Indonesia). Di samping itu, juga ada beberapa konsultan waralaba di Indonesia antara lain IFBM, The Bridge, Hans Consulting, FT Consulting, Ben WarG Consulting, JSI, dan lain-lain. Beberapa pameran waralaba di Indonesia juga telah dilakukan secara berkala dengan mengadakan roadshow di berbagai daerah dan jangkauannya nasional antara lain International Franchise and Business Concept Expo (Dyandra), Franchise License Expo Indonesia (Panorama Convex), Info Franchise Expo (Neo dan majalah Franchise Indonesia).
baca juga
Prospek Bisnis Waralaba di Indonesia
Investasi dalam bidang HAKI juga dapat dilakukan dengan cara memberikan lisensi HAKI kepada pihak lain sehingga kita bisa mendapatkan penghasilan dalam bentuk royalti. Royalti atau penghargaan yang kita terima tersebut bisa berbentuk uang maupun barang, tergantung kesepakatan dalam kontrak lisensi. Namun demikian, jika kita ingin mendapatkan penghasilan yang jauh lebih besar lagi, maka kita (sebagai pemilik HAKI) juga bisa bertindak selaku pemberi waralaba (franchisor) yang dapat “mewaralabakan” HAKI dan Sistem Bisnis kepada pihak lain.
Dengan cara waralaba, kita akan mendapatkan penghasilan yang lebih besar dalam bentuk “royalty fee” dan “franchise fee”. Biaya royalti (royalty fee) umumnya dibayarkan oleh penerima waralaba setiap bulan dalam bentuk persentase dari omset usaha. Sedangkan biaya waralaba (franchise fee) biasanya dibayarkan sekaligus oleh penerima
waralaba pada saat awal pendirian gerai waralaba. Pernbayaran royalty fee adalah wujud penghargaan atas pemberian lisensi HAKI, Di sisi lain, pembayaran franchise fee merupakan wujud penghargaan atas pemberian lisensi Sistem Bisnis.
Pemilik HAKI yang ingin mewaralabakan HAKI-nya kepada pihak lain harus lebih dulu mendirikan perusahaan dan membuktikan usahanya telah teruji sehingga berhasil mendapatkan keuntungan selama minimal tiga tahun berturut-turut. Namun demikian, jika pemilik HAKI tidak ingin repot terjun sebagai pengusaha waralaba, maka dia cukup memberikan lisensi HAKI kepada pihak lain.
Investasi HAKI dan waralaba terkait erat dengan pengembangan ekonomi kreatif. Beberapa subsektor ekonomi kreatif seperti kuliner, fesyen, musik, games, dan acara televisi bisa pula dikembangkan dengan menggunakan format waralaba. Saat ini banyak bisnis kuliner di tanah air yang dijalankan dalam bentuk usaha waralaba, baik waralaba asing maupun waralaba lokal. Contoh waralaba kuliner asing: McDonald’s, Kentucky Fried Chicken (KFC), Pizza Hut’s, Starbucks, Dunkin Donnuts, dan lain-lain.
Contoh waralaba kuliner lokal yang terkenal antara lain California Fried Chicken (CFC), Es Teller 77, Kebab Turki Baba Rafi, Ayam Bakar Mas Mono, Ayam Goreng Mbok Berek, Pecel Lele Lela, Bakso Malang, Bebek Bali, Bakmi Jawa, dan lain-lain. Daftar lengkap alamat usaha waralaba dapat dilihat pada lampiran buku ini.
Waralaba CFC berhasil menahan gempuran waralaba kuliner asing berkat strategi branding yang cerdas sehingga memberi kesan seperti waralaba dari Amerika, padahal CFC asli Indonesia dan dimiliki perusahaan dalam negeri (PT. Pioneerindo). CFC yang berdiri sejak 1983 dan kini memiliki 180 gerai ini juga pernah mendapat penghargaan sebagai waralaba terbaik di ASEAN tahun 2009.
Beberapa acara televisi pun bisa dikembangkan dalam bentuk waralaba, contohnya acara pemanduan bakat seperti Indonesian Idol, X-Factor, Indonesia’s Got Talent, The Voice, Akademi Fantasi Indonesia (AFI), Master Chef, Master Chef Junior, Top Chef, Iron Chef, Mamamia, Miss World, Miss Universe, Got to Dance, dan lain-lain. Namun sayang, acara pemanduan bakat via televisi tersebut kebanyakan berasal dari waralaba asing, sehingga stasiun televisi nasional yang menayangkan harus membayar royalti dan biaya waralaba ke pihak asing dalam jumlah tidak sedikit.
Perkembangan bisnis waralaba (franchise) di Indonesia tergolong prospektif karena potensi pasarnya sangat besar. Hal ini tercermin dari besarnya jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 jiwa, dengan pendapatan per kapita 3000 dolar A.S. Di samping itu, kondisi ekonomi makro Indonesia juga tergolong baik dengan pertumbuhan ekonomi 5-6% per tahun. Indonesia saat ini termasuk dalam jajaran negara elit G-20 dan menempati urutan ke-16 dengan cadangan devisa tahun 2014 di atas angka 100 miliar dolar AS (Rp1.200 triliun). juta
Tingginya jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia yang menurut Bank Dunia kini berkisar 134 juta jiwa ikut menjadi faktor pendorong maraknya bisnis waralaba di tanah air. Masyarakat kelas menengah adalah konsumen yang paling mudah diharapkan membeli produk waralaba sebagai konsekuensi perubahan gaya hidup akibat meningkatnya kemampuan finansial mereka. Selain itu, masyarakat kelas menengah juga berpotensi dapat diajak bergabung menjadi penerima waralaba.
Data Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) menunjukkan omset waralaba di Indonesia pada tahun 2007 mencapai angka Rp81 triliun. Tahun 2008, terjadi peningkatan 15 persen menjadi Rp93 triliun. Pada tahun 2009, omset waralaba naik lima persen menjadi Rp95 triliun. Hingga akhir tahun 2010, omset waralaba di Indonesia baik lokal maupun asing yang berbentuk franchise dan business opportunity diperkirakan mencapai Rp114,64 triliun. Jumlah tersebut naik 20 persen dibandingkan perolehan tahun 2009. Menurut data AFI, sampai Agustus 2010, jumlah waralaba di Indonesia mencapai 1.010 perusahaan. Padahal lima tahun silam, baru ada 336 perusahaan waralaba di Indonesia, baik asing maupun lokal.?
Pada tahun 2011, omset bisnis waralaba, kemitraan, dan lisensi men capai Rp100 triliun hingga Rp140 triliun dan diperkirakan meningkat sebesar 12-15% pada akhir tahun 2012. Peningkatan ini disebab kan pasar Indonesia sangat besar dan daya beli masyarakat sangat kuat. Namun, perkembangan usaha waralaba ini diperkirakan akan terancam bahkan akan ditinggalkan waralaba asing apabila pemerin
tah membuat regulasi yang membata si jumlah gerai yang bisa dimiliki sendiri oleh pemberi waralaba. Prospek bisnis waralaba diperki rakan masih tetap cerah karena ditopang jumlah masyarakat kelas menengah di tanah air yang saat ini diperkirakan mencapai 80 juta orang a AD
Dari total omset bisnis waralaba di Indonesia, sebesar 60% dikuasai waralaba asing, sedangkan sisanya (40%) dikuasai waralaba lokal. Melalui restoran waralaba asing, kita harus membayar lisensi 347 juta dolar AS (setara Rp3,5 triliun) per tahun, dan pembayaran lisensi ini terus naik rata rata tujuh persen per tahun. Jaringan waralaba di Indonesia hingga saat ini masih didominasi waralaba kuliner (makanan dan minuman). Selain membantu pertumbuhan ekonomi, bisnis waralaba juga banyak menyerap tenaga kerja, yaitu mencapai 1,2 juta orang tenaga kerja.
Tak hanya industri manufaktur, pengusaha waralaba juga khawatir dengan pelaksanaan kerjasama perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dengan China (ACFTA). Perusahaan China yang bergerak di bidang usaha produk kuliner, herbal, kecantikan, pendidikan, dan ritel akan lebih mudah memasuki pasar Indonesia. Mereka pun akan cenderung memilih membuka cabang ketimbang membuat sistem waralaba dengan menggaet mitra lokal untuk pengembangan usahanya. Padahal, menurut Ketua Dewan Pengarah Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI), Amir Karamoy, kondisi tersebut akan kian berdampak pada “Peluang Waralaba Masih Besar”, KOMPAS, 17 September 2012.
membuat waralaba dan bermitra dengan pengusaha Jangan Starbucks yang bebas membuat tanpa bermitra dengan pengusaha lokal melalui Waralaba,” ujar Amir Karamoy.”
Karamoy menambahkan, sekitar lima perusahaan siap masuk Indonesia dengan langsung membuat cabang usaha. Pewaralaba nasional khawatir, perusahaan China tersebut menawarkan harga lebih murah dengan tidak terbatas. Bisa saja mereka akan monopoli. Amir pun meminta pemerintah segera membuat aturan dan proteksi yang tegas mengenai Penanaman Modal Asing (PMA) yang akan masuk Indonesia. saja, Amir menyatakan tingkat kegagalan waralaba lokal masih persen. Amir mendesak segera dibuat aturan soal PMA, agar yang masuk mesti menganut sistem waralaba.10
Sampai dengan tahun 2012 diperkirakan sudah ada waralaba asing yang beroperasi di Indonesia. Mereka berasal dari sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Australia, Korea Selatan, dan Malaysia. Jumlah waralaba asing ini diperkirakan mencapai 60% dari waralaba yang beroperasi Indonesia. Dengan omset bisnis waralaba Indonesia yang diperkirakan mencapai triliun per tahun, kehadiran waralaba asing tersebut patut dicermati agar tidak melakukan monopoli yang dapat mengurangi kesempatan pengusaha lokal. inilah yang mendorong pemerintah Kementerian Perdagangan membuat aturan gerai waralaba yang dapat dimiliki sendiri.
bulan Maret 2013, terdapat tambahan sebelas waralaba asing berminat melakukan kegiatan bisnis di Indonesia, yaitu (Singapura), Li-ning (China), Berrylite Frozedn Yogurt (Singapura), (Italia), Country Chicken (Australia), Franks (Singapura), Love Co (Singapura), Mother Vogue (Singapura), Pho (Amerika Serikat), Physio Asia Therapy Centre (Singapura), dan (Singapura). Beberapa bulan sebelumnya telah ke Indonesia dan menyatakan minatnya berinvestasi mencari partner lokal.”
Stabilitas makro ekonomi dan meningkatnya daya beli masyarakat Indonesia dapat menjadi pendorong masuknya waralaba asing ke dalam negeri. Hal ini tentu saja dapat berdampak positif maupun negatif. Dampak positif akan didapatkan jika pemerintah mampu mengarahkan waralaba asing tersebut agar mau bermitra dengan sebanyak mungkin pengusaha lokal khususnya sektor UMKM. Kemitraan tersebut dapat berupa keikutsertaan pengusaha lokal sebagai penerima waralaba (franchisee) maupun sebagai pemasok kebutuhan bahan baku atau sebagai mitra permodalan. Sebaliknya, dampak negatif akan timbul manakala waralaba asing tersebut tidak dibatasi sehingga mempunyai banyak gerai yang dimiliki sendiri tanpa batas.
Pada tahun 2010, Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALi
menetapkan 14 waralaba lokal yang difasilitasi oleh pemerintah untuk
melakukan ekspor atau go international dengan mengikuti pameran
di luar negeri. Ke-14 waralaba lokal tersebut adalah Kebab Turki Baba
Rafi, Coffee Toffee, Bakso Malang Cak Eko, Moz Salon Muslimah, Ayam Tulang Lunak Hayam Wuruk, Aqualis, MacAuto, Tirta Ayu Spa, The Saring, GwGuyur, Apotik Malaka, Quemama, Jojoba, dan Mozaik Elemen, 12
Bisnis waralaba secara umum dikelompokkan dalam 8 kelompok besar, yaitu:
a) Makanan-Minuman atau F&B (Food & Beverage),
b) Minimarket,
c) Broker Properti,
d) Kurir/Ekspedisi,
e) Pendidikan,
f) Kecantikan dan Kesehatan,
g) Busana & Aksesoris (Fashion & Accessories),
h) Otomotif.
Dari ke-8 kelompok tersebut, yang terbesar pangsa pasarnya ada Makanan-Minuman (F&B) yang di tahun 2010 nilainya menca Rp42,6 triliun. Peringkat kedua diraih ritel Minimarket dengan Rp2 triliun, diikuti Broker Properti dengan Rp19,8 triliun. Posisi keem dan kelima diduduki jasa Kurir/Ekspedisi (Rp7,9 triliun) dan Pendidi (Rp6,4 triliun).
Pertumbuhan bisnis waralaba di Indonesia saat ini tergolong pesat karena melibatkan banyak pengusaha lokal maupun asing yang berperan sebagai pemberi waralaba maupun penerima waralaba. Bahkan dalam praktik bisnis waralaba di Indonesia, tidak jarang dijumpai peran serta pengusaha UMKM. Yang membanggakan, pengusaha UMKM tersebut tidak hanya berperan sebagai penerima waralaba, namun juga berperan sebagai pemberi waralaba. Fakta ini membuktikan bahwa waralaba dapat dijadikan salah satu alternatif pemberdayaan UMKM.
Pemerintah memandang perlu mengetahui legalitas dan bonafiditas usaha pemberi waralaba baik yang berasal dari luar negeri dan dalam negeri, guna menciptakan transparansi informasi usaha yang dapat dimanfaatkan secara optimal oleh pelaku usaha nasional dalam pemasaran barang dan/atau jasa dengan sistem waralaba. Di samping itu, Pemerintah dapat memantau dan menyusun data waralaba baik yang menyangkut jumlah perusahaan waralaba maupun jenis usaha yang diwaralabakan. Untuk itu, pemberi waralaba sebelum membuat perjanjian waralaba dengan penerima waralaba, harus
menyampaikan Prospektus Penawaran Waralaba kepada Pemerintah (Menteri Perdagangan) dan calon penerima waralaba. Di sisi lain, apabila terjadi kesepakatan perjanjian waralaba, maka penerima waralaba juga harus menyampaikan perjanjian waralaba kepada Pemerintah (Dinas Perdagangan).
+ There are no comments
Add yours